Kalau Indonesia memiliki wayang, Inggris memiliki The Paper Cinema. The Paper Cinema menciptakan suatu pertunjukan berdasarkan sintesa antara elemen musik dan efek suara, ilustrasi, serta animasi. Menggunakan boneka kertas dan ilustrasi hasil lukisan tangan yang dimainkan di depan kamera video kemudian diproyeksikan ke layar besar disertai efek cahaya dengan diiringi oleh musik yang dibawakan langsung.
Indonesia berkesempatan untuk menyaksikan The Paper Cinema pada tanggal 7 – 8 Maret lalu di Teater Salihara dan 10 Maret di IFI Yogyakarta. Memainkan pentas yang diangkat dari karya Homer sang pujangga Yunani, Odyssey, menceritakan tentang kisah perjalanan pulang Raja Odysseus yang penuh rintangan setelah berakhirnya perang Trojan.
Semua penonton yang memenuhi kursi Salihara dan IFI Yogyakarta dibuat terkesima. Seluruh elemen disinkronisasikan menjadi pertunjukan yang sangat epik. Kerjasama tim yang solid dan bahkan gerak – gerik personilnya pun menjadikan pertunjukan ini semakin menarik. Sambutan meriah selalu didapatkan di akhir pertunjukan.
Sebagaimana kekaguman yang diungkapkan oleh Djaduk Ferianto, artis dan musisi ternama Indonesia, “Ibaratnya kalau dalam bahasa Jawa, ini wayang bocor. Ini inspirasi kepada jagad pewayangan bahwa wayang masih bisa dielaborasi lagi, lebih dahsyat lagi, sebagaimana hubungan dengan masalah modernitas dalam sinema yang modern.”
Kedatangan The Paper Cinema pun dijadikan ajang pembelajaran dalam lokakarya yang diselenggarakan oleh Papermoon Puppet Jogjakarta dan Komunitas Salihara. Peserta terpilih yang terdiri dari musisi, ilustrator, sampai filmmaker yang berasal dari Jakarta, Yogyakarta, Bandung bahkan Austrailia itu ditugaskan untuk mengerjakan sebuah pementasan cerita pendek dengan teknik ala Paper Cinema.
Sekali lagi terbukti bahwa ide sederhana dengan kreativitas tinggi bisa menghasilkan pertunjukan yang sangat megah.