Berbasis di Kamboja dan tercatat sebagai yayasan di UK, Epic Arts memanfaatkan kesenian sebagai bentuk ekspresi dan pemberdayaan untuk membawa difabel dan non-difabel hidup berdampingan. Istimewa untuk British Council, Anthony Evans yang menjabat sebagai Manajer Pengembangan Program di Epic Arts menuliskan pengalamannya menghabiskan empat hari di Jakarta dan bagaimana ia bertemu dengan banyak orang berbakat selama di sini.
Saya cukup menyiapkan diri untuk Indonesia, terutama untuk pemandangan, aroma, dan lalu lintas yang sinting. Tiga tahun tinggal di Phnom Penh, Kamboja, saya sudah terbiasa dengan hal-hal yang biasa diasosiasikan dengan kota-kota besar Asia. Meski demikian, Jakarta mampu membawa kemacetan ke tingkat yang benar-benar baru. Namun itu tidak mengurangi pengalaman keseluruhan saya di Indonesia; justru sebaliknya!
Berangkat dari diskusi saya dengan tim British Council, saya memiliki target yang cukup jelas selama empat hari berada di Indonesia. Saya juga sangat senang bisa mendengar dari para seniman Indonesia pendatang baru mengenai perasaan dan sikap mereka terhadap kesenian inklusif.
Saya terutama tertarik mencari tahu perbedaan juga kesamaan antara status kesenian inklusif di Indonesia dengan apa yang saya alami di Kamboja. Dari riset yang sudah saya baca, sepertinya terjadi banyak persilangan apalagi dengan adanya batasan-batasan politik dan agama.
Hari Pertama
Apa yang paling mengejutkan dari perjalanan saya ke Jakarta adalah kesadaran saya terhadap betapa besarnya Indonesia sebagai suatu negara. Saya tahu Indonesia terdiri dari pulau yang berbeda-beda, tetapi saya tidak menyangka kalau jumlahnya mencapai 16 ribu pulau.
Mengumpulkan seniman, pemimpin, dan organisasi kesenian dari seluruh pelosok Nusantara adalah suatu hal yang besar; saya merasa sangat terhormat bisa terlibat dalam sebuah acara yang mempertemukan orang-orang tersebut untuk kali pertama. Ketika saya mendengarkan masing-masing peserta mengenalkan diri, saya langsung tahu bahwa perjalanan ini sangatlah berharga. Pertemuan pemikir-pemikir hebat ini akan mewariskan sesuatu yang bertahan jauh lebih lama dari empat hari.
Saya diundang untuk berbicara soal dan merayakan keberagaman kepada kelompok yang sudah memiliki kekayaan dan pemahaman terhadap keberagaman itu sendiri. Ruangan tersebut diisi oleh agama, budaya, dan bahasa yang berbeda-beda; membicara kesuksesan dan tantangan yang mereka hadapi. Fasilitator lokal kami, Mas Slamet, menjelaskan kepada saya tentang seorang perwakilan: “Orang ini bisa bicara dengan bahasa daerah saya. Kami semua memang berbicara dengan bahasa Indonesia, tapi orang ini fasih menggunakan bahasa nenek moyang saya.”
Harus saya akui bahwa saya sempat berpikir kepada diri sendiri, “Apa yang bisa saya ajarkan kepada orang-orang ini?” Mereka sudah memiliki sikap inklusif yang luar biasa. Kemudian mereka menjelaskan kepada saya bahwa mereka membutuhkan panutan dan contoh praktik terbaik; saya dapat memberikan sejumlah jawaban, jadi pada akhirnya saya bisa dibilang cukup berguna.
Hari kedua
Pada hari kedua, kami langsung bekerja keras. Jakarta memiliki acara besar yang akan terlaksana pada Oktober dalam wujud Asian Para Games. Ruth Gould dari DaDaFest dan saya berupaya menjadi katalisator, mendorong dan mengasuh antusiasme kasar dari para peserta; mencoba menyalurkan ide-ide mereka sebagai bagian dari tawaran budaya yang bisa berdiri berdampingan dengan ajang olahraga besar ini.
Pertanyaan utama pada hari itu adalah “Apa yang Anda butuhkan untuk mengembangkan ini?” Kami meminta beberapa pemimpin bertalenta untuk maju dan mengambil tanggung jawab bekerja sama dengan British Council. Kami memutuskan perlu untuk memicu perubahan dan maka sebuah kelompok pun dibentuk untuk membawa maju usulan ide-ide.
Saya merasakan sensasi tersendiri dalam memikirkan bahwa saya memiliki sedikit peran membentuk tim ini. Saya tidak sabar melihat apa yang akan mereka ajukan untuk bulan Oktober.
Hari ketiga
Tim British Council menyediakan forum terbuka bagi grup yang telah dibentuk untuk berbincang dengan media, kementerian, dan para penyelenggara Para Games. Bersama-sama kami mengusulkan bahwa ajang mendatang adalah saat yang tepat untuk merayakan keberagaman negara, dan dengan dukungan mereka sebuah sarana bisa diciptakan guna mendemonstrasikan kekayaan serta keberagaman sektor kesenian Indonesia dengan cara yang tidak mengumbar kesedihan dan merendahkan tetapi sebagai sesuatu yang berkembang, hidup, menarik, inovatif, dan bercita rasa Indonesia.
Hari keempat
Pada hari terakhir saya di Indonesia, kami mengunjungi dua peserta yang sibuk menyiapkan karya mereka untuk pameran akhir pekan. Salah satu seniman tesebut, Hanna Madness, berpameran dalam rangka penggalangan dana untuk mendukung orang-orang dengan ketidakmampuan belajar. Hanna, seorang yang mengidap penyakit mental, menjelaskan kepada saya bagaimana ia tidak sabar untuk melakukan residensi dengan seniman UK The Vacuum Cleaner. Ia merasa bahwa kesempatan itu bisa digunakan untuk memperkaya gaya berkaryanya.