Wendi Putranto berbagi kesan atas kunjungannya ke The Great Escape – festival musik pinggir pantai yang menyediakan panggung bagi para musisi pendatang baru dan sedang naik daun dari seantero Britania Raya.
Setengah tidak percaya. Setelah terkurung pandemi paling mengerikan dalam sejarah dunia selama 2,5 tahun, akhirnya saya dapat secepatnya terbang kembali ke luar negeri untuk mengalami sebuah ajang festival musik pinggir pantai bagi para pendatang baru paling berpengaruh di dunia. The Great Escape, like literally!
Artikel ditulis oleh Wendi Putranto (Co-founder M Bloc Group, Manager Seringai)
Kota Brighton
Setelah menempuh perjalanan kereta api sekitar 75 km dari Victoria Station, London, selama lebih kurang satu jam — termasuk takjub saat kereta ternyata melewati Battersea Power Station yang fenomenal bagi para penggemar babi terbang Pink Floyd — akhirnya saya tiba di Brighton Railway Station yang begitu antik dan anggun eksteriornya.
Suasana kota wisata pantai paling hip di Britania Raya tersebut saat itu tengah mendung dengan arak-arakan awan hitam yang menggantung. Arak-arakan burung Camar yang berterbangan rendah ke sana kemari di atas garis pantai Brighton menciptakan pemandangan yang indah. Angin dingin semilir berhembus pada cuaca 14 derajat Celcius, membuat saya terpaksa menarik keluar dari tas seutas kain penghangat leher. Sedikit hangat setelahnya.
Brighton awalnya merupakan sebuah kota wisata pantai bagi keluarga kerajaan Inggris, khususnya berkembang pesat ketika Raja George IV berkuasa pada dekade 1820 hingga 1830. Raja George yang terkenal menjadi patron bagi plesiran, gaya hidup, dan pencetus selera bahkan kemudian membangun Royal Pavilion, istana kediaman keluarga kerajaan yang terpengaruh gaya arsitektural India dan kini menjadi salah satu landmark Brighton.
Dalam catatan subkultur Britania Raya, Brighton pernah menjadi lokasi tawuran massal antara geng Mods dan Rockers pada 1964 yang kemudian menginspirasi The Who untuk merilis album juga film Quadrophenia (1973) yang terinspirasi dari romantika peristiwa tersebut. Geng Mods biasanya naik skuter, bergaya busana cerah, parlente dan terpelajar. Kerap mendengarkan musik jazz, R&B, hingga soul. Sementara rival mereka, geng Rockers, berdandan lebih gelap dan urakan. Biasanya berjaket kulit, jeans, mengenakan boots, bergaya rambut mengkilap khas Marlon Brando di film The Wild One dan menggilai musik rock & roll.
Kembali ke Stasiun Brighton. Pemandangan menjelang The Great Escape (TGE) tampak cukup ramai dengan anak-anak band yang datang dari London maupun berbagai penjuru dunia. Mereka terlihat sibuk membawa koper, softcase, hardcase instrumen dengan gaya dandan seakan-akan mereka naik panggung saat itu juga. Bands are back in town!
Sangat menyenangkan bisa melihat kembali pemandangan seperti ini setelah lebih dari dua tahun lamanya hanya bisa mendekam di rumah, memandangi mereka dari layar gawai atau komputer melalui sebuah pementasan virtual yang dingin dan membosankan.
Kebetulan pula ini merupakan TGE pertama dalam dua tahun yang diadakan secara offline. 2020 dibatalkan karena pandemi, 2021 diadakan namun hanya online. Tak heran kalau semua orang yang saya temui di perjalanan menuju hotel terlihat sangat antusias menyambut kehadiran TGE tahun ini. Supir taksi yang sepertinya keturunan Timur Tengah menjelaskan cuaca Brighton yang mendung dan gerimis perlahan ini baru terjadi hari itu saja. Hari-hari sebelumnya cerah dan bersinar terang, awal transisi menuju musim panas.
“Beberapa hari ini Brighton terlihat lebih ramai didatangi turis yang datang untuk menikmati festival. Anda lihat sendiri nanti pada akhir pekan, akan jauh lebih ramai dari hari ini. Cuaca pun akan lebih bagus dari hari ini, tenang saja,” ujarnya. Ternyata selain TGE, ada pula Brighton Festival, sebuah acara festival kota yang digelar hampir bersamaan waktunya.
Tentang The Great Escape
OK. Sedikit pencerahan dulu bagi mereka yang kurang familier dan mungkin bertanya, “festival musik seperti apakah The Great Escape?”
TGE yang pertama kali diadakan pada 2006 ini lebih dari sekadar festival tahunan bagi musik-musik baru yang menghibur, melainkan juga sebuah konferensi musik yang informatif dan edukatif. Ribuan orang dari berbagai latar belakang ras, keyakinan, orientasi seksual, genre, dan profesi di musik; penggemar konser, musisi, anak band, eksekutif label rekaman, booking agent, promotor, manager, jurnalis musik, lembaga manajemen kolektif, atau praktisi industri musik lainnya, dengan antusiasme tinggi berkumpul selama empat hari, empat malam guna merayakan musik-musik baru di seantero Brighton. Semua yang belakangan menjadi buah bibir dan menoreh banyak perhatian di skena atau industri musik dibahas tuntas dan dipanggungkan di sini. TGE bagaikan Mekkah bagi para pendatang baru yang ingin berhasil di industri musik Britania Raya dan berikutnya, menguasai dunia.
