By Gatari Surya Kusuma and Fiona Cullinan

11 May 2022 - 17:43

Deskripsi Gambar: Lima orang berjalan menyeberangi zebra cross di Yogyakarta.
Deskripsi Gambar: Lima orang berjalan menyeberangi zebra cross di Yogyakarta.  ©

Dok. oleh tim Parallel Walking

Dalam kolaborasi mereka, Jalan Gembira (Indonesia) dan Walkspace (Inggris) sama-sama belajar bahwa baik di Yogyakarta maupun Birmingham, praktik berjalan sebenarnya memiliki muatan politis dan ada korelasi yang kuat antara konsep “nongkrong” dan “psikogeografi”. Pelajari selengkapnya dalam perbincangan kami dengan Gatari Surya Kusuma dari Jalan Gembira dan Fiona Cullinan dari Walkspace.

BC: Bagaimana kalian saling bertemu dan memulai proyek ini?

Fiona Cullinan: Awalnya kami didekati oleh Amarawati Ayuningtyas atau Mara dari Jalan Gembira. Sebelumnya Mara pernah bertandang ke Birmingham untuk sebuah acara British Council bersama Birmingham Open Media. Kemudian dia memberikan kontak kami ke jaringan seniman Jalan Gambira.

Kami hanya memiliki waktu seminggu untuk saling mengenal dan menyusun proposal. Ini cukup membuat panik sehingga kami harus bekerja sampai larut malam dan di akhir pekan untuk menyelesaikan proposal tersebut. Tapi kami mampu menyelesaikannya! Saya pikir itu juga menjadi proses saling mengakrabkan diri bagi kami. Kami juga sangat senang ketika akhirnya berhasil mendapatkan hibah ini.

BC: Apa saja yang dibahas dalam kolaborasi kalian?

Gatari Surya Kusuma: Baik di Yogyakarta maupun Birmingham, kami menghadapi perjuangan serupa terkait infrastruktur yang kurang memadai, ketegangan antara ruang publik dan ruang pribadi, polusi kendaraan, gentrifikasi, isu keamanan dan masih banyak lagi. Di sisi lain, kami datang dari dua budaya yang berbeda, yang juga melahirkan dua perspektif tentang berjalan yang berbeda. Jalan Gembira lebih terbiasa mengundang orang lain untuk ikut grup berjalan kami, tetapi Walkspace lebih familiar dengan metode berjalan secara terpisah.

FC: Ada lebih banyak turis di Yogyakarta daripada di Birmingham. Hal ini memengaruhi perkembangan lingkungan lokal, terutama bagaimana para turis malah lebih diutamakan ketimbang penduduk setempat. Kedua kota ini juga memiliki infrastruktur pejalan kaki yang berbeda sehingga mungkin lebih mudah untuk berjalan di salah satunya, namun lebih sulit di kota yang lainnya. 

Pemerintah dan pengaturan kota adalah kunci kesejahteraan penduduk di kota kami masing-masing. Tak dinyana bahwa presentasi akhir kami ternyata bersifat politis. Praktik berjalan di kota rupanya memuat banyak isu yang bisa kami bagikan, mulai dari isu kelas dan gender hingga polusi dan perencanaan kota. Semua isu ini memengaruhi bagaimana, di mana dan kapan kita berjalan.

BC: Bagian paling menarik dari proyek ini?

GSK: Lokakarya bercerita. Di sini, kami berbagi perspektif dan pengalaman kami tentang merasakan kota tempat tinggal kami lewat praktik berjalan. Di samping itu, kami juga belajar tentang pentingnya memiliki sistem dukungan untuk melakukan hal tersebut.

FC: Ketika Jalan Gembira memutuskan untuk memindahkan karya seni mereka dari ruang galeri ke ruang publik dan meletakkannya di pos kamling di desa tempat mereka berjalan.

Kami tidak bisa melakukan hal yang sama di Inggris karena udara yang terlalu dingin. Akhirnya kami membangun ruang pos kamling di dalam galeri seni dan mengundang orang-orang untuk datang dan nongkrong di sana. Pengunjung bebas melepas sepatu mereka dan duduk di atas bantal sambil menikmati kopi, minuman dan makanan ringan. Beberapa mahasiswa Indonesia dari University of Birmingham juga datang untuk ikut nongkrong di sana dan kami semua berkumpul dan mengobrol.

