Berangkat dari keyakinan bahwa membuat sesuatu sendiri adalah insting dan kebutuhan dasar manusia, trio Ratu Fitri, Riyan Kaizir, dan Dicky Firmanzah mendirikan SUBstitute Makerspace, makerspace pertama di Surabaya.

Artikel ditulis oleh Nadia Maya Ardiani

“Making things is our roots, as a human,” jelas Ratu, Founder dan Direktur SUBstitute, ketika ditanya pentingnya mengobarkan semangat maker/DIY movement di Surabaya. “It’s our life skill. Misalnya di situasi tidak menentu seperti sekarang, kita harus bisa mengakali kebutuhan hidup kita, menemukan kegunaan baru dari apa yang sudah kita punya. Kalau tidak bisa membeli, ya kita bisa membuat sendiri,” lanjutnya. Menurut Ratu, membekali diri dengan kemampuan untuk membuat sesuatu sendiri alias swakriya (do-it-yourself) tidak hanya bermanfaat bagi keberlanjutan lingkungan, tapi juga dapat membantu kita untuk memelihara keberlanjutan hidup kita sendiri.

Dirintis sejak 2019, SUBstitute merupakan respon dari pengamatan terhadap iklim pergerakan swakriya di Surabaya. Ratu merasa bahwa para pelakunya masih sangat terkotak-kotak, sebagian besar bergerak secara individualis. Dari pandangannya, hal ini bisa jadi merupakan pengaruh dari kondisi Surabaya yang merupakan kota industri, tepatnya kota dagang, sehingga iklim yang tercipta lebih ke ‘pembeli-penjual’. Dan untuk urusan membelipun, harga murah menjadi pertimbangan utamanya. Sementara itu, produk kriya yang merupakan buatan tangan seringkali memiliki harga yang tidak lebih murah dari produk pabrikan.

“Kalau kita ingin orang-orang mencintai produk lokal, berarti kita harus juga mengenalkan bagaimana sih menciptakan produk itu sendiri,” tandasnya.

Di sinilah SUBstitute mengambil peran, melalui berbagai lokakarya yang mengajarkan proses pembuatan suatu produk. Didukung oleh British Council melalui inisiatif DICE (Developing Inclusive and Creative Economies), sejumlah lokakarya mulai dari menjahit hingga 3D printing diadakan secara intensif—dalam satu sesi, jumlah pesertanya tidak banyak, sehingga peserta bisa memahami dengan baik materi yang disampaikan. Dengan begitu, publik dapat mengetahui seberapa besar nilai dan usaha yang dibutuhkan untuk menciptakan suatu benda, sehingga bisa lebih mengapresiasinya.

Tim SUBstitute tidak memungkiri bahwa dibutuhkan biaya yang tidak sedikit untuk mengikuti lokakarya kriya. Mereka mengamati, rata-rata yang sanggup membayar edukasinya dan membeli produknya adalah publik dari kalangan menengah ke atas. Tuntutan untuk memenuhi kebutuhan primer menjadikan isu swakriya ini dipandang sebagai hal tersier, khususnya bagi publik di kalangan menengah ke bawah.

Namun, hal tersebut tidak lantas mematikan semangat inklusivitas yang ingin diusung SUBstitute. Misi SUBstitute sejak awal adalah berbagi akses, untuk menyediakan fasilitas yang manfaatnya bisa diserap oleh semua kalangan.

Sebagai sebuah makerspace atau ruang karya bersama, di sana pengguna bisa mengeksplor material dengan peralatan yang bisa diakses dengan mudah dan terjangkau serta berkolaborasi dengan siapa saja. Tapi ternyata, menunjukkan inklusivitas tidak cukup hanya dengan menyatakan bahwa kegiatan-kegiatan di SUBstitute ‘dibuka untuk umum’. “Kami mengetuk pintu satu-satu ke komunitas-komunitas, khususnya teman-teman komunitas marginal,” Ratu menambahkan. Tim SUBstitute juga terlebih dahulu harus benar-benar meyakinkan teman-teman dari komunitas marginal bahwa SUBstitute adalah ruang yang aman untuk berkarya dan beraktivitas, dimana semua pengguna memiliki hak akses yang sama, tidak memandang identitasnya.

