By Heru Joni Putra, Josh Ben-Tovim, Roseanna Anderson

06 September 2021 - 09:25

Foto pemandangan pantai di waktu senja dengan struktur-struktur seperti rakit.
Deskripsi gambar: Foto pemandangan pantai di waktu senja dengan struktur-struktur seperti rakit.  ©

Foto dokumentasi Irfan Setiawan

Proyek ini kami beri nama “TIBA” dan kemudian menghasilkan konsep yang bernama “The Museum of Arrival”. Pada mulanya kami saling berbagi cerita tentang makna “tiba” berdasarkan pemikiran, pengalaman, dan memori kolektif yang kami punya, baik dalam bentuk catatan personal ataupun teks sastra. 

Hasil dari semua cerita itu kami olah menjadi sebuah konsep karya tari yang diberi nama “The Museum of Arrival”. Konsep ini nantinya akan diteruskan ke dalam bentuk panggung atau film tari. Itu sangat tergantung dari kondisi di kemudian hari. Namun begitu, kami membuat sebuah zine yang berisikan jejak-jejak proses kami selama mengerjakan proyek ini hingga menjadi konsep “The Museum of Arrival”. 

Bila setiap museum mempunyai katalog, maka zine yang kami buat ini juga bisa dimaknai sebagai semacam “katalog” dari “The Museum of Arrival” tersebut. Sebagai katalog, zine ini “memamerkan” berbagai memori kami tentang kedatangan, yang sebagiannya sudah bertransformasi ke dalam bentuk baru, seperti puisi, foto, gambar, dan sebagainya. 

Josh, Rosie, Irfan yang sebelumnya adalah penari dan  tidak menulis puisi, di proyek ini turut menuliskan memorinya melalui puisi. Heru yang sebelumnya lebih banyak menulis puisi dan dramaturg bunyi, di proyek ini turut menuliskan tentang gagasan awal karya tari yang akan kami kerjakan. Dengan kata lain, kolaborasi ini membuat saling mencoba banyak hal baru yang dikombinasikan dengan keahlian masing-masing.  Ini semua benar-benar bisa dilakukan melalui kerja sama kolaboratif. 

Dalam berkolaborasi, kita tidak hanya bertukar pikiran, tetapi juga berbagi rasa (sharing the taste). “Taste” bisa saja menjadi sesuatu hal yang sangat personal sehingga terkesan sulit untuk dipahami atau diterima dengan cepat oleh orang lain yang mempunya “taste” yang beda. Tapi, kami bisa melakukannya: kami berbagi taste tentang kata, visual, warna, kenangan, bunyi, dan seterusnya. Saling berbagi taste pada gilirannya adalah saling memahami manusia dengan konteks-konteks yang ada di belakangnya. 

Dalam kolaborasi lintas budaya ini, tentu saja tidak mudah mencari titik temu yang tepat. Titik temu yang akan kami jadikan fondasi untuk berkarya. Kami tidak ingin titik temu itu sekadar artifisial atau tempelan saja, tetapi juga menunjukkan visi dari kolaborasi ini, serta semua yang kami kontribusikan bisa bermanfaat untuk kami masing-masing walaupun setiap kenangan kami berada di konteks yang berbeda-beda. 

Akhirnya, kami memilih untuk menggunakan “formula museum” untuk menampung berbagai memori dan pengalaman kami tentang kedatangan – tak hanya karena formula ini bisa mengakomodir semua data, tetapi juga menjadi formula yang paling tepat untuk menyimbolkan partnership kami. 

Pada umumnya, museum adalah sebuah bangunan atau ruang untuk mengingat kembali apa-apa yang sudah terjadi di masa lalu. Di dalam setiap ingatan itu ada lapisan-lapisan pengetahuan: sejarah, perasaan, aspirasi politik, dan sebagainya. Namun, museum yang kami bangun ini rencananya dalam bentuk karya tari (panggung atau film tari). Jadi, kami menjadikan tubuh sebagai “ruang/space” utama untuk menampilkan dan membicarakan segala ingatan tentang kedatangan dengan berbagai bentuk baru nantinya. 

Projek yang kami kerjakan melalui program CTC ini pada prinsipnya memang dibuat untuk kerja kolaborasi jangka panjang. Apa yang kami sebut sebagai The Museum of Arrival ini merupakan sebuah gagasan awal untuk di kemudian hari bisa kami lanjutkan menjadi karya tari baik untuk panggung ataupun dance film. 

