By Ed Riman, Musician, Hilang Child

12 August 2021 - 14:47

Muktito Adhitya dari Prabumi sedang merekam suara di hutan tropis Kalimantan Barat. Muktito sedang berdiri sambil memegang alat perekam.
Deskripsi gambar: Muktito Adhitya dari Prabumi sedang merekam suara di hutan tropis Kalimantan Barat. Muktito sedang berdiri sambil memegang alat perekam.  ©

Doc. by Rama Rowe

Sudah tak terhitung banyaknya dokumentasi yang memaparkan fakta bahwa kerusakan hutan di Indonesia berakibat pada kondisi kritis ribuan spesies hewan dan mendorong mereka ke ambang kepunahan. Faktor yang sama juga berdampak pada tingginya tingkat karbon yang berbahaya yang beredar di udara dan pada akhirnya membahayakan hidup ratusan kelompok adat, budaya dan bahasa.

Di Inggris, ribuan daerah liar juga berada dalam kondisi genting. Kini, kurang dari 50% keanekaragaman hayati alami dan margasatwa yang masih tersisa di sana. Sementara itu, kini ada 1.225 hutan bahari dan lokasi konservasi atau cagar budaya yang sedang dalam kondisi terancam.

Terlepas dari pergeseran hubungan kita dengan lingkungan hidup selama beberapa abad terakhir, sekaligus dengan adanya perubahan sosial, masih ada harapan yang tersisa ketika melihat fakta bahwa kita masih menyimpan ketertarikan dan apresiasi bawaan terhadap dunia kita dan ekosistem yang ada di dalamnya. Hal ini dibuktikan oleh gerakan budaya dan ilmiah untuk melindungi planet kita yang berkembang pesat selama beberapa tahun terakhir.

Saya (Ed Riman alias Hilang Child) (Inggris) serta Prabumi dan Ninda Felina (Indonesia) tidak pernah putus kontak setelah kami tampil bersama di Jakarta pada tahun 2018 lalu dalam suatu acara bertema kesadaran lingkungan. Kami memutuskan untuk melakukan kolaborasi jarak jauh dalam sebuah proyek yang mengeksplorasi keseimbangan yang apik antara alam dan manusia di dua sisi Bumi yang berbeda.

Seimbang/Balance adalah sebuah perjalanan kolaboratif yang dibagi dalam lima bagian lewat musik dan field recording alias rekaman lapangan. Bebunyian yang terangkum dalam proyek ini menelaah relasi antara manusia dan budaya dengan alam dan jejak yang kita tinggalkan.

Saya berkelana ke Wales Barat untuk merekam bebunyian hutan hujan beriklim sedang Eropa yang jarang ditemukan serta ngarai Afon Prysor yang berada di tengah-tengahnya. Selain itu, saya juga merekam suasana dan sisa-sisa industri di seluruh Lembah Ffestiniog dan pembangkit listrik di pantai selatan Inggris.

Sementara itu, Prabumi dan timnya berkelana ke berbagai hutan hujan tropis di Kalimantan Barat dan menghabiskan waktu dengan komunitas Dayak di daerah Pontianak. Di sinilah mereka merekam suara-suara liar dari hutan dan orang-orang yang tinggal di dalamnya.

Di sisi lain, Ninda Felina dan timnya menyibukkan diri dengan merekam kebisingan dan hiruk-pikuk industri Jakarta, segala bebunyian disonan dari sebuah pabrik amonium nitrat.

Kami membuat perpustakaan field recording dari sumber-sumber ini dan menggunakannya untuk menciptakan lima karya musik yang membawa pendengar menjelajahi lima tahap berbeda dalam siklus ‘alam versus manusia’. Setiap seniman diminta untuk membuat sebuah track sebagai batu loncatan, dan track kasar inilah yang kemudian diteruskan ke kolaborator berikutnya agar dikembangkan lebih lanjut dengan suara dan aransemen mereka masing-masing.

 

Foto ini merepresentasikan komunitas kebudayaan yang ada dalam track lagu "Harmony". Seorang perempuan difoto sedang memakai mahkota dan baju hitam dengan motif asli Kalimantan Barat. Ia berdiri di depan diniding dengan gambar dan warna yang mirip dengan motif di bajunya.
Deskripsi gambar: Foto ini merepresentasikan komunitas kebudayaan yang ada dalam track lagu "Harmony". Seorang perempuan difoto sedang memakai mahkota dan baju hitam dengan motif asli Kalimantan Barat. Ia berdiri di depan diniding dengan gambar dan warna yang mirip dengan motif di bajunya.  ©

Doc. by Rama Rowe

Foto ini merepresentasikan sebuah track lagu perjudul "Destruction". Sebuah eskavator berwarna kuning difoto di tengah hutan.
Deskripsi gambar: Foto ini merepresentasikan sebuah track lagu perjudul "Destruction". Sebuah eskavator berwarna kuning difoto di tengah hutan.  ©

Doc. by Ed Riman

Dalam foto ini, Ed Riman dari Hilang Child sedang duduk di dekat air terjun Rhaedr Ddu, yang berada di dalam track lagu berjudul "Rebirth".
Deskripsi gambar: Dalam foto ini, Ed Riman dari Hilang Child sedang duduk di dekat air terjun Rhaedr Ddu, yang berada di dalam track lagu berjudul "Rebirth". ©

