By Bambang Muryanto, Jurnalis

02 August 2021 - 10:41

Foto Sukri Budi Dharma berdiri bersandar di depan dinding berwarna biru yang menampilkan beberapa gambar mural. Di bagian atas kepala Butong, ada gambar mural mengilustrasikan gambar bumi sedang memakai masker, serta di sebelah kanannya ada gambar tampak samping seorang petani yang sedang duduk dan polisi yang sedang berdiri, keduanya mengenakan masker.
Deskripsi gambar: Foto Sukri Budi Dharma berdiri bersandar di depan dinding berwarna biru yang menampilkan beberapa gambar mural. Di bagian atas kepala Butong, ada gambar mural mengilustrasikan gambar bumi sedang memakai masker, serta di sebelah kanannya ada gambar tampak samping seorang petani yang sedang duduk dan polisi yang sedang berdiri, keduanya mengenakan masker. ©

Dok. oleh Sukri Budi Dharma (Butong)

Sukri Budi Dharma (45) adalah seorang seniman dan aktivis seni disabilitas yang mempunyai prinsip, jika seseorang ingin maju maka ia harus mempunyai niat kuat dan selalu terbuka dengan asupan ilmu-ilmu baru. Ia sendiri membuktikan disabilitas bukan halangan, sederet prestasi pernah diraihnya seperti juara I teater inklusi “unspoken talent night” Bandung (2017), mengikuti berbagai pameran lukisan hampir setiap tahun dan bersama Nano Warsono terpilih sebagai penerima hibah program “Connection Through Culture” (CTC) yang diadakan British Council (2021).

“Kalau kita punya sikap seperti sebuah gelas yang penuh dan apalagi tertutup, pasti sulit diisi air lagi,” ujar Budi di Galery RJ. Katamsi, Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, 

Pria yang akrab dipanggil Butong (Budi Tongkat) karena menggunakan bantuan tongkat untuk berjalan itu menyadari kesetaraan bagi para disabilitas masih menjadi persoalan. Tetapi situasi ini tidak boleh menjadi halangan bagi penyandang disabilitas dalam mereguk ilmu sebanyak-banyaknya.

“Saya tidak ingin selalu menyalahkan pihak eksternal, kita juga harus berani berpikir out of the box,” tambahnya, Rabu (2/6).

Butong menyebut dirinya seniman “multi fungsi”, ia menekuni teater, monolog, fotografi, seni suara, dan seni lukis. Ia pernah mencicipi pendidikan jurusan seni lukis di Institut Kesenian Jakarta (IKJ) tetapi gelar sarjana didapatkannya dari jurusan psikologi, Universitas Gunadarma Jakarta (1999).

Setelah menamatkan kuliah, Butong sempat bekerja di berbagai perusahaan seperti di Medan dan Jakarta. Tetapi panggilan ‘ruh seniman’ menuntunnya ke Yogyakarta. Ia mendirikan Difabel and Friends Community, sebuah komunitas terbuka bagi penyandang disabilitas dan bukan untuk berkesenian (2009).

Mereka yang mengikuti kegiatan Difabel Friends and Community tak harus memiliki ketrampilan seni secara khusus. Dalam komunitas ini setiap orang belajar membangun percaya diri, hasilnya beberapa penyandang disabilitas berani bekerja di lembaga publik.

Sebelas tahun kemudian, Butong mendirikan Jogja Disability Arts (JDA), sebuah organisasi yang bertujuan menciptakan kesetaraan dalam dunia seni. 

“Kami tidak minta disetarakan dengan para maestro tetapi ada aksesibilitas terhadap ranah intelektual,” ujarnya.

Pada awal pendiriannya, JDA membuat “gebrakan”, menjalin kerjasama dengan ISI Yogyakarta agar galeri milik kampus itu asesibel. Sebuah lift sudah dipasanag agar para penyandang disabilitas mudah naik hingga ke lantai tiga.  Kini galeri yang mengambil nama salah seorang pendiri Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI), cikal bakal ISI Yogyakarta itu adalah salah satu dari sedikit galeri di Yogyakarta yang mulai asesibel kepada para penyandang disabilitas.

JDA bersama Galeri R.J. Katamsi juga mengundang komunitas difabel menyaksikan pameran karya mahasiswa kampus itu, Kamis (27/5). Ada belasan penyandang disabilitas yang datang, salah satunya Daliman asal Pundong, Kabupaten Bantul. Daliman yang naik sepeda yang dikayuh dengan tangan  itu membutuhkan waktu tempuh sekira dua jam.

Saat berada di Galeri R.J. Katamsi, para penyandang disabilitas itu mendekati setiap karya yang tergantung di tembok galeri. Mereka mencoba memahami karya-karya seni yang penuh bahasa symbol itu. Bila tak mengerti, mereka tak segan bertanya.

“Ini maksudnya apa ya?” tanya Sri Lestari, seorang pengguna kursi roda.

Sri yang menjadi difabel akibat keruntuhan tembok dapur saat gempa bumi mengguncang Yogyakarta dan Jawa Tengah, 27 Mei 2006 itu bertanya tentang karya Febri Anugerah yang berjudul “Astha Brata”.  Karya yang dibuat dari resin itu menggambarkan seorang raja Jawa tanpa kepala sedang duduk di singgasana dan dikelilingi delapan otak. Pesannya, seorang raja Jawa dalam memimpin itu harus bijaksana seperti termaktub dalam Astha Brata, delapan prinsip kepemimpinan.

Setelah selesai melihat pameran, Butong minta para penyandang disabilitas itu memberikan masukan soal asesibilitas Galeri R.J. Katamsi. Mereka bicara santai sambil bersendau gurau.