Kami percaya bahwa di era globalisasi ini, isu tentang “kedatangan” akan semakin banyak. Orang-orang berpindah dari satu wilayah ke wilayah lain dengan alas an yang berbeda-beda. Mulai dari alasan wisata hingga faktor perang. Semua itu selalu membawa kisah tentang “kedatangan”. Sejauh ini, proyek “The Museum of Arrival” ini baru merangkum memori kami tentang kedatangan. Kami berharap akan banyak lagi kisah tentang kedatangan yang bisa ditampilkan dalam “museum” ini. 

Irfan Setiawan difoto ketika sedang menari, ia berdiri dengan lengan kanannya dibentangkan lurus di samping kepala dan menarik tubuhnya hingga melenting ke belakang.
Deskripsi gambar: Irfan Setiawan difoto ketika sedang menari, ia berdiri dengan lengan kanannya dibentangkan lurus di samping kepala dan menarik tubuhnya hingga melenting ke belakang.  ©

Foto dokumentasi Irfan Setiawan

Foto lukisan berbentuk lingkaran dengan garis kuas berkombinasi warna hitam, putih, dan coklat.
Deskripsi gambar: Foto lukisan berbentuk lingkaran dengan garis kuas berkombinasi warna hitam, putih, dan coklat.  ©

Dokumentasi: Heru Joni Putra, Irfan Setiawan, Josh Ben-Tovim, dan Roseanna Anderson

Foto pemandangan pantai di waktu senja dengan struktur-struktur seperti rakit.
Deskripsi gambar: Foto pemandangan pantai di waktu senja dengan struktur-struktur seperti rakit.  ©

Foto dokumentasi Irfan Setiawan

Foto hitam putih Roseanna Anderson dan Josh Ben-Tovim dalam suasana latihan tari. Roseanna sedang berdiri dan menengok kebelakang, serta Josh sedang melakukan lompatan dengan kaki menyilang.
Deskripsi gambar: Foto hitam putih Roseanna Anderson dan Josh Ben-Tovim dalam suasana latihan tari. Roseanna sedang berdiri dan menengok kebelakang, serta Josh sedang melakukan lompatan dengan kaki menyilang.  ©

Dokumentasi Josh Ben-Tovim dan Roseanna Anderson

Foto Roseanna Anderson menjulurkan kedua lengan ke depan dengan jari-jari tangan terbuka menunjuk ke bawah, dan kepala mendongak ke atas.
Deskripsi gambar: Foto Roseanna Anderson menjulurkan kedua lengan ke depan dengan jari-jari tangan terbuka menunjuk ke bawah, dan kepala mendongak ke atas. ©

Dokumentasi Roseanna Anderson

Pertama kali kami bertemu ketika Impermanence (UK) melakukan pertunjukan di Jakarta tahun 2019. Irfan Setiawan ikut juga menonton pertunjukan itu. Setelah pertunjukan, Josh dan Rosie dari Impermanence tinggal beberapa hari di Studiohanafi. Di sana bertemu dengan Heru Joni Putra. Kami setiap hari setiap malam ngobrol tentang banyak hal. Selalu ada hal-hal baru yang kami bagi dan dapatkan, baik isu tentang seni, kehidupan sosial, globalisme, dan sebagainya. 

Di tahun yang sama, atas dukungan Komite Buku Nasional, Heru Joni Putra pergi ke Bristol untuk melakukan residensi penulis. Di sana bertemu lagi dengan Josh, Rosie, Dan, beserta teman-teman dari Impermanence lainnya. Lagi-lagi, kami cukup sering bertemu dan berbagi pikiran-pikiran. Ketika program CTC ini dibuka, Josh menghubungi Heru dan di saat yang berdekatan Studiohanafi dan Irfan Setiawan juga menghubungi Josh. Akhirnya kami sepakat untuk membuat karya kolaborasi. 

The formulation of the project felt like an opportunity to pick out some specific ideas we had already been talking about, as well as broad areas that we were all interested in and felt could bring something too. It was also a way to share our practices with eachother, in a sense the process was influenced by the way each person works individually and what they are already engaged with… not trying to start from a blank canvas, but see what colours are present on the palette to begin with. Working throughout the pandemic meant we had to shift many of our plans and expectations, but we were able to ride the various waves of the last year and hold true to the journey we set out on, arriving here at a stage, and looking to see where next. 

Rasa percaya satu sama lain juga muncul karena proyek ini diselenggarakan oleh British Council. Kami sama-sama menghormati institusi besar ini dengan cara memberikan hasil terbaik dari kolaborasi kami sebagaimana kami saling menghormati satu sama lain sebagai manusia yang memilih seni sebagai jalan hidup.