Ada dua agenda esensial yang dijalankan simultan selama empat hari pelaksanaan TGE. Konferensi musik yang terpusat di Jury’s Inn Waterfront Hotel dan showcase band-band yang tersebar di berbagai kawasan Brighton yang (jika Anda perkasa mengaspal) dapat dijangkau dengan berjalan kaki semuanya. Biasanya, konferensi dimulai pada pukul 10 pagi dan berakhir pukul 18. Mulai petang hingga dini hari ratusan showcase digeber serentak di 31 venue musik (bahkan ada yang berakhir pukul 4 pagi!). Ada penampilan yang letaknya di dalam tenda di pinggir pantai, di dalam bar, pub, café, restoran, dome bersejarah bahkan ruangan hotel. Kapasitasnya rata-rata berskala kecil saja, puluhan hingga ratusan penonton. Venue paling besar dan bisa menampung seribuan penonton hanya panggung yang berada di dalam tenda pinggir pantai seperti Amazon New Music Stage, TGE Beach Stage, atau Brighton Dome.
The Conference (Konferensi Musik)
Seluruh topik yang dibahas pada sesi TGE Conference adalah semua hal yang sangat dibutuhkan para pendatang baru. Hari pertama misalnya, fokus pada tema MUSIC+EDUCATION; Navigating The Music-Maker Community, Navigating Music Education + Talent Development, hingga The Artist Circle. Mereka melakukan pemetaan terhadap musisi maupun komunitasnya dan membaginya mulai dari level bermain musik sebagai hobi, artis DIY, musisi paruh waktu, penuh waktu hingga superstar. Para pembicaranya datang dari para lektur musik senior di berbagai kampus terkemuka, asosiasi profesi manager, hingga eksekutif label rekaman.
Saya memantau dengan saksama data statistik yang terpampang di layar, sangat mencengangkan! Ada 8 juta kreator di Spotify, 5,5 juta artis yang memiliki rilisan, 60.000 lagu yang diunggah setiap harinya, 200.000 yang merilis di bawah label, sisanya merilis lewat jalur DIY, dan diluar Spotify sendiri ada +15 juta artis lainnya di berbagai platform. Sampai sini saja kita bisa bayangkan betapa kuat dan dahsyatnya potensi industri musik di sana.
Hari kedua mengulas tema MUSIC+DATA; Rights + Track Data – The Journey, Fan + Marketing Data, NFTs, Blockchain, The Metaverse + Web3. Para pembicara datang dari berbagai perusahaan hiburan terbesar di dunia yang belakangan intens memanfaatkan big data sebagai navigasi bisnis mereka, misalnya seperti Ticketmaster, Live Nation, Deezer, Amazon Music serta beberapa label rekaman independen lainnya. Ulasan kritis mereka kali ini bagai simulasi lompatan industri musik yang beroperasi sepenuhnya di ranah metaverse, siapa yang lebih diuntungkan dan siapa yang berpotensi dirugikan.
Tidak ada sepatah dua patah kata pun pembahasan yang menganalisa praktik pembajakan musik seperti yang selalu terjadi di berbagai forum panel musik di tanah air. Ke depan adalah bagaimana musisi dan perangkat pendukung sistemnya berhasil menguasai big data untuk selanjutnya menciptakan sekaligus menguasai pasar! Menariknya, pada forum ini masih tetap ada saja kritik dari kubu paradigma sekolah lama yang beranggapan bahwa data bisa saja keliru atau dimanipulasi sehingga sentuhan industri musik “tradisional” tetap dibutuhkan ke depannya.
Dari semua topik yang dibahas selama empat hari tersebut, bagi saya yang paling serius dan menarik justru di hari terakhir, pada sesi ELEVATE PANEL. Saya nongkrong sejak pagi hingga sore hari dan melahap semuanya dengan rakus, sesi demi sesi yang digelar pada akhir pekan, ya, Sabtu adalah hari belajar. Ulasannya mulai dari Artist Revenues – Making Money From Music, Fanbase Building – Finding an Audience, Music Copyright Explained, Music Streaming Explained, Going Live – Getting Booked + Going On Tour, Music Data Explained, Record Deals Explained, Releasing Music + Getting Streamed, The Direct-to-Fan Opportunity hingga sesi bedah rekan kerja artis dalam tema Artist Business Partners. Saya sempat merekam penuh sesi yang saya sebutkan terakhir dan unggah di IG bagi yang penasaran. Jika Anda para pembaca artikel ini ada yang berminat untuk membaca slide dari masing-masing sesi tersebut, silakan kirim email ke saya untuk mendapatkannya secara cuma-cuma.