Wirausaha sosial dan kreatif turut mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih inklusif di Indonesia dengan menyediakan lapangan kerja bagi kelompok-kelompok seperti penyandang disabilitas, perempuan dan anak muda yang tinggal di wilayah yang marjinal dan selama ini sulit mengakses sektor kerja formal. Untuk itu, wirausaha sosial dan kreatif perlu terus didukung antara lain melalui peningkatan kapasitas dan rancangan kebijakan yang memudahkan mereka yang memiliki usaha dengan tujuan untuk menyelesaikan masalah sosial di masyarakat.
British Council turut berpartisipasi sebagai capstone partner dan mentor Think Policy Bootcamp - yang rangkaian kegiatannya adaah bootcamp untuk belajar perumusan kebijakan publik selama 16 minggu, dan puncaknya adalah presentasi ‘Policies for the Nation’ yang diselenggarakan oleh Think Policy secara daring pada Sabtu, 6 Juni 2020.
‘Policies for the Nation’ merupakan acara penutupan dari Think Policy Bootcamp, di mana setiap kelompok peserta bootcamp mempresentasikan hasil diskusi mereka terkait tema yang sudah disepakati dengan capstone partner dan juga merupakan salah satu tema kebijakan terkait dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). British Council dan Think Policy Bootcamp bekerjasama untuk tema Mendorong Pembangunan Ekonomi yang Inklusif melalui penguatan Social dan Creative Enterprise.
Diwakili oleh Ari Sutanti, Senior Programme Manager, British Council, yang juga adalah salah mentor untuk capstone project, British Council juga berperan sebagai penanggap diskusi dalam sesi “Mengembangkan Ekonomi yang Inklusif dan Kreatif melalui Creative and Social Enterprises”, yang dibawakan oleh Group Capstone Economic Growth.
Paparan tentang kebijakan apa yang bisa dipertimbangkan pemerintah untuk mendukung wirausaha sosial dan kreatif, disampaikan kepada lebih dari 400 peserta webinar, dan juga kepada para pengambil kebijakan, sehingga terjadi proses dialog dan diskusi tentang bagaimana mengembangkan kedua sektor ini.
Selain pertanyaan dan masukan dari peserta diskusi, Camelia Harahap (Head of Arts and Creative Industries, British Council), Ahmad Dading Gunadi (Direktur Pengembangan Usaha Kecil, Menengah dan Koperasi, Bappenas), Wahyu Wijayanto (Kepala Subdirektorat Ekonomi Kreatif, Bappenas), dan Ari Margiono (Head of Center for Innovation, Design and Entrepreneurship Research, Universitas Bina Nusantara) juga memberikan tanggapan yang memperkaya paparan tentang bagaimana memajukan industri kreatif dan wirausaha sosial di Indonesia, melalui kebijakan pemerintah.
Sesi “Mengembangkan Ekonomi yang Inklusif dan Kreatif melalui Creative and Social Enterprises” membahas pengembangan wirausaha sosial dan kreatifsebagai salah satu upaya untuk membangun ekonomi yang inklusif melalui penciptaan lapangan kerja dan mendorong partisipasi sektor kreatif dan wirausaha sosial untuk bersama pemerintah menciptakan peluang ekonomi dan menyelesaikan masalah sosial yang ada. Ini makin penting dilakukan di era pasca pandemi, mengingat makin banyaknya jumlah orang yang kehilangan pekerjaan.
Dalam kesempatan tersebut, Leonard sebagai pemateri menyampaikan empat masalah utama yang dihadapi dalam mengembangkan wirausaha sosial dan kreatif, antara lain: pendanaan, soft skill, pemasaran dan penjualan, serta legalitas. Selain itu, Leonard juga membahas alternatif solusi dari keempat masalah utama tersebut, yang diikuti dengan rekomendasi yang ditawarkan.
Menanggapi hal tersebut, Ari Sutanti menambahkan bahwa sebagai salah satu alternatif solusi jangka menengah dan panjang, pemerintah dapat mengoptimalkan pengadaan (procurement) barang dan jasa untuk mendukung wirasusaha sosial dan kreatif, tentunya dengan tidak mengurangi semua kriteria yang sudah ada sekarang seperti harga dan kualitas yang terbaik. Sebagai contoh, proses pengadaan bisa dengan menambahkan kriteria penggunaan material lokal, tidak merusak lingkungan dalam proses produksi, dan dikerjakan oleh tenaga kerja dari daerah setempat, sehingga mengurangi emisi yang dihasilkan dari transportasi. Hal ini dapat membantu sektor wirausaha sosial dan kreatif yang sebagian besar telah menerapkan model bisnis ramah lingkungan dan berkelanjutan.
