Farid Rakun, Direktur Jakarta Biennale, mengunjungi Liverpool bulan lalu untuk mengunjungi festival seni rupa terbesar di Inggris dan menjelajahi kolaborasi Inggris / Indonesia yang baru.
Farid Rakun merupakan anggota aktif dari ruangrupa, sebuah kolektif yang berbasis di Jakarta. Ia juga seorang dosen di Jurusan Arsitektur Universitas Indonesia. Sejak 2016, ia juga menjabat sebagai Managing Director Jakarta Biennale.
Dalam upaya untuk menggali lebih banyak potensi kerjasama antara Inggris dan Indonesia, terutama melalui jaringan dan program-program Jakarta Biennale yang semakin berkembang, Farid baru-baru ini mengunjungi Liverpool untuk mengunjungi sejumlah festival seni dan pameran, juga untuk bertemu dengan para kurator dan direktur festival yang terus berkontribusi dalam memajukan medan seni kontemporer di kota Liverpool.
‘Hal pertama yang paling mengejutkan saya ketika saya pertama kali tiba di Liverpool adalah kehadiran warisan musik pop yang kental di sekeliling kota tersebut. Tentu saja, ada musisi-musisi yang terkenal seperti The Beatles, tetapi ada juga kehadiran skena musik Britpop 90 yang sangat hidup di jalanan Liverpool’, kenang Farid.
"Saya melihat bahwa Liverpool dan Jakarta memiliki lebih banyak kesamaan dibanding yang kami kira."
Farid juga menceritakan bahwa ia cukup beruntung untuk melakukan perjalanan ke Inggris selama Pride month, dan ingat bagaimana dia terkesan dengan pameran Pride yang diadakan di Museum of Liverpool, yang mencerminkan rasa bangga kota Liverpool dalam menceritakan sejarah mereka sebagai kota yang mempelopori dukungan untuk gerakan ini di Inggris.
Selain itu, salah satu alasan utama Farid mengunjungi Liverpool adalah untuk menghadiri pembukaan Liverpool Biennial edisi tahun ini, yang berjudul ‘Beautiful World, Where are you?’. Dikenal luas sebagai salah satu festival seni kontemporer terbesar di Inggris, biennale ini, yang berlangsung dari 14 Juli - 26 Agustus, mengundang seniman dan audiens untuk merenungkan berbagai gejolak sosial, politik, dan ekonomi yang terjadi di dunia melalui berbagai dengan pameran seni dan acara publik yang tersebar di seluruh kota.
'Melalui kunjungan ini saya melihat adanya kemungkinan kolaborasi artistik antara Jakarta dan Liverpool, tidak hanya melalui Biennale ini tetapi juga dengan institusi lain yang saya temui selama kunjungan ini, seperti The Florrie, John Moore University, dan Granby Workshop’. Oleh karena itu, Farid merasa bahwa kunjungan ini penting karena tanpanya, Jakarta Biennale tidak akan memahami konteks kota Liverpool secara lebih dekat dan alami.