Haruskah isu-isu disabilitas memiliki platform tersendiri atau tetap menjadi bagian dari media arus utama?
Sebuah riset oleh Cheta Nilawaty Prasetyaningrum, dengan dukungan dari IALF dan Australian Awards
Setelah DPR Republik Indonesia mengesahkan UU tentang Penyandang Disabilitas di tahun 2016, tidak bisa dipungkiri bahwa isu-isu disabilitas menjadi semakin santer diperbincangkan di media. Namun, hanya beberapa media yang bersedia menerbitkan berita terkait disabilitas. Banyak pembaca yang masih belum familiar dengan disabilitas dan karenanya disabilitas dianggap isu yang tidak populer, terlebih jika dibandingkan dengan isu politik atau ekonomi. Beberapa media yang menerbitkan berita terkait disabilitas cenderung menarik perhatian pembaca dengan menampilkan disabilitas dengan cara yang keliru. Maka dari itu, untuk merombak kekeliruan ini, haruskah isu-isu disabilitas memiliki platform khusus atau tetap menjadi bagian dari media arus utama?
Gambaran Media Arus Utama yang Keliru akan Disabilitas
1. Disabilitas sebagai Pornografi Inspirasi
Pornografi Inspirasi didefinisikan sebagai cara menggambarkan penyandang disabilitas sebagai sosok panutan yang kontradiktif: kuat, tapi juga harus dikasihani. Dengan kata lain, meski disabilitas semakin diterima, keabnormalan masih menjadi sumber ketakutan terbesar.
2. Menyalahgunakan terminologi disabilitas
Terminologi disabilitas kerap digunakan oleh media sebagai sifat karakter, perangkat plot atau pembawa suasana buruk. Representasi semacam ini tidaklah akurat atau adil. Terkadang, disabilitas diperkuat oleh latar belakang cerita, seperti mendeskripsikan penyandang disabilitas sebagai orang yang bebal dan berperilaku buruk.
Shakespeare di Kasap & Gurcinar (2018).
3. Isu yang jarang dibahas
Karena isu disabilitas dianggap tidak populer, hanya satu persen media di Amerika Serikat, sebagai contoh, yang tertarik membahas isu disabilitas. Bahkan, banyak jurnalis yang cenderung memberikan jarak hingga satu tahun antara pembahasan satu isu disabilitas ke isu disabilitas lainnya. Tindakan ini berkaitan dengan jumlah pembaca. Maka dari itu, isu disabilitas masih sulit merebut perhatian pembaca.
4. Hiperheroisme
Hiperheroisme merujuk pada perilaku penyandang disabilitas yang sebenarnya biasa saja tapi diinterpretasikan oleh media dengan cara yang berlebihan. Cara ini kerap menampilkan kesalahan persepsi lewat sebuah anggapan yang berdasarkan pada bias fisik. Contohnya, pahlawan super jarang digambarkan sebagai manusia dengan organ tubuh buatan.