“Wirausaha sosial dan kreatifbanyak menyediakan lapangan kerja bagi mereka yang tidak mampu masuk ke ekonomi arus utama atau mainstream economy. Oleh karena itu, ke depannya, kita juga harus banyak berdiskusi dan bekerja sama dengan melibatkan anak muda tentang bagaimana cara menciptakan industri yang lebih inklusif lagi, terutama bagi perempuan, kaum disabilitas, serta mereka yang berdomisili di daerah,” ujarnya. “Pemerintah juga sebaiknya menjadikan anak muda sebagai teman berpikir.” lanjut Ari.
Penelitian tentang profil wirausaha sosial Indonesia yang dilakukan oleh British Council dan Komisi Ekonomi dan Sosial Perserikatan Bangsa-Bangsa (UN-ESCAP) tahun 2018 menunjukkan bahwa sektor wirausaha sosial berkontribusi sekitar 1,9 persen terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB) Indonesia dan mampu merangkul kelompok yang tidak terserap sektor ekonomi formal.
Camelia Harahap juga menanggapi baik hasil diskusi yang disampaikan oleh Group Capstone Economic Growth. “British Council sendiri memang tengah mencari hibriditas dari wirausaha sosial dan kreatif, di mana, selain aspek bisnis, mereka yang berkecimpung di industri ini juga harus mengedepankan aspek sosial dan kreatif. Adalah sebuah tantangan untuk mencari formula yang pasdari ketiga aspek ini,” terang Camelia. “Perlu adanya pemahaman atau edukasi lebih lanjut terkait wirausaha sosial dan kreatifdi tingkat sekolah atau universitas.” lanjutnya.
Selain itu, Camelia juga menambahkan bahwa, dari segi pemasaran dan penjualan, masih terdapat ketimpangan dalam hal infrastruktur digital serta pengembangan soft skill yang dialami wirausaha sosial dan kreatif untuk mengakses pasar domestik dan internasional. Menurutnya, hal ini juga perlu dibenahi.
Sementara itu, terkait masalah pendanaan, Ahmad Dading Gunadi menyebutkan bahwa usaha sosial dan kreatif perlu menyertakan dampak ekonomi dan sosial yang lebih spesifik ke investor. “Tidak cukup menyebutkan bahwa usaha tersebut mengurangi jumlah pengangguran, misalnya. Suatu usaha sosial dan kreatif perlu menyebutkan dampak positif lain yang lebih nyata, misalnya meningkatkan harkat ibu rumah tangga, meningkatkan kualitas pendidikan anak, dan sebagainya, sehingga investor dapat melihat ciri khas usaha yang diusung.” jelasnya.
---
Think Policy adalah perkumpulan yang terdiri dari profesional dan pemimpin muda yang berkomitmen untuk melayani masyarakat dari sektor publik atau pemerintah, bisnis dengan misi sosial, maupun organisasi masyarakat sipil. Think Policy berfokus pada kerangka kerja praktis yang membangun kreativitas, kapasitas analitis dan kemampuan berpikir strategis dengan berdasarkan bukti dan empati.
‘Policies for The Nation’ adalah serangkaian presentasi inovasi riset capstone-project yang dilakukan oleh para peserta Think Policy Bootcamp Vol.2 untuk “policy client” dari sektor publik maupun swasta, salah satunya British Council, dengan mengusung tema “Menuju Indonesia Berpenghasilan Menengah - Tinggi yang Sejahtera, Adil, dan Berkesinambungan”.
Kurang lebih 400 profesional muda di sektor publik, swasta, dan masyarakat sipil berpartisipasi aktif dalam diskusi ini dengan bertukar informasi dan berbagi pertanyaan melalui kolom chat.
Penelitian 'Membangun Ekonomi Kreatif dan Inklusif: Profil Usaha Sosial di Indonesia' oleh British Council dan UN-ESCAP dapat diunduh di sini.