Hal itu dibuktikan antara lain melalui kegiatan reguler seperti lokakarya, yang mana misalnya ada lima peserta, maka satu peserta di antaranya akan difasilitasi oleh SUBstitute alias bebas biaya. Peserta tersebut merupakan penerima manfaat, misalnya dari kalangan ekonomi menengah ke bawah atau komunitas marginal. Contohnya antara lain adalah lokakarya menspad yang diadakan di kawasan kumuh di Dupak, Surabaya Utara. Melalui lokakarya tersebut, para perempuan di Dupak mendapatkan edukasi mengenai kesehatan reproduksi dan cara membuat menspad sendiri. Para peserta tidak hanya dapat menekan timbulnya alergi akibat pemakaian pembalut sekali pakai, tapi juga mengurangi produksi limbah di lingkungannya dan tentunya menghemat biaya hidup.

Keinklusivitasan tersebut juga diboyong SUBstitute dalam acara DIY (Do-It-Yourself) Fest yang sukses diselenggarakan pada Februari 2020 silam di Surabaya Town Square. Mengusung tema Crafting Sustainability, festival yang juga didukung oleh DICE ini menggratiskan sewa booth untuk pengrajin dari kalangan penerima manfaat. Tapi, SUBstitute memberikan satu syarat. “Kami nggak mau mereka datang dan cuma bagi-bagi brosur aja,” kata Ratu, “kami ingin mereka bisa mendapatkan manfaat lebih dari situ,”. Alhasil di DIY Fest 2020 kemarin, sebagai contoh, teman-teman dari komunitas penyandang disabilitas menawarkan makanan dan layanan cuci sepatu di booth mereka. Dengan begitu, manfaat yang dirasakan bisa berlanjut bahkan setelah acara berakhir.

Melalui acara ini, SUBstitute ingin memantik kolaborasi antara para pelaku industri kreatif dan stakeholders guna mendukung terbentuknya ekosistem ekonomi kreatif yang berkelanjutan di Surabaya. Selain itu, mereka juga ingin menumbuhkan semangat belajar melalui pengalaman dan keberanian untuk bereksperimen tanpa takut gagal. Ini merupakan spirit yang sama dengan yang berlaku di makerspace-nya sendiri: untuk menjadi safe space (ruang yang aman) bagi penggunanya. Di mana siapapun bebas untuk menguji ide mereka, berbuat kesalahan, dan mencoba membangun kembali.

“Ini seperti perayaan dari apa yang kita kerjakan selama setahun kemarin,” tambah Ratu Ketika ditanya mengapa festival ini menjadi bagian penting dari rangkaian program SUBstitute. ‘Kita’ di sini tidak hanya mengacu pada tim SUBstitute sendiri, tapi juga komunitas yang sudah dipertemukan, kolaborasi para artisan dan brand yang ada, serta ide-ide yang tersampaikan saat talkshow oleh narasumber dan peserta dari berbagai kalangan. Dampak langsung yang dirasakan pasca festival, seperti saling terhubungnya para pelaku kreatif Surabaya dan sekitarnya yang kemudian berdampak pada munculnya bibit inisiatif-inisiatif baru, semakin menegaskan bahwa aktivitas kolektif di bidang ekonomi kreatif seperti ini penting diadakan di Surabaya, supaya masing-masing pelaku menyadari keberadaan satu sama lain.

Ratu juga sempat bercerita mengenai suka duka menjalankan social enterprise di Indonesia, khususnya Surabaya. Salah satunya, kerap dicurigai orang. “Di mata penerima manfaat, kita sering dianggap meragukan, hahaha,” ucap perempuan berkerudung ini. Penawaran SUBstitute untuk kemudahan akses dan fasilitas ternyata dianggap mencurigakan, karena model bisnis seperti ini belum banyak ditemui di Surabaya. Itu sebabnya beberapa orang cenderung menganggapnya penipuan. Tapi tentunya itu tidak membuat mereka lantas menyerah.

Dengan semua usaha itu, apakah tim SUBstitute sudah merasa cukup berhasil mendirikan ruang swakriya bersama yang inklusif? “Dari segi partisipan mungkin sudah, tapi kami masih ingin cari cara supaya program kita bisa lebih bermanfaat untuk para pengguna. Kami ingin meningkatkan inklusivitas dari segi program,” tandas Ratu. Mengingat usia SUBstitute yang baru satu tahun, rasanya akan semakin banyak hal yang bisa dikaryakan bersama ke depannya.