BC: Ada saran untuk memahami konteks budaya yang berbeda dan membangun kepercayaan saat melakukan kolaborasi secara digital dan jarak jauh?

FC: Anda harus peka dan bersikap fleksibel terhadap kolaborator Anda serta memberikan mereka ruang untuk bekerja. Masalah akan selalu muncul. Rincian dan tenggat waktu pekerjaan bisa berubah kapan saja. Pada akhirnya, menemukan solusi yang jitu adalah bagian dari proses kolaborasi apapun.

Membangun kepercayaan memang bisa terasa sulit ketika Anda tidak bekerja secara tatap muka. Bagi kami, yang menjadi perekat adalah menggunakan grup WhatsApp untuk mengobrol sekaligus saling mengingatkan dan mendukung satu sama lain. Cara ini juga memungkinkan kami untuk mengecek keadaan satu sama lain di luar rapat Zoom yang rutin kami adakan. Memiliki keterampilan lunak dalam berkomunikasi sangatlah penting ketika bekerja dalam jarak jauh. Anda tidak bisa hanya berfokus untuk menyelesaikan proyek saja.

Deskripsi Gambar: Beth Hopkins mengambil rekaman suara lapangan di Chad Brook.
Deskripsi Gambar: Beth Hopkins mengambil rekaman suara lapangan di Chad Brook.  ©

Dok. oleh Andy Howlett

Deskripsi Gambar: Jalan Gembira berjalan melalui labirin gang di Yogyakarta.
Deskripsi Gambar: Jalan Gembira berjalan melalui labirin gang di Yogyakarta.   ©

Dok. oleh Anom Sugiswoto

Deskripsi Gambar: Poster untuk female calculations walk, terdiri atas foto-foto berefek cermin dari area-area yang dilalui Fiona Cullinan pada rute perjalanannya.
Deskripsi Gambar: Poster untuk female calculations walk, terdiri atas foto-foto berefek cermin dari area-area yang dilalui Fiona Cullinan pada rute perjalanannya.  ©

Dok. oleh Fiona Cullinan 

Deskripsi Gambar: Foto dari terowongan Worthings di Brimingham, dengan grafiti tergambar di sepanjang dindingnya.
Deskripsi Gambar: Foto dari terowongan Worthings di Brimingham, dengan grafiti tergambar di sepanjang dindingnya.  ©

Dok. oleh Fiona Cullinan

BC: Ada tantangan atau hambatan tertentu selama proyek ini berlangsung?

FC: Kami memutuskan untuk menggunakan penerjemah dan juru bahasa isyarat untuk acara peluncuran zine dan bincang bersama seniman. Kami belum pernah melakukan hal semacam ini sebelumnya. Dan ternyata semua penerjemah yang terlibat, baik dalam bahasa Inggris maupun Bahasa Indonesia, bekerja dengan sangat baik dan benar-benar menghidupkan pertukaran budaya kami. Berbicara dalam bahasa ibu masing-masing membuat kami merasa lebih bebas untuk mengekspresikan diri dalam diskusi dan presentasi kami.

BC: Apa pelajaran terbesar dari proyek ini?

GSK: Kami belajar untuk melihat berjalan lebih dari sekadar aktivitas sehari-sehari yang tak ada artinya karena sebenarnya praktik ini mengandung sudut pandang politik yang kuat. Secara keseluruhan, ini adalah kolaborasi yang sangat menyenangkan dan menginspirasi.

FC: Kami langsung saling merasa cocok karena menaruh minat yang sama terkait berjalan di kota dan menjelajahi kota, di samping beragam masalah yang kami temui selama proses kolaborasi ini. Kolaborasi ini tidak terasa seperti pekerjaan, malah lebih seperti sekelompok teman yang ngobrol, jalan-jalan dan nongkrong setiap saat!

BC: Rencana masing-masing kolektif ke depannya?

FC: Kami tertarik untuk meneruskan semangat kolaborasi ini dan bekerja sama dengan seniman-seniman pejalan kaki lainnya di Asia Tenggara sehingga bisa tercipta sebuah komunitas.

GSK: Kami ingin belajar lebih banyak tentang psikogeografi, istilah yang dicetuskan oleh Walkspace. Selain itu, kami ingin bertemu dengan komunitas-komunitas lain yang juga melakukan praktik berjalan, memiliki pertanyaan tentang praktik berjalan sekaligus ingin menajamkan pemikiran kritis mereka tentang praktik berjalan.