Mariska Febriyani dari Ballet.id (ID) dan Marc Brew dari Marc Brew Company (UK) berkolaborasi dalam sebuah residensi seni digital selama 8 minggu untuk mengeksplorasi konsep ruang dan restriksi, bercermin pada pandemi ini, dan bercermin pada berbagai lansekap dari kedua negara.
Setiap eksplorasi ini kemudian direkam dan diedit untuk dikemas ke dalam sebuah video tari yang mencerminkan berbagai perspektif berbeda dari masing-masing individu, kebudayaan, dan inklusi.
Ballet.id dan Marc Brew Company, melalui kolaborasinya, telah memproduksi dua buah film tari yang masing-masing berjudul "Logue" dan "Renewable".
Koreografi dari kedua film ditarikan oleh Mariska Febriyani dan Marc Brew di Indonesia dan Inggris, serta produksi filmnya dilakukan oleh tim Ballet.id dan Marc Brew Company.
Setelah proyeknya rampung, kami berbincang dengan Mariska seputar momen menarik, wawasan baru, serta hambatan yang ia temui selama menjalankannya.
Bagaimana proyek anda secara keseluruhan?
Menurut saya proyek ini berjalan dengan saat baik. Saya dapat berkata demikian berdasarkan tanggapan dari para penonton. Ini tidak pernah tentang saya atau kolaborator kami, melainkan pesan yang ingin kami sampaikan kepada orang-orang. Kami merasa sangat bersyukur jika film ini dapat diterima dengan baik berhubung ini merupakan area yang baru bagi kami. Kita semua tahu bahwa seni tari itu bisa ditampilkan melalui video atau platform digital. Namun untuk membuat suatu film atau video yang bisa menyampaikan pesan yang tepat dan bisa diterima oleh orang-orang, itu sangat menjadi pembelajaran bagi kami. Sejauh ini kami belum menerima masukan yang negatif. Oleh karena itu mungkin kalau kami bisa lakukan pemutaran film secara lebih luas, mungkin kami bisa dapat masukan yang lebih dalam lagi.
Apakah anda memiliki wawasan baru untuk dibagikan?
Ide awal dijalankannya proyek ini datang setelah saya melihat hasil film tari milik Scottish Ballet. Semenjak pandemi, Scottish Ballet mengalihkan aktivitas mereka ke platform digital dalam bentuk film. Salah satunya yaitu Nutcracker, yang mereka sebut dengan judul The Secret Theatre, dan baru memenangkan penghargaan. Dari situ kami bisa belajar dan melihat suatu perusahaan produksi dari negara lain melalui platform digital. Dari awal proyek ini berjalan, itu lah yang kami harapkan agar kami bisa menjangkau masyarakat atau pecinta seni secara luas melalui format digital seperti ini. Ditambah lagi khususnya untuk Indonesia, semenjak British Council memperkenalkan saya dengan seni dan disabilitas, kami kemudian selalu berusaha membuat proyek yang dapat membuat kita belajar mengenai cara memfasilitasi seniman-seniman difabel. Melalui proyek ini, saya rasa banyak atau setidaknya penonton kami, mereka belajar sesuatu dari deskripsi audio. Kami berterima kasih ke Marc juga karena dia selalu mengingatkan kami mengenai bagaimana cara memfasilitasi teman-teman difabel. Saya pikir ini sekaligus wawasan yang bisa saya bagikan.
Apa momen paling menarik selama proyek anda?
Saat yang paling menarik selama proyek ini adalah ketika kita berpikir tentang bagaimana membuat proyek ini hidup dan membawanya kepada orang-orang. Ini pertama kalinya saya mendapat dana sebagai seniman. Saya berpikir bahwa kita perlu membuat sesuatu seperti film tari, atau sesuatu yang dapat ditampilkan melalui platform digital, terinspirasi oleh Scottish Ballet. Karena itulah kita perlu mencari kolaborator agar kita juga bisa belajar dari mereka.
"Saya beritahu dia bahwa saya tidak biasa jika harus bekerja tanpa musik. Saya butuh musik untuk kemudian membuat karya. Dia pun membiarkan saya untuk memilih musik yang cocok untuk tarian saya, dan kemudian saya beritahu dia bagaimana perasaan saya dan apa yang ingin saya sampaikan ke penonton melalui film ini."
Apa saja perubahan atau hambatan yang anda alami selama proyek berjalan?