Doc. by Hilang Child

Sebuah foto Ninda Felina dari belakang -- ia memegang mic perekam suara dan mendekatkannya kepada pipa besar di atas kepala, untuk merekam suara-suara di pabrik.
Deskripsi gambar: Sebuah foto Ninda Felina dari belakang -- ia memegang mic perekam suara dan mendekatkannya kepada pipa besar di atas kepala, untuk merekam suara-suara di pabrik.  ©

Doc. by Ninda Felina

‘Natural’ (‘Alami’) melambangkan dunia yang belum tersentuh dan tanpa perubahan, dunia di mana belum ada pengaruh umat manusia.

‘Harmony’ (‘Harmoni’) menelaah budaya manusia sebelum munculnya industri massal, ketika kita hidup dalam simbiosis dengan alam dan beragam tradisi lokal merayakan bumi di sekitarnya.

‘Destruction’ (‘Kerusakan’) merujuk kepada umat manusia yang mulai mengabaikan lingkungan hidup, mengeksploitasi sumber daya secara berlebihan serta menghancurkan dan mencemari planet Bumi atas nama keuntungan.

‘Loss’ (‘Kehilangan’) mengingatkan kita akan dampak peradaban manusia yang tragis terhadap lingkungan, yang secara permanen mengubah masa depan planet ini dan memusnahkan spesies yang telah ada selama jutaan tahun.

‘Rebirth’ (‘Kelahiran Kembali’) dimaksudkan sebagai pesan penuh harapan bahwa segalanya tidak harus seperti ini dan kita sebagai masyarakat dunia perlu mulai memperhatikan betapa pentingnya lingkungan hidup kita. Kita harus mulai bertindak sekarang untuk membalikkan kerusakan yang telah disebabkan oleh manusia selama beberapa generasi terakhir demi memastikan masa depan planet kita.

Menyusun proyek Seimbang/Balance sungguh membebaskan, menarik dan menantang secara kreatif di saat yang sama. Mengerjakan proyek ini di kala pandemi global juga berarti ada banyak rintangan yang kami hadapi selama proses berlangsung. Terlepas dari semua itu, tekanan yang ada memaksa kami untuk senantiasa memperbaiki proses kami dan memfokuskan upaya kami untuk mendokumentasikan suara-suara yang kami anggap paling penting dalam sebuah EP (extended play).

Membandingkan apa yang berhasil saya himpun dengan apa yang diperoleh oleh para kolaborator saya di Indonesia setelah melalui proses yang serupa di lingkungan mereka sendiri membuat saya menghargai beragam karunia suara yang alam berikan kepada kita. Ini juga membuat saya menyadari sebesar apa skala kehilangan yang bisa terjadi apabila kita tidak sesegara mungkin mengambil tindakan untuk melindungi segala yang kita miliki. Menggunakan field recording untuk menggubah karya musik juga merupakan sesuatu yang baru bagi saya sekaligus merupakan aspek kreatif yang paling terasa membebaskan dari keseluruhan proyek ini.

Pada dasarnya, Anda merekam suara-suara liar dalam bentuknya yang paling murni dan alami, atau melihat penduduk lokal menampilkan tradisi budaya dan seni mereka dalam cara paling autentik. Agar semua ini ditampilkan sesuai dengan semangat yang diusung oleh Seimbang/Balance, Anda tidak bisa terobsesi dengan hal-hal seperti nada, timbre atau warnanada, atau genre seperti halnya ketika Anda sedang menggunakan instrumen umum atau instrumen elektronik. Alih-alih, Anda cukup menggunakan sumber yang Anda miliki, membiarkan elemen kebetulan yang dihadirkan oleh lanskap suara alam mendikte karya yang sedang Anda kerjakan atau membiarkan karya Anda dibatasi oleh karakteristik suatu bentuk seni budaya tertentu. Dengan tidak mengekang karya musik yang Anda buat, meneruskannya ke kolaborator Anda yang berjarak ribuan mil dari Anda dan memberikan mereka ruang untuk memasukkan ide-ide mereka sendiri dalam karya tersebut, Anda dipaksa untuk tidak lama-lama bersemayam dalam kubangan kreativitas Anda sendiri.

Seimbang/Balance adalah salah satu proyek kreatif paling unik yang pernah saya kerjakan dan saya sungguh bangga akan hasil akhir karya kami. Selama beberapa bulan ke depan, kami akan merilis EP, mixtape dokumenter yang dilengkapi dengan narasi, beberapa visual dari proyek ini dan masih banyak lagi.

Kami ingin berterima kasih kepada British Council dan Connections Through Culture yang memungkinkan terlaksananya proyek ini serta memfasilitasi persahabatan kreatif baru antara seniman-seniman yang terlibat di dalamnya. Terima kasih juga kepada Ninda dan Tito atas kerja samanya yang luar biasa sekaligus kepada para anggota tim yang terlibat di balik layar: Tessa, Rama, Nino, Tobias, Bagus, Renggo dan semua orang yang membantu kami selama proyek ini.