Teks oleh Ibrahim Soetomo

Creative hub berbasis Makassar, SIKU Ruang Terpadu, telah menerbitkan ‘Creative Hub Leading Toolkit’, sebuah toolkit yang terinspirasi dan teradaptasi dari Creative Hub Leader’s Toolkit terbitan British Council. Sebagai bagian dari program Creative Hub Leader’s Toolkit Hack, toolkit ini berisikan topik seputar identifikasi hub, refleksi dan evaluasi, tindakan dan perencanaan, serta keberlanjutan. 

SIKU, sebagaimana kita dapat menyapa mereka, adalah sebuah ruang alternatif bagi kegiatan seni dan budaya kontemporer yang terbentuk pada 2019. Dikelola oleh lima kolektif dengan latar belakang yang berbeda – Bonfire Creative Complex, Nara Inkubator, Ritus Street Art, Swara Slebor, dan Masiopsi Group – SIKU mewadahi gelaran macam pameran, lokakarya, diskusi, residensi seniman, kelas, atau sekadar bertemu, menikmati kopi, hingga menjalin pertemanan baru.

Adin Amiruddin, salah satu koordinator SIKU dan bagian dari Ritus Street Art, melihat pengumuman peluang hibah melalui Art Calls Indonesia, sebuah media berbasis Instagram yang mempromosikan ajang-ajang seni dan budaya di Indonesia. Adin bersama SIKU tergugah untuk mengajukan diri karena visi dari program toolkit ini. “Kami telah mengenal cukup banyak hub di Makassar dan Indonesia. Satu hal yang mirip adalah kami menawarkan ruang untuk bertemu. Saya rasa toolkit ini akan berguna bagi SIKU. Kami dapat bercermin dan bertanya ‘Kita ini ngapain, sih? Kenapa kita harus nongkrong?’ renung Adin. 

Setelah mempelajari format toolkit British Council, SIKU menganggap bahwa ‘meretas’ juga memiliki arti kesempatan untuk bermain-main; mencari-cari topik yang relevan kemudian memelintir pedoman yang ada. SIKU merasa ini adalah kesempatan besar, lantas mereka mengundang beberapa hub yang bertindak sebagai kontributor, yaitu Habitat Serbaguna (Makassar), Kedai Buku Jenny (Makassar), Parepare Indie (Parepare), Easthetic 3D Printing Studio (Makassar), Kaldi House (Gowa), dan Rockfort (Makassar). SIKU terlebih dahulu memetakan kesamaan dan perbedaan antara mereka dengan para kontributor. Setelah itu, mereka mengadakan pertemuan langsung di studio SIKU untuk bersama-sama menjawab toolkit terbitan British Council, mendiskusikan setiap topik, kemudian merefleksikannya.  

Konteks kewilayahan masing-masing kontributor menjadi penting. SIKU sendiri terletak di dalam kota Makassar; suatu lokasi strategis dalam segi aksesibilitasnya. Dengan mengundang hub dari radius berjauhan serta lingkungan yang berbeda, seperti Parepare Indie yang berada kurang lebih 150 km ke arah utara, SIKU dapat memperoleh pandangan berbeda mengenai budaya anak muda, kolektivisme, dan lokalitas. Hasil setelah memadukan pengalaman personal dan kolektif adalah ‘Creative Hub Leading Toolkit’. Pedoman ini mengajak kita untuk mengidentifikasi masalah sosial dan budaya di sekitar kita, memeriksa aset yang kita miliki, kemudian menggegas tindakannya. 

Dalam meretas format terbitan British Council, SIKU mengambil inspirasi dari format Lembar Kerja Siswa (LKS), sekumpulan lembaran berisikan tugas mata pelajaran yang kerap kita jumpai saat menjalani masa sekolah. ‘Creative Hub Leading Toolkit’ adalah perpaduan antara format esai dan survey yang memfokuskan kita pada modal-modal yang miliki. 

Salah satu hal yang menjadi pertimbangan meretas adalah penggunaan bahasa. Adin menyatakan bahwa salah satu tantangan terbesar dalam sesi pertemuan langsung adalah bahasa, yang dalam terbitan British Council menggunakan Bahasa Inggris. Lantas, mereka mengoptimalkan Bahasa Indonesia yang kasual dan ramah ketimbang formal. 

Kita mungkin menyadari perbedaan kecil antara judul toolkit British Council, yaitu ‘Creative Hub Leader’s Toolkit’, dengan terbitan SIKU, ‘Creative Hub Leading Toolkit’. SIKU dengan sengaja memelintir judul tersebut demi menghindari kesan bawha kit ini hanya diperuntukkan bagi para ‘pemimpin’ hub, yang bagi mereka akan terasa hierarkis. “Berdasarkan pengalaman, kami selalu kerja bareng walaupun ada unit-unit kerja sebagai struktur. Hari ini saya akan mengurus listrik studio, besok adalah giliran saya menjamu tamu,” kata Adin, “Tidak ada pemimpin utama dan kerja bareng terasa lebih penting. Andai kit ini digunakan oleh leader, saya rasa ini bisa digunakan dalam unit kerja tapi tidak keseluruhannya.”

SIKU berupaya sebaik mungkin untuk membuat toolkit yang ramah akses terlepas dari latar belakang maupun peran penggunanya. Hal ini demi menyesuaikan dinamika kolektivisme dan suasana tongkrongan. 

Setelah naskah akhir rampung, Adin mengirimkannya ke beberapa rekannya. Serupa dengan reaksi awalnya ketika membaca toolkit British Council untuk pertama kali, rekan-rekan Adin juga terkejut menyadari adanya sebuah ‘pedoman’ dalam menjalankan sebuah hub. Saat ini, mereka sedang menerjemahkan toolkit ke dalam Bahasa Inggris, masih bekerjasama dengan British Council, dan berencana untuk mencetaknya untuk memperoleh cita rasa LKS yang autentik.

Perancangan toolkit retasan ini sekaligus menandakan kali perdana SIKU bekerja atas nama dirinya semenjak terbentuk tiga tahun lalu. Kali ini, SIKU bukanlah ‘ruang’ semata. “Kami sebagai sekumpulan yang senang nongkrong dan bekerja di ranah seni dan budaya tidak pernah terpikirkan untuk membuat sebuah guideline,” kata Adin. Ia juga berandai, ketika toolkit-nya menjumpai pengguna yang lebih luas, mereka akan secara otomatis ‘meretasnya’ agar sesuai dengan kebutuhannya masing-masing. Kit ini, pertama-tama dan terutama, akan berguna bagi SIKU sendiri; sebuah tuaian yang diharapkan oleh British Council melalui program Creative Hub Leader’s Toolkit Hack. 

Lihat juga

Tautan luar