“Kamar mandinya belum asesibel, tidak ada ramnya,” ujar salah seorang dari mereka.

Foto Butong di depan dinding berwarna biru yang dipenuhi dengan mural di atas stencil.
Deskripsi gambar: Foto Butong di depan dinding berwarna biru yang dipenuhi dengan mural di atas stencil.  ©

Dok. oleh Sukri Budi Dharma (Butong)

Pada suatu siang yang cerah, Butong memperlihatkan projek mural CTC yang hampir selesai.  Mural berjudul “Netas/Incubate” itu merupakan kolaborasi antara Butong dan Direktur Galeri RJ Katamsi cum pelukis, Nano Warsono di Indonesia dengan Lisa Tan dan Andrew Bolton dari Disability Murals di Inggris. Kemudian masing-masing seniman dari dua negeri itu mengajak seniman lainnya.

Butong dan Nano mengajak enam seniman disabilitas lainnya. Para seniman yang telah lama memendam keinginan menggambar mural itu diminta membuat gambar sesuai tema dalam suatu panel yang kemudian dikirim ke Yogyakarta. 

“Tugas saya dan Nano adalah merangkaikan karya ini,” ujar Butong.

Semua gambar mural dipasang pada suatu pagar tembok sepanjang delapan meter di pinggir satu ruas jalan, tidak jauh dari Kampus ISI Yogyakarta di Sewon, Bantul. Sesuai dengan tema, para seniman menggambarkan suatu harapan baru setelah pada masa pandemic covid-19 ini seluruh umat manusia di dunia “dikurung” seperti dalam sebuah telur.  

Pada bagian tengah, ada gambar pohon yang berakar pada bola dunia bermasker karya Nunggal dari Yogyakarta. Ia berharap pandemic segera berakhir dan dunia normal kembali. Winda K dari Bali menggambar seorang perempuan berkursi roda sedang berbagi sesuatu dengan seorang anak. Di dekat gambar itu ada tulisan,”Ingin terus berbagi dengan teman-teman.”

Sedangkan Yuni dari Bengkulu menggambar seorang perempuan bermasker sedang menari di atas kelopak bunga rafflesia arnoldi. Ia berpesan agar teman-temannya selalu semangat. Anfiled dari Jakarta menggambar kupu-kupu yang barus saja keluar dari kepompongnya. Ia melambungkan pesan tentang keinginannya agar bisa sekolah lagi.

Lala dari Bandung menggambar sosok menyerupai tokoh wayang golek, Cepot sedang berupaya keluar dari “pusaran kemelut”. Anugerah dari Yogyakarta menggambar sebuah toko yang berada di atas awan, prihaatin atas harga barang-barang yang naik pada masa pandemic. Ia mengalami kesepian sehingga segera ingin bertemu dengan teman-temannya.

Pada bagian bawah ada gambar karya Kusdono Rastika dari Cirebon yang menggambarkan dua tokoh punokawan, satu mengenakan seragam pegawai negeri dan seorang lagi menjadi petani. Ia berpesan agar pemerintah dan masyarakat bersama-sama melawan covid. Di ujung paling bawah, “menyempil” gambar bunga mawar yang sedang merekah. Agus dari Madiun yang membuat gambar ini berharap agar segera ada pameran (seni) Kembali.

Sedangkan pada tembok bagian tengah, paling atas ada gambar Nano Warsono. Ia menggambar burung dara dan wallet berlatar belakang pelangi yang melambangkan kerjasama Indonesia dan Inggris.  

Setelah melihat foto tentang mural “Netas/Inkubasi”, salah seorang street artist terkemuka, Andrew Lumban Gaol “AntiTank” menyatakan kekagumannya. Andrew dikenal dengan karya poster-poster yang kritis dan dipasang di ruang public.

“Sangar! Gambarnya detail, seperti wayang,” ujarnya.

Bila ingin melihat karya mural ini, silakan datang Kampung Pelem Gurih, tidak Jauh dari Kampus ISI Yogyakarta. 

“Karya ini juga bisa disaksikan secara online di youtube,” ujar Butong.

Untuk konten online, Butong membuat tiga rekaman video, yaitu soal materi karya, behind the scene, dan theme song dari karya ini. Khusus untuk theme song akan dibuat oleh seniman Netra.

Sebagai seorang seniman, Butong memang tidak terlalu dikenal. Beberapa curator terkemuka di Yogyakarta tidak mengenal namanya.  Apakah ini juga menjadi tanda seniman disabilitas masih dipandang sebelah mata?

Padahal karya lukis Butong memiliki makna dalam. Ada karya yang dipengaruhi kondisi disabilitasnya. Misalnya karya “Me and Flower” yang menggambarkan tangan kanan Butong sedang menyentuh tangan seorang perempuan berkepala bunga. Sementara seekor kucing berdiri dibalik kakinya, seekor anjing sedang mengencingi tongkat yang menyangga tubuh Butong.

“Itu adalah gambaran dari masyarakat ada yang mendukung dan tidak (terhadap disabilitas),” ujarnya.

Tetapi ada juga karya-karyanya yang realis, misalnya gambar ikan arwana, burung hantu dan bunga yang menggunakan cat air di atas kertas. Ada karyanya yang dijual tetapi Butong menggantungkan hidupnya dari bekerja sebagai seorang desain grafis dan sablon kaos.

Sebagai seorang seniman mungkin namanya belum menjulang tinggi. Tetapi Butong sudah berbuat banyak untuk kemanusiaan, membuka ruang lebih terbuka dan inklusif bagi para penyandang disabilitas di dunia kesenian.