By Wiyoga Muhardanto, Area Olah Karya

25 September 2023 - 18:26

Speakers and moderator in the PULANG presentation and discussion. ©

Doc. by Angela Sunaryo.

Apakah repatriasi dapat dilakukan jika artefak budaya diambil sebelum negara didirikan? Area Olah Karya (ID) dan Edinburgh Sculpture Workshop (UK) melaksanakan perjalanan penelitian di dua negara untuk mencari tahu.

PULANG didasarkan pada ide sederhana: repatriasi khayalan. Meskipun banyak artefak yang dibawa ke Eropa pada masa kolonial berhasil dikembalikan ke Indonesia, namun tidak semuanya demikian. PULANG fokus pada satu kasus: Prasasti Sangguran.

Dikenal sebagai Batu Minto (diambil dari nama diplomat Inggris The Lord Minto) di Skotlandia, artefak ini sangat unik. Ketika Sir Thomas Raffles menyerahkan Prasasti Sangguran kepada The Lord Minto, Indonesia secara konstitusional tidak hadir sebagai sebuah negara. Artinya pemindahan Prasasti ini dilakukan antar individu, bukan antar pemerintah. Hal ini membuat proses repatriasi menjadi sangat menantang.

Ide proyek ini muncul pada awal tahun 2021, bertepatan dengan pembatasan COVID-19 di sebagian besar wilayah Indonesia. Lockdown mendorong kita untuk mencari peluang untuk mengekspresikan ide secara virtual. Hal ini membuat kami berpikir, “Bagaimana jika kita melakukan repatriasi secara virtual juga?”

Apakah kegiatan artistik ini akan terdiri dari reproduksi artefak secara digital atau cetak 3D adalah sesuatu yang akan kami putuskan nanti. Untuk tahap pertama proyek ini, kami akan fokus pada penelitian. Organisasi saya, Area Olah Karya (AOK), akan melakukan penelitian di Malang di Batu, dan Edinburgh Sculpture Workshop (ESW) akan melakukan penelitian di Edinburgh dan Roxburgshire.

Penelitian di Malang dan Batu

Pada tanggal 9-11 Maret 2023, AOK melakukan perjalanan singkat keliling Malang dan Batu untuk menelusuri jejak Prasasti Sangguran.

a) Kunjungan lapangan: Museum Mpu Purwa

Terletak di tengah kompleks Perumahan Griya Shanta Malang, Museum Mpu Purwa memiliki koleksi beragam artefak kuno yang sebagian besar berasal dari Jawa. Diantaranya adalah arca, perlengkapan candi, dan prasasti dari berbagai kerajaan sejak zaman Mpu Sindok hingga Kerajaan Majapahit. Sayangnya, kami tidak berhasil menemukan referensi apapun mengenai Prasasti Sangguran.

b) Wawancara: Drs. Ismail Lutfi, M.A.

Dr. Ismail Lutfi, M.A, merupakan staf pengajar Universitas Negeri Malang dengan keahlian di bidang epigrafi (kajian prasasti), yang kita ketahui dari karyanya yang dipublikasikan di beberapa jurnal akademik serta wawancara di YouTube. Prasasti Sangguran menjadi salah satu fokus perhatiannya. Kami mengobrol di kedai kopi dekat kediamannya, membahas permasalahan utama pemindahan Prasasti Sangguran, yaitu tak adanya peran pemerintah pada saat pemindahan.

c) Kunjungan lapangan: Candi Pendem & Pusat Kebudayaan Sangguran

Menurut para ahli, Candi Pendem, yang saat ini masih dalam tahap ekskavasi oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Timur, diduga kuat memiliki kaitan erat dengan Prasasti Sangguran. Letaknya di kecamatan Junrejo Batu, sangat dekat dengan pemukiman penduduk dan tidak jauh dari Pusat Kebudayaan Sangguran. Di tengahnya terdapat replika semen Prasasti Sangguran yang diprakarsai oleh seniman lokal Siswanto Galuh Aji.

