Interview ini dilakukan oleh Madeleine Allardice dan Dylan Frankland dari Kill The Cat Theatre untuk The Future Project
Madeleine: Apakah Anda merasa sepertinya dampak dari lockdown dan Covid terhadap karya yang Anda buat, akan bertahan lama?
Emma: Jadi, selama ini praktik berkarya saya selalu menyangkut perjalanan luar negeri untuk membawa karya saya ke kancah internasional, artinya, audiens yang saya ajak berinteraksi adalah dari komunitas queer, trans, dan sangat jauh dari komunitas lokal saya sendiri. Hal yang cukup menyenangkan di sini, berefleksi dari sebuah periode waktu ketika kita terpaksa berdiam di rumah, adalah saat pertama kalinya melihat sekeliling di komunitas terdekat saya (dan bahkan bukan komunitas luas, yang bagi saya, akan meliputi Brighton dan London). Saya rasa, tanpa pandemi ini, saya tidak akan mengubah fokus, di mana saya benar-benar mencari audiens yang dekat dengan rumah. Saya rasa, khususnya seniman queer di Inggris, kami tertarik ke kota, ada banyak alasan mengapa hal ini terjadi, dan ini sangat bisa dimengerti, tetapi juga sangat penting untuk kita melihat komunitas queer, dan seniman marjinal lainnya yang berkarya di luar kota-kota besar. Jadi itu sangat keren.
Saya belum terlalu menyukai berkarya (sepenuhnya) secara online dan setiap kali saya melakukannya, selalu ada elemen pertunjukan langsung di dalamnya. Jadi, walaupun beberapa bagiannya dihadirkan secara online, itu merupakan hasil dari pertunjukan yang dilakukan secara langsung. Apapun yang saya buat secara digital merupakan tangkapan (rekaman) dari sesuatu yang telah terjadi di ruang nyata.
Tamarra: Pengalaman saya tidak jauh berbeda dengan Emma. Pekerjaan saya bertumpu pada penelitian yang saya lakukan, jadi dulu saya lebih sering berkeliling ke banyak kota di Indonesia. Dan sekarang saya tidak bisa ke mana-mana kecuali beraktivitas di dalam kota, yaitu di Jakarta. Ini juga yang mendorong saya melakukan pertunjukan online, yang seringnya saya lakukan di ruang publik [kecuali Volume 5] karena waktu itu lockdown sedang buruk-buruknya sehingga kami tidak bisa beraktivitas di ruang publik. Pengalaman tersebut membuat saya merasa bahwa saya bukan tampil untuk penonton melainkan untuk kamera sehingga saya juga jadi merasa canggung dan tidak nyaman karena rasanya seperti kamera yang mengarahkan saya, bukan saya yang mengarahkan penonton. Paham, kan, perasaan senada seirama dengan penonton? Yang menjengkelkan adalah ketika juru kamera berteriak “CUT!” dan saya serasa ingin berteriak, “Ya ampun! Ini bukan syuting film! Ini seni pertunjukan!” (tertawa).
Hal itu cukup mengganggu bagi saya terlebih karena itu adalah pengalaman pertama. Tapi setelah itu, saya jadi belajar bahwa bukan juru kamera yang mengarahkan saya, justru saya yang harus mengarahkan juru kamera. Sehingga ketika syuting video berikutnya, dia tidak lagi berteriak, “Cut, cut, cut!”.
Dylan: Proyek ini disebut Trans Performance Exchange, dan Anda berdua bertukar kartu pos. Adakah kalanya Anda merasa bahwa Anda mengambil elemen-elemen dari karya satu sama lain?
Emma: Setiap penampilan Tamarra yang saya lihat membuat saya ingin berkarya lebih baik lagi. Jadi setiap kali saya melihat karya Tamarra, saya biasanya berdecak, “Ah, sialan, saya ingin penampilan saya selanjutnya sebagus itu juga!”. Saya suka risiko yang Tamarra ambil dengan menggunakan keheningan dan pemilihan waktu yang baik dalam karya-karyanya sehingga seringkali titik kepuasannya muncul tepat di akhir penampilan. Saya juga mencoba melakukan hal serupa dalam praktik saya.
