©

Dok. oleh National Organising Committee of London Book Fair Market Focus

Anda sudah mulai menulis sejak awal masa SMA (Sekolah Menengah Atas), sebagian besar tentang apakah tulisan anda tersebut?

Pernyataan bahwa saya menulis sejak SMA itu berlebihan. Saya memang sudah mulai menulis pada waktu itu, tetapi itu hanya semacam catatan harian, yang tentu tidak untuk disiarkan. Maaf, saya baru ingat: memang ada sebuah puisi (yang kalau saya tidak keliru mengingatnya, berkisah tentang sebuah pohon di tengah hujan) yang saya tulis ketika saya di SMA, yang saya kirimkan belakangan (kurang-lebih lima tahun kemudian) ke majalah sastra Horison (yang pernah menjadi majalah terpenting bagi para sastrawan Indonesia) dan ternyata dimuat. Sebenarnya saya benar-benar mulai menulis—dalam arti menerbitkan tulisan-tulisan saya di media massa nasional—sejak saya berkuliah di Institut Teknologi Bandung (yaitu di Departemen Geologi), di awal 1980-an. Saya menulis puisi dan esai. Puisi-puisi itu adalah semacam “surrealisme” yang mengambil tema, antara lain, pemandangan alam mimpi, perjalanan ke bulan, permainan catur, dan pengalaman masa kanak-kanak. Adapun esai-esai saya adalah usaha saya memamahami sejumlah masalah dalam seni dan budaya Indonesia modern, misalnya hubungan antara sastra dan politik, atau hubungan antara seni dan ilmu pengetahuan. 

Indonesia adalah fokus market di London Book Fair. Apa saja harapan anda yang dapat dicapai oleh penulis Indonesia melalui The London Book Fair ini?

Sudah empat-lima tahun terakhir ini Indonesia aktif terlibat dalam berbagai pekan buku internasional yang penting, seperti Frankfurt Book Fair & London Book Fair. Internasionalisasi dunia perbukuan tentu penting untuk meningkatkan mutu industri perbukuan nasional, dan ini pada gilirannya akan memacu kreativitas penulisan di dalam negeri sendiri dan penerjemahan karya-karya sastra Indonesia ke dalam bahasa asing. Sastra Indonesia tidak dikenal luas di lautan sastra dunia. Perlu langkah-langkah “pemasaran” yang lebih besar untuk membawa karya-karya sastra Indonesia ke lingkaran pembaca internasional. Kehadiran Indonesia sebagai Market Focus di LBF tahun ini tentu saja penting, tapi ini hanya satu tahap kecil dalam pekerjaan rumah mahabesar di khazanah perbukuan Indonesia. Menjual karya sastra ke pasar internasional masih merupakan hal baru yang harus dipelajari oleh industri perbukuan nasional, termasuk oleh para penulis Indonesia sendiri. 

Kita melihat kesempatan untuk membangun koneksi antara Inggris dan Indonesia, hal apa saja yang dapat dipelajari oleh masyarakat Inggris dari Indonesia?

Keragaman budaya dan linguistik di Kepulauan Nusantara yang bertumpang tindih dengan nasionalisme dan internasionalisme, kelisanan yang campur-aduk dengan budaya tulisan, budaya-budaya desa yang bercampur baur dengan urbanisme, warisan pra-ilmiah yang berkelindan dengan modernitas dan pascamodernitas—semua itu tampaknya bisa menjadi apa yang bisa “dipelajari” oleh masyarakat United Kingdom dari masyarakat Indonesia. 

©

Dok. oleh National Organising Committee of London Book Fair Market Focus

Anda pernah menyebutkan bahwa Indonesia memiliki daya tarik kuat dalam bahasa lisan yang kemudian menjadi kekuatan bagi cerita pendeknya. Seberapa besar dampak cerita pendek apabila  dibandingkan dengan karya yang lebih panjang?

Secara lebih tepat, saya mengatakan bahwa sastra Indonesia (jadi, bukan hanya cerita pendek) berjalin erat dengan kelisanan. “Dampak” yang anda maksud tentu menyangkut bagaimana kesadaran pembaca berubah setelah membaca karya sastra. Dalam hal ini saya berpendapat bahwa cerita pendek maupun bentuk yang lebih panjang (seperti novel) bisa berdampak sama kuat pada kesadaran pembaca. Tentulah bukan soal bentuk yang pendek atau yang panjang. Soalnya adalah kesesuaian antara sifat karya dan sifat pembaca. Pembaca yang terikat kepada kelisanan akan memilih karya yang lebih mudah, sedangkan pembaca yang sudah terikat kepada tulisan akan memilih karya yang lebih kompleks. Bila saya berkata bahwa sastra Indonesia berkait erat dengan kelisanan, itu berarti bahwa para penulis Indonesia mampu mengangkat kelisanan ke bentuk yang canggih. Bagi para penulis Indonesia, kelisanan itu sebuah paradoks. Mereka mengolah aneka warisan masa lampau yang dijaga oleh aneka tradisi lisan, tetapi mereka sendiri harus menghidupi budaya tulisan. 

Menurut anda, hal apa yang paling menarik dari suara penulis Indonesia saat ini? 

Yang paling menarik adalah, bahwa para penulis Indonesia dari generasi terbaru itu berhasil merobohkan sekat-sekat: sekat antara Indonesia dan dunia, sekat antara sastra Indonesia dan sastra dunia, sekat di antara sastra serius dan sastra populer, sekat antara yang politis dan yang personal, sekat antara kelisanan dan budaya tulisan, sekat antara yang dikehendaki pasar dan apa yang menjadi harapan kritik sastra.