Dewi Lestari di Ubud Writers and Readers Festival  ©

Dok. oleh British Council

Penyanyi, penyair, dan penulis – Dewi Lestari meluangkan waktunya untuk berbincang dengan kami tentang London Book Fair, terjemahan, dan apa yang bisa dipelajari Inggris dari literatur Indonesia.

Ceritakan sedikit tentang diri anda.

Nama saya Dewi Lestari, tetapi saya punya nama pena, Dee Lestari, karena Dewi terkadang sulit dilafalkan oleh orang asing.

Ini adalah pengalaman pertama saya di London Book Fair, dan tentu saja saya merasa terhormat, senang sekali, dan tidak sabar untuk kesana. Yang saya tahu, LBF adalah salah satu dari festival buku paling disegani di dunia jadi saya sangat senang dapat mewakili teman-teman penulis Indonesia untuk bisa berangkat ke sana.

Anda adalah penyair, penyanyi, dan penulis. Boleh ceritakan sedikit bagaimana anda membagi waktu?

Kalau lihat ke belakang, rasanya jauh di dalam hati sebenarnya saya adalah seorang pendongeng. Saya sudah mencintai musik dari kecil, dan saya suka membuat cerita, entah bagaimana sudah terbentuk dalam benak saya, saya suka membayangkan jalan cerita dan seterusnya. Jadi itu sudah menjadi sebuah kecenderungan alami bagi saya untuk membangun cerita, tapi tentu saja untuk menjadikannya tulisan diperlukan lebih banyak usaha, serta cara sistematis untuk menyusun pikiran kita dan menyulapnya menjadi cerita terpadu. Bagi saya, musik lebih mudah dihadirkan, karena dalam menulis saya memberi ruang untuk belajar dari kesalahan. Saya mengikuti beberapa pelatihan dan membaca beberapa buku tentang menulis. Memang terlihat lebih rumit, tetapi bagi saya ini perjalanan yang sangat menarik.

Hal apa yang anda ingin pelajari dari Inggris, dan menurut anda apa yang Inggris bisa pelajari dari Indonesia?

Saya rasa Inggris sudah memiliki tradisi menulis yang solid. Industri penerbitan di sana sudah jauh lebih maju dibanding kami, begitu juga kebiasaan membaca dan dramanya. Inggris punya Shakespeare, bapak drama dan penulis cerita, salah satu yang dapat dipelajari lebih mendalam oleh Indonesia yang memiliki lebih banyak tradisi lisan. Juga ketika melihat dari industri penerbitan sendiri, Indonesia saat ini sedang berkembang ke arah praktek yang lebih baik, tapi banyak sekali yang kami bisa pelajari, seperti bagaimana cara menciptakan pembaca yang berkelanjutan, bagaimana mendorong orang untuk lebih banyak membaca. Saya rasa ini akan memerlukan banyak usaha dari semua kalangan, tidak hanya dari pemerintah tetapi juga dari para penulis.

Dan sebaliknya, saya rasa Indonesia juga menawarkan banyak hal: kebudayaan kami, pikiran kami, latar belakang kami yang beragam. Perlu diketahui, kami berasal dari banyak kerajaan kecil yang kemudian bergabung menjadi sebuah republik, oleh karena itu, ada sekian banyak ragam kebudayaan – hal-hal macam inilah yang dapat kami bagi dengan dunia.

 

Aroma Karsa oleh Dewi Dee Lestari  ©

Doc. by British Council

Boleh ceritakan sedikit tentang tulisan anda?

Saya penulis fiksi dan buku pertama saya diterbitkan tahun 2001. Saya tipe penulis yang berada di persimpangan antara budaya sastra intelektual dan budaya sastra populer. Tulisan saya biasanya campuran dua dunia itu, jadi sebagian orang bilang agak sulit dikategorisasi, sehingga biasanya saya hanya bilang saya menulis fiksi. Saya senang menulis buku berseri, sekarang sudah 12 buku yang terbit dan 6 dari itu – separuhnya – adalah novel bersambung dengan judul Supernova. Menulis dalam seri, cerita yang panjang, alur yang panjang, adalah salah satu ketertarikan terbesar saya.

Apakah ada dari sekian buku anda yang sudah diterjemahkan?

Dari 12 buku baru 2 yang diterjemahkan ke Bahasa Inggris: buku pertama saya, Supernova, episode pertama, dan Paper Boat (Perahu Kertas). Menariknya, kedua buku ini sebenarnya cukup berbeda, dan berasal dari genre berbeda. Saya perlu sampaikan bahwa penerjemahannya cukup menantang, bukan hanya karena belum banyak penerjemah Bahasa Indonesia ke Bahasa Inggris, tetapi juga saya rasa penerjemahan bisa mengangkat tetapi juga menghancurkan sebuah buku. Mendapatkan terjemahan bagus seperti membuka ambang ke banyak hal baik, sedangkan apabila terjemahannya buruk dari awal maka pintu tersebut tidak akan pernah terbuka. Sehingga penerjemahan yang baik menjadi sangat krusial, dan akan memakan waktu. Walaupun sampai saat ini saya sudah menulis 12 buku, saya tahu mungkin tidak semua judul bisa masuk di pasar internasional maupun global, jadi ini hal yang cukup rumit. Tetapi saya rasa saya akan jalankan saja dan lihat apa yang terjadi.

Siapa sajakah penulis Indonesia yang anda rekomendasikan?

Saya suka Eka Kurniawan tapi saya rasa Eka sudah cukup dikenal, jadi saya akan rekomendasikan Fahd Pahpedie. Saya sudah mengenalnya sejak di SMA (Sekolah Menengah Atas) dan bahkan di kala itu tulisannya ketika di SMA sudah mengejutkan bagi saya, sangat berpotensi. Dia sudah menerbitkan beberapa buku namun belum ada yang diterjemahkan – akan menarik bila buku-bukunya dapat diterjemahkan ke bahasa Inggris.

Selain itu juga, Sapardi Djoko Damono – saya rasa ketika dia menerima lifetime’s achievement award tahun ini di Ubud festival, beberapa karyanya sudah diterjemahkan ke Bahasa Inggris. Saya rasa puisi-puisinya sangat menarik, menurut saya sudah standar dunia, jadi saya harap pembaca bisa belajar lebih banyak tentang beliau.

Tautan luar