Tamarra: Saya tidak bisa berbicara lebih banyak karena Emma sudah mengatakan semuanya, tapi saya juga mencoba untuk melakukan pertukaran budaya dalam karya saya. Saya bermain dengan telur, karena telur adalah hal yang sakral bagi perempuan, dan juga dengan daster dan pasar tradisional. Di sini, saya ingin berbagi tentang budaya kelompok trans di Indonesia.
Emma: Menurut saya hal ini sebenarnya cukup sulit. Judul lengkap proyek ini kalau tidak salah adalah “From My Land to Yours, A Trans Performance Exchange”. Jadi jelas yang kami lakukan adalah bertukar budaya, dan mempelajari budaya Jawa dan Sulawesi adalah pengalaman yang sangat berharga bagi saya. Tapi yang jadi kesulitan dan sebetulnya juga membuat saya malu juga adalah bahwa saya kurang mengenal budaya trans di Inggris. Anda menampilkan segala pakaian dan konsep yang indah, terutama di penampilan kedua yang bertema “Tanah Air Saya”, yang benar-benar membuat saya berpikir bahwa saya tinggal di negara yang sungguh rasis dan jahat. Bagaimana saya mewakili hal tersebut? Saya adalah orang kulit putih di negara ini, jadi saya juga memiliki privilese dan kekuasaan. Jadi saya merasakan adanya keterlibatan yang begitu mendalam di penampilan tersebut.
Dylan: Apakah Anda menikmati prosesnya?
Tamarra: Prosesnya tentu saja menyenangkan. Idenya selalu datang setelah kami memposting karya dan bertukar pikiran tentang ide karya berikutnya. Proses ini selalu terjadi secara alami dan sama sekali tidak sulit. Tapi saya juga merasa bangga dengan diri sendiri, karena seringnya ketika membuat karya baru, saya selalu meminta bantuan seorang kurator. Tapi sekarang saya merasa saya adalah seniman sekaligus kurator, karena saya menulis semuanya dan kemudian mengunggahnya di Instagram. Ada begitu banyak hal yang saya pelajari dari proses berkarya seperti ini.
Madeleine: Saya pikir ada sesuatu yang sangat menarik di Instagram; bagaimana awalnya kita mulai sebagai penonton dengan menonton video terlebih dahulu dan kemudian membaca caption. Ini tidak seperti di galeri seni, di mana Anda mungkin melihat sebuah lukisan dan membaca deskripsinya terlebih dahulu. Atau di teater, di mana Anda membaca programnya dahulu sebelum menonton karyanya. Di Instagram, yang terjadi malah sebaliknya.
Emma: Inilah yang membuat saya merasa sedikit stres. Saya sangat ingin caption dibaca berbarengan dengan penampilannya. Dan kekhawatiran saya adalah orang akan menonton penampilan dan tidak membaca caption. Dan terkadang, terutama dalam karya saya, saya suka menampilkan gambar yang bersanding dengan kata-kata atau pendekatan lain yang bernuansa serupa. Maka dari itu, saya sangat suka bahwa penampilan kami bersifat film nonverbal sehingga dapat diakses oleh penonton dalam Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia. Meskipun begitu, saya juga masih merasakan perlu memberikan konteks atau keinginan untuk menempatkan konteks dalam karya saya. Sulit untuk menyerahkan kendali itu.
Tamarra: Bagi saya justru rasanya saya hanya seperti membuang karya di Instagram. Dalam sebagian besar karya instalasi saya, saya juga tidak dapat mengontrol hasil pekerjaan saya, dampak emosional yang dirasakan oleh penonton atau apa yang mereka lakukan dengan karya seni saya. Di platform online mereka juga bisa mengatakan sesuatu yang buruk tentang karya saya. Tetapi saya tidak khawatir akan hal itu, karena saya melihat hal itu sebagai sesuatu yang baik untuk mengetahui atau melihat reaksi publik terhadap karya saya.