Daerah ini adalah rumah bagi banyak prasasti. Sayangnya, masyarakat setempat masih belum sadar akan warisan budaya mereka yang dicuri. Ketika kami berkunjung, misalnya, penduduk setempat mencoba menjelaskan kepada kami tentang replika tersebut, dengan menyatakan bahwa Prasasti aslinya ada di Swiss. Catatan lisan mereka tidak sesuai dengan fakta sejarah, dan hal ini juga harus dibahas dalam proyek kami.

Penelitian di Edinburgh dan Roxburghshire

ESW awalnya berencana untuk melibatkan lebih banyak orang dalam kegiatan penelitian ini, namun karena keterbatasan waktu, hanya kurator dan peneliti mereka, Dan Brown, yang ambil bagian. Dan melakukan penelitian pustaka dan menghubungi Dr. Talat Ahmed, staf pengajar Sejarah Asia Selatan dari Universitas Edinburgh, namun sayangnya tidak mendapat tanggapan.

Ia kemudian menghubungi Departemen Koleksi Asia Barat, Selatan & Tenggara di Museum Nasional Skotlandia. Dari kontak tersebut, Dan berhasil menghubungi ahli waris The Lord Minto yang masih hidup, yang saat ini tinggal di Roxburgshire.

Sayangnya, keterbatasan waktu membuat korespondensi menjadi terbatas. Ketika Dan pergi ke Roxburgshire pada akhir Maret, situasi masih belum jelas, dan dia tidak diizinkan menemui ahli waris The Lord Minto.

Ke depannya, kami berharap dapat memperbaiki situasi ini dengan menjalin hubungan yang lebih dekat dengan mereka. Mereka sendiri cukup terbuka dengan gagasan kami. Kami saat ini sedang mempertimbangkan untuk melakukan residensi lebih lanjut di sana dan melakukan pemindaian 3D pada artefak tersebut.

The interior of Mpu Purwa Museum. ©

Doc. by Pedro Musa.

The primary excavation site of Pendem Temple. ©

Doc. by Pedro Musa.

The replica of the Sangguran Inscription from afar, with its stone stage above a pond and a traditional umbrella above. ©

Doc. by Pedro Musa.

Presentasi dan Diskusi di Indeks Project Space (Bandung)

Indeks Project Space adalah ruang kreatif yang berfokus pada transfer seni dan pengetahuan, dijalankan oleh kolektif yang berpengalaman dalam program residensi internasional, hibah, dan simposium. Semua hal itu menjadikannya ruang yang sempurna untuk inisiatif kami.

Sesi presentasi dan diskusi hibrid dimoderatori oleh Rizki Lazuardi. Saya memberikan gambaran mengenai proyek ini dan mengapa Prasasti Sangguran menjadi kasus yang unik. Rekan saya Budi Adi Nugroho mempresentasikan lebih banyak tentang proyek dan penelitian kami. Rekan kami lainnya, Tisa Granicia, mengusulkan beberapa strategi artistik untuk gagasan repatriasi imajiner kami. Dan terakhir, Dan Brown (yang hadir secara online), mempresentasikan temuan penelitiannya di Skotlandia.

Kami berhasil berinteraksi dengan penonton yang antusias. Kebanyakan dari mereka belum pernah mendengar tentang Prasasti Sangguran sebelumnya. Kami bangga dapat memberikan pengetahuan sejarah yang penting ini kepada mereka.

Meskipun para penonton Indonesia lebih tertarik pada proyek ini dibandingkan penonton Eropa—bagaimanapun juga, proyek ini merupakan warisan budaya kita—namun para penonton Eropa tetap penasaran untuk mengetahui keberadaan dan kisah di balik artefak yang menghubungkan masyarakat kontemporer mereka dengan belahan dunia lain.