Saya belajar banyak hal sebagai penari, tidak hanya sekedar membuat koreografi untuk panggung. Dari pengalaman saya sebelumnya, untuk membuat sebuah film tari kita harus memikirkan aspek sinematografi. Berkat program CTC, ini menjadi kesempatan pertama saya untuk membuat film tari dan bekerja dengan seorang komposer yaitu Bagas. Saya beritahu dia bahwa saya tidak biasa jika harus bekerja tanpa musik. Saya butuh musik untuk kemudian membuat karya. Dia pun membiarkan saya untuk memilih musik yang cocok untuk tarian saya, dan kemudian saya beritahu dia bagaimana perasaan saya dan apa yang ingin saya sampaikan ke penonton melalui film ini. Jadi ini adalah sebuah proses kolaboratif antara saya, Marc, Reynold sebagai editor, dan Bagas sebagai komposer.
Contohnya adegan di stasiun MRT, diantara sequence perjalanan, ini bukan hanya tentang perjalanan, tetapi juga tentang bagaimana kita rindu untuk bepergian secara normal lagi. Yang ingin saya sampaikan adalah kita harus menerima situasi saat ini, ketidakpastian, dan bahwa kita harus terus berjalan. Itu mengapa saya meminta Marc untuk menatap kamera dan tersenyum, untuk memberikan pesan ke orang-orang bahwa masih ada harapan, hanya saja kita harus tetap maju.
Apa yang anda nantikan setelah ini?
Sejak 2014 hingga sekarang, kami hanya pernah mendapatkan pendanaan yang bersifat one-time. Saya berharap lain kali kita bisa mendapatkan pendanaan yang sifatnya lebih berkelanjutan. Biasanya setelah menyelesaikan satu proyek, kami akan membuat proyek lain yang lebih besar. Selalu ada ruang untuk perbaikan. Tidak harus berskala besar, namun kita bisa menambahkan lebih banyak detail dan belajar lebih banyak lagi mengenai produksi film tari.
"Alasan kami menggunakan proyektor dalam penampilan kami yaitu agar orang-orang dapat melihat adanya hubungan antara saya dan Marc. Saya tidak mau tiap frame bergantian terus menerus antara saya dan Marc. Teknologi lah yang membuat kami terhubung satu sama lain. Jadi tidak hanya tentang koreografi, namun juga bagaimana menyatukan kami berdua."
Adakah sisi positif yang mungkin tidak didapatkan jika format kolaborasi ini bukan online?
Dari sisi koreografi, ini tidak sesulit dibandingkan ketika kami mempersiapkan koreografi untuk tampil di panggung. Karena kalau di panggung, tidak ada yang bisa kita tutupi. Kita hanya mengandalkan lighting. Tapi untuk film tari ini, dari sisi sinematografi nya pun kita harus ulik mengenai apa yang kiranya bagus untuk ditampilkan. Dari situ kami sadar kalau kami kurang memperhatikan Jakarta dan sisi menariknya yang bisa kami angkat.
Alasan kami menggunakan proyektor dalam penampilan kami yaitu agar orang-orang dapat melihat adanya hubungan antara saya dan Marc. Saya tidak mau tiap frame bergantian terus menerus antara saya dan Marc. Teknologi lah yang membuat kami terhubung satu sama lain. Jadi tidak hanya tentang koreografi, namun juga bagaimana menyatukan kami berdua.
Jika dibandingkan dengan pertunjukan langsung, film tari ini memberikan nuansa berbeda, yang mana pertunjukan langsung hanya memiliki satu frame. Sudut yang disorot tidak bisa diatur, misalkan hanya memperlihatkan kaki. Itu lah hal menarik yang membuat saya ingin mengeksplorasi pembuatan film tari.
Tentang Kolaborator
Mariska Febriyani
Mariska Febriyani adalah seorang penari, guru, Founder & Direktur Eksekutif dari Ballet.id. Ia mendedikasikan hidupnya untuk dunia tari di Indonesia. Ia telah menjalin banyak kolaborasi dan program pertukaran budaya antara Indonesia dan para penari internasional. Ia secara aktif mencari dukungan untuk menjalankan program Seni dan Disabilitas.
Marc Brew
Marc Brew adalah seorang penampil asal Inggris/Australia, sutradara, koreografer. Berdomisili di Skotlandia, karya Marc seringkali dibawa dalam tur keliling dunia. Ia menerima Centenary Medal untuk Outstanding Contribution sebagai penari dan koreografer dan pernah dinominasi dalam Isadora Duncan Award, kategori Outstanding Achievement in Performance (Individual).