Proyek ini kami beri nama “TIBA” dan kemudian menghasilkan konsep yang bernama “The Museum of Arrival”. Pada mulanya kami saling berbagi cerita tentang makna “tiba” berdasarkan pemikiran, pengalaman, dan memori kolektif yang kami punya, baik dalam bentuk catatan personal ataupun teks sastra.
Hasil dari semua cerita itu kami olah menjadi sebuah konsep karya tari yang diberi nama “The Museum of Arrival”. Konsep ini nantinya akan diteruskan ke dalam bentuk panggung atau film tari. Itu sangat tergantung dari kondisi di kemudian hari. Namun begitu, kami membuat sebuah zine yang berisikan jejak-jejak proses kami selama mengerjakan proyek ini hingga menjadi konsep “The Museum of Arrival”.
Bila setiap museum mempunyai katalog, maka zine yang kami buat ini juga bisa dimaknai sebagai semacam “katalog” dari “The Museum of Arrival” tersebut. Sebagai katalog, zine ini “memamerkan” berbagai memori kami tentang kedatangan, yang sebagiannya sudah bertransformasi ke dalam bentuk baru, seperti puisi, foto, gambar, dan sebagainya.
Josh, Rosie, Irfan yang sebelumnya adalah penari dan tidak menulis puisi, di proyek ini turut menuliskan memorinya melalui puisi. Heru yang sebelumnya lebih banyak menulis puisi dan dramaturg bunyi, di proyek ini turut menuliskan tentang gagasan awal karya tari yang akan kami kerjakan. Dengan kata lain, kolaborasi ini membuat saling mencoba banyak hal baru yang dikombinasikan dengan keahlian masing-masing. Ini semua benar-benar bisa dilakukan melalui kerja sama kolaboratif.
Dalam berkolaborasi, kita tidak hanya bertukar pikiran, tetapi juga berbagi rasa (sharing the taste). “Taste” bisa saja menjadi sesuatu hal yang sangat personal sehingga terkesan sulit untuk dipahami atau diterima dengan cepat oleh orang lain yang mempunya “taste” yang beda. Tapi, kami bisa melakukannya: kami berbagi taste tentang kata, visual, warna, kenangan, bunyi, dan seterusnya. Saling berbagi taste pada gilirannya adalah saling memahami manusia dengan konteks-konteks yang ada di belakangnya.
Dalam kolaborasi lintas budaya ini, tentu saja tidak mudah mencari titik temu yang tepat. Titik temu yang akan kami jadikan fondasi untuk berkarya. Kami tidak ingin titik temu itu sekadar artifisial atau tempelan saja, tetapi juga menunjukkan visi dari kolaborasi ini, serta semua yang kami kontribusikan bisa bermanfaat untuk kami masing-masing walaupun setiap kenangan kami berada di konteks yang berbeda-beda.
Akhirnya, kami memilih untuk menggunakan “formula museum” untuk menampung berbagai memori dan pengalaman kami tentang kedatangan – tak hanya karena formula ini bisa mengakomodir semua data, tetapi juga menjadi formula yang paling tepat untuk menyimbolkan partnership kami.
Pada umumnya, museum adalah sebuah bangunan atau ruang untuk mengingat kembali apa-apa yang sudah terjadi di masa lalu. Di dalam setiap ingatan itu ada lapisan-lapisan pengetahuan: sejarah, perasaan, aspirasi politik, dan sebagainya. Namun, museum yang kami bangun ini rencananya dalam bentuk karya tari (panggung atau film tari). Jadi, kami menjadikan tubuh sebagai “ruang/space” utama untuk menampilkan dan membicarakan segala ingatan tentang kedatangan dengan berbagai bentuk baru nantinya.
Projek yang kami kerjakan melalui program CTC ini pada prinsipnya memang dibuat untuk kerja kolaborasi jangka panjang. Apa yang kami sebut sebagai The Museum of Arrival ini merupakan sebuah gagasan awal untuk di kemudian hari bisa kami lanjutkan menjadi karya tari baik untuk panggung ataupun dance film.
Kami percaya bahwa di era globalisasi ini, isu tentang “kedatangan” akan semakin banyak. Orang-orang berpindah dari satu wilayah ke wilayah lain dengan alas an yang berbeda-beda. Mulai dari alasan wisata hingga faktor perang. Semua itu selalu membawa kisah tentang “kedatangan”. Sejauh ini, proyek “The Museum of Arrival” ini baru merangkum memori kami tentang kedatangan. Kami berharap akan banyak lagi kisah tentang kedatangan yang bisa ditampilkan dalam “museum” ini.