By Tim UK/Indonesia 2016-18

11 April 2019 - 14:54

©

Dok. oleh PSBK Jogja

Berbincang dengan Caglar Kimyoncu rasanya seperti menemukan oasis di tengah gurun yang gersang: menyegarkan, menenangkan dan melegakan. Selama dua tahun terakhir, seniman yang berbasis di London ini menjelajahi Indonesia untuk proyeknya What Makes You Who You Are, yang mulai tahun lalu di Yogyakarta bersama komunitas seniman PSBK.

“Saya sangat menikmati pengalaman tersebut, yang membuka mata saya. Saya ingin belajar lebih banyak dan bertemu dengan lebih banyak orang. Maka dari itu, saat muncul kesempatan untuk melakukan proyek ini di kota-kota lain, saya langsung mengiyakan,”

jelasnya di sesi temu wicara seniman di Festival Bebas Batas, di mana karya seni tersebut ditampilkan selama acara berlangsung.

Manusia kerap menjadi tema utama dalam karya Kimyoncu, dan sesuai dengan judulnya, What Makes You Who You Are melakukan pendekatan yang mendalam terhadap tema tersebut. “Karena manusia berubah setiap waktu,” alasannya saat ditanya tentang inspirasi proyek tersebut. “Kita berpura-pura mengenal atau menyukai diri sendiri. Namun terkadang tidak begitu. Dulu saya kerap mengaku berpikiran terbuka, peka dan perhatian, namun sebenarnya tidak juga. Jadi saya pun perlu memperbaiki diri. Saya sering bilang agar kita tidak berasumsi, namun nyatanya saya sering melakukan itu,” jelasnya. “Jadi saya pikir proyek ini adalah tentang berani bertanya kepada diri sendiri, “Siapa orang ini?”, dan berhenti berasumsi bahwa kita mengenal orang lain,” sambungnya. “Ini juga tentang menciptakan ruang untuk berbicara.”

 

Bagi Kimyoncu, berbicara adalah aktivitas yang penting dalam proses kreatif, dan inilah yang membuat What Makes You Who Are menggelitik: proyek ini tidak semata-mata terpusat pada visi sang seniman, namun lebih tentang cerita hidup para seniman asal Jakarta dan Yogyakarta yang ambil bagian dalam proyek ini. “Meskipun ini kali kedua saya menjalankan proyek ini di Indonesia, ada pengalaman yang berbeda di setiap kota,” ungkapnya, sembari bercerita tentang pengalamannya melihat anak-anak pergi sekolah di pagi hari ketika di Makassar. “Saya akan melewatkan itu kalau misalnya saya hanya di kamar hotel saya saja. Bagi saya, ke mana pun saya pergi atau apa pun yang saya lakukan, selalu ada pengalaman baru yang menanti dan kita harus terbuka terhadap itu,” ucapnya seraya berfilosofi.

 

 

©

Dok. oleh PSBK Jogja

Asal muasal proyek What Makes You Who You Are pada dasarnya berasal dari masa kecil Kimyoncu, saat dia kerap berpindah-pindah dikarenakan pekerjaan ayahnya sebagai tentara profesional. “Ada dua hal yang saya ingat tentang masa kecil saya: sering masuk rumah sakit bahkan sebelum masuk sekolah dasar dan sering berpindah. Identitas saya selalu berubah ke mana pun setiap kali keluarga saya berpindah tempat tinggal,” kenangnya. Tak heran, masa pertumbuhannya pun kerap dihantui oleh perasaan terasing. “Saya selalu merasa tidak pernah cocok di mana pun. Saat saya mulai belajar dialek di suatu tempat, sudah harus pindah lagi. Mungkin dari situlah rasa ingin tahu saya tentang siapa kita dan apa yang kita lakukan dalam hidup berasal.”

 

Meskipun memiliki konsep yang kuat, mendefinisikan proyek What Makes You Who You Are tetap menjadi tantangan bagi semua yang terlibat. “Kami bahkan tidak memiliki pemaknaan yang sama akan konsep proyek ini. Dan ini bahkan bukan tentang bahasa yang digunakan. Bagi saya, itu hal yang indah,” ungkapnya. “Setiap orang memiliki jawaban yang berbeda terhadap pertanyaan tersebut, dan kadang mereka berbohong. Tapi tak apa, karena dari kebohongan pun kita tetap belajar. Dan terkadang kita terbuka dan itu menjadikan kita rapuh. Itu juga sah saja,” pendapatnya. “Sampai saya mengambil kesimpulan bahwa apa yang menjadikan kita diri sendiri tergantung cara kita memaknai hal tersebut.”

 

Pada akhirnya, Kimyoncu juga mempercayai bahwa proses pendefinisian diri adalah sesuatu yang konstan. “Itu terjadi setiap harinya, saat kita menghadapi berbagai tantangan kehidupan,” renungnya. “Namun sebagai bagian dari masyarakat, saya juga percaya bahwa kita harus peduli akan satu sama lain. Saat kita mendobrak batas, kita juga menegosiasikan ruang gerak yang sama dengan orang lain. Jangan sampai kita mendorong orang keluar dari ruang itu,” tambahnya. Walaupun begitu, manifesto Kimyoncu dalam hidup dan berkarya adalah mutlak: “Tetaplah ingin tahu. Selalu bertanya. Dengarkan.”