©

british council malaysia

Eka Kurniawan di Cooler Lumpur Festival. © British Council Malaysia

Sebagai penulis dan anggota dari Dewan kesenian Jakarta, Eka Kurniawan menemui banyak hal baru dari kunjungannya ke Cooler Lumpur Festival 2014. Menurut Eka, festival tersebut tidak hanya acara kesusastraan, tapi juga festival ide; yang berarti bahwa penulis tidak hanya berbicara tentang pekerjaan mereka, tapi juga tentang buah pikiran yang lebih luas di sekitar bidang sastra itu sendiri: budaya, politik, bahkan keseharian mereka. Walaupun tiap sesi sangat pendek – sebagian besar pertunjukan berdurasi satu jam –  mereka bisa mengetahui dan berbagi informasi tentang banyak hal pada saat yang bersamaan. Akan tetapi yang paling penting adalah waktu yang dihabiskan di luar sesi, di mana mereka bisa bertemu para peserta lain dan publik serta menggali lebih lanjut tentang suatu topik secara informal. 

Eka berharap akan ada lebih banyak festival dengan konsep serupa di Indonesia. “Indonesia memiliki banyak festival seperti ini, Ubud Writers and Readers Festival di Bali, Makassar International literary Festival di Sulawesi Selatan, atau Salihara Literary Biennale di Jakarta. Tapi menurut saya kita membutuhkan lebih banyak festival di bagian lain di Indonesia. Keuntungannya tidak hanya untuk komunitas sastra di Indonesia, tapi juga tentu saja untuk budaya kita secara keseluruhan.”

Beberapa waktu yang lalu kami berbincang dengan penulis 39 tahun ini untuk membicarakan tentang pengalamannya.

Apa pendapat Anda tentang Cooler Lumpur Festival?

Festival yang sangat menarik. Saya sudah pernah berpartisipasi di beberapa festival kesusastraan sebelumnya, dan CLF adalah satu acara yang menakjubkan.

Menurut Anda, bagaimana kesempatan mengunjungi festival tersebut bisa memberi dampak positif kepada Anda sebagai individu dan sebagai penulis?

Sebagai individu, kesempatan tersebut memberi saya peluang untuk mengalami indahnya berbagi ide dengan komunitas yang lebih luas. Sebagai seorang penulis, sangat menyenangkan bisa bertemu dengan penulis-penulis lain dengan latar belakang kebudayaan yang berbeda-beda.

Siapa orang yang paling menarik yang Anda temui selama perjalanan tersebut dan mengapa?

Ada dua orang dari Myanmar. Salah satunya adalah karyawan British Council dan yang satu lagi adalah penulis/blogger. Saya tidak pernah tahu sebelumnya tentang Myanmar kecuali apapun yang saya dapat dari surat kabar dan televisi. Berbincang dengan mereka memberikan kami pemahaman yang lebih baik tentang budaya masing-masing.

Apa hal paling menarik yang Anda saksikan di festival tersebut dan mengapa menurut Anda hal itu sangat menarik?

Seri "The conversation with ..."  adalah yang paling saya nikmati. Mengapa? Kami bisa mendengar opini para penulis hampir tentang apapun, dari karya mereka ke pandangan politik mereka. Serius tapi santai.

Bisakah Anda ceritakan hal menarik yang anda temukan dari diskusi dan dialog selama festival dan bagaimana Anda akan menerapkannya?

Setiap sesi sangatlah pendek, (sekitar) satu jam. Para panelis harus membagi ide mereka atau menjawab pertanyaan-pertanyaan dengan cara yang efektif. Saya belajar banyak kalau hal itu sangatlah berguna untuk dipraktekkan. 

Apakah festival tersebut berkontribusi untuk membuat Anda memikirkan tentang relevansi antara membangun diskusi dan dialog dengan menginspirasi transformasi di bidang sastra dan budaya kita pada umumnya?

Tentu saja. Sastra dan budaya hanya bisa berkembang jika kita membuka dialog dengan budaya dan kebudayaan kesusastraan lainnya.

Menurut Anda, apakah festival tersebut bisa membantu orang yang datang untuk mengembangkan kepemimpinan kreatif dan jaringan profesional?

A: Ya. Setidaknya mendorong kita.