Widji Astuti seniman batik lukis dengan disabilitas daksa berhasil membuktikan karyanya mampu bersaing dengan karya seniman umumnya lewat karakteristik yang khas.
Siapa sangka momen liburan sekolah membelokan hidup seseorang? Widji Astuti pun tak menyangka hal itu. Namun, momen liburan itu lah yang mempertemukannya dengan para pengrajin topeng dan memperkenalkannya pada seni rupa secara umum. Dari situ lah Widji bertekad untuk belajar kerajinan batik dan kini ia menjadi seniman batik lukis.
“Yang saya lihat pengrajin topeng, tapi insting saya berbicara batik,” ingat Widji pada momen sebelas tahun silam. Sempat bekerja serabutan sebagai penjaga laundry hingga penjahit selama enam tahun, mimpi Widji menjadi seniman batik lukis tetap ia genggam erat. Penghasilan dari pekerjaan serabutan, Widji sisihkan untuk menabung sebagai modal menjadi pembatik lukis yang mandiri.
“Waktu kerja serabutan itu sebenarnya sudah mulai membatik karena ada pesanan,” ungkap Widji. Pesanan tersebut datang dari pelanggan batiknya ketika ia kursus di Yayasan Yakkum. Widji belajar keterampilan batik lukis secara profesional lewat kursus tersebut pada 2011, setamat sekolah menengah atas.
“Awalnya kelas kursus batik gagal dilaksanakan karena peserta kursus yang mendaftar hanya saya,” kenang Widji. Berkat negosiasi pada gurunya dengan modal mampu mengajak satu orang teman, Widji mendapat apa yang ia mau. Kursus berjalan di luar rencana, dari rencana awal sembilan bulan mampu diselesaikan Widji hanya dengan enam bulan.
Selepas kursus, Widji mendapat tugas akhir untuk memasarkan hasil keterampilannya. Optimisme muncul dalam diri Widji ketika karya batik lukisnya diminati pembeli hingga habis pembeli. Sayangnya, optimisme tersebut terbentur dengan akses yang nihil untuk mengembangkan keterampilannya.
Hingga akhirnya pada 2017, Widji memutuskan untuk mandiri mengembangkan keterampilan batik lukisnya setelah modal terkumpul. “Waktu itu yang membuat berat untuk memutuskan menekuni batik lukis secara serius adalah terlanjur nyaman bekerja serabutan,” jelasnya. Belajar dari zona nyaman yang membelenggu tersebut, kini Widji tak mau terjebak dua kali.
Mengeksplorasi Medium
“Dalam berkarya, saya belum mau merasa puas dulu,” katanya dalam. Meskipun sudah memiliki banyak pelanggan dan berhasil mengikuti berbagai pameran dengan beragam tajuk, Widji tak mau berpuas diri. Widji terus mengeksplorasi berbagai hal dalam karyanya.
Kini, ia mengeksplorasi jenis kain yang digunakan dalam medium batik lukisnya. "Saya eksplorasi kombinasi batik dengan jenis kain Rusdi, Sibori, bahkan sampai Ecoprint," jelasnya. Eksplorasi yang ia lakukan agar karyanya tidak monoton.
Pasalnya, menurut Widji tanpa menyesuaikan perkembangan zaman karya yang dihasilkan tidak dapat merespon kebutuhan keadaan. Kreativitas dalam berkarya pun akan menurun drastis. Sehingga pada akhirnya akan ditinggalkan masyarakat luas.
Pilihan eksplorasi medium yang dilakukan Widji dimaksudkan agar batik tidak selalu dikonotasikan dengan masa lalu. Padahal penting untuk membawa batik terus aktual dan diminati masyarakat luas agar tidak punah apalagi diklaim sebagai kebudayaan negara lain. "Saya pilih kain Rusdi dan Sibori karena dua kain tersebut sedang tren dan teksturnya juga memungkinkan untuk jadi medium batik lukis," jelasnya.
Dua pilihan jenis kain tersebut dibuktikan Widji mampu mengangkat batik lewat permintaan yang terus meningkat ia dapatkan. "Karena banyak orang bosan dengan jenis batik dengan kain yang begitu saja, mungkin terus banyak yang tertarik dengan batik saya," tebaknya sambil tertawa.
Semangat mengeksplorasi sudah dimiliki Widji sejak 2017 ketika mulai mandiri dalam batik lukis. Eksplorasi tersebut adalah cara Widji agar karyanya dapat diterima luas oleh masyarakat. "Di awal itu saya mencoba menggali karakteristik seperti apa yang ingin ada dalam karya," tuturnya.
Karakter tersebut mulai muncul ketika Widji memutuskan untuk dominan menggunakan warna ungu, merah, dan biru dalam batik lukisnya. Menurutnya, lewat perpaduan tiga warna itu karakternya muncul dan bisa dikenali publik dengan mudah. Selain itu, tiga warna tersebut dominan menggambarkan bentuk emosinya dalam berkarya.
Warna merah melambangkan bentuk ketidaknyamanan, jengkel, dan bentuk emosi negatif lainnya yang dirasakan Widji. Sementara warna biru adalah lambang sebaliknya, lalu warna ungu menjadi lambang transisi di antara dua hal yang saling berlawanan tersebut. Widji memilih tiga warna tersebut karena satu sama lain dalam warna tersebut saling bertautan, sehingga mudah mengekspresikan gagasan dalam karyanya.