Pada 22-25 Maret 2018 lalu Singapura menyelenggarakan konferensi dan festival tentang seni dan disabilitas yang diklaim terbesar di Asia Pasifik. Acara itu bertajuk Arts and Disability International Conference (ADIC) 2018 dan True Colours Festival. Acara ini disajikan oleh Nippon Foundation, Dewan Kesenian Nasional Singapura, Very Special Arts (VSA) Singapore dan UNESCO. Bersama Kurator Galeri Nasional Indonesia Sujud Dartanto, saya menjadi delegasi yang dikirim oleh British Council Indonesia menghadiri dua acara tersebut.
Pada konferensi hari pertama, Direktur Artistik Raspberry Ripple Productions (Australia) Kate Hood dan Direktur Slow Label (Jepang) Kris Yoshie menjadi pembicara kunci. Mereka membagi pengalamannya dalam menggeluti seni dan disabilitas. Kate menawarkan ide-ide tentang pentingnya kepemimpinan disabilitas dalam ranah kesenian. Pengalamannya memimpin Raspberry Ripple Productions menjadi salah satu contoh bagaimana hal tersebut bukan mustahil.
Slogan nothing about us without us Kate tajamkan menjadi lebih progresif dengan menekankan pentingnya aspek kepemimpinan disabilitas. Bukankah melibatkan disabilitas dalam sebuah kerja kreatif kesenian tanpa membuka peluang masuknya ide mereka menjadi bagian dari karya sama halnya dengan menempatkan disabilitas sebagai pelaku penggembira kesenian belaka? Bukankah disabilitas mestinya jauh lebih mengerti ekspresi kesenian macam apa yang hendak dicipta sesuai dengan idealismenya masing-masing?
Kris Yoshie sebagai pembicara kedua memaparkan kolaborasi kreatif antara disabilitas dan non disabilitas mampu menghasilkan produk bernilai tinggi. Ada non disabilitas desainer produk yang tak sekadar menjadi pengarah di setiap proses produksi Slow Label. Lebih dari itu, para profesional non disabilitas itu juga mengikuti ide dan ritme produksi disabilitas.
Produk-produk buatan tangan para disabilitas yang dibuat bersama para professional itu senyatanya mampu bersaing di industri kreatif Jepang. Selain memiliki nilai ekonomi, produk Slow Label sangat jelas mempunyai nilai sosial yang tak dimiliki buatan mesin.
Konferensi di hari pertama juga menghadirkan Direktur No Strings Attached Alirio Zavarce (Australia). Alirio adalah seorang pelaku seni teater yang telah banyak bekerjasama dengan berbagai situasi, termasuk menjadi fasilitator teater untuk para narapidana. Kini, Alirio aktif bersama No String Attached, sebuah kelompok teater inklusi yang mendapat banyak penghargaan dalam Adelaide Fringe Festival (2012). Alirio menawarkan bentuk penciptaan seni pertunjukan bersama disabilitas yang harus menimbang pentingnya narasi internal para pelakunya daripada sekadar membawa narasi luar berupa naskah drama untuk dimainkan.
Masih ada beberapa pembicara lain yang ikut berbagi pengalamannya. Mereka adalah Justin Lee, peneliti dari Institut Studi Kebijakan Universitas Nasional Singapura; Direktur Artistik Sekolah Musik Drake Pete Sparkes dari Skotlandia; pianis Singapura Azariah Tan; Sokny Onn dan Buntheng Ou dari Epic Arts Kamboja, Direktur Pendidikan Berkebutuhan Khusus Kementerian Pendidikan Singapura, Wong Meng Ee dari Departemen Pendidikan Usia Dini dan Berkebutuhan Khusus Institut Nasional Singapura, Lisa Goh dari sekolah Grade Orchard Singapura, Faridah Ali dari Rainbow Center Training, dan praktisi drama Michael Cheng.
Hari ke dua konferensi diisi dengan aktivitas tiga lokakarya dan satu ceramah umum. Para peserta dibagi menjadi beberapa kelompok. Lokakarya kelompok pertama mengetengahkan materi tentang kemungkinan-kemungkinan berbasis teknologi dalam musik untuk disabilitas dari Drake Music School. Lalu, lokakarya seni pertunjukan dan pengelolaan komunitas dari Epic Arts, dan lokakarya teater untuk disabilitas dari Alirio Zavarce. Di ruang terpisah, ceramah umum dari Kate Hood dan Yoshihiro Kiya (Jepang) dan Adrian Anantawan (Kanada) menjadi sajian untuk peserta. Konferensi hari kedua berjalan hingga tengah hari. Sore harinya, para peserta bergegas ke Singapore Sports Hub yang menjadi arena True Colours Festival.
Arena Lengkap dan Panggung Akbar
True Colours Festival adalah sebuah festival yang lengkap. Festival ini tidak hanya menampilkan panggung luar dan dalam ruang untuk ekspresi seni sejumlah disabilitas, namun juga menghadirkan arena khusus untuk olahraga disabilitas seperti ring bola basket. Di depan panggung ruang terbuka, selain bangku untuk penonton, terdapat tenda-tenda yang menampilkan aktivitas dari komunitas-komunitas disabilitas. Banyak yang menyajikan informasi kepada non disabilitas tentang dunia disabilitas.
Ada yang berisi kegiatan mini talk show, aktivitas mengenal bahasa isyarat secara ringkas, hingga tenda untuk ’mengalami’ keterbatasan penglihatan di sekitar keseharian seperti situasi sehari-hari yang dialami para disabilitas netra. Aktivitas komunitas-komunitas di arena ini sungguh berisi. Banyak hal yang mampu mengantar non disabilitas untuk mengenal lebih dekat dunia disabilitas tanpa terkesan menggurui dan memancing iba.
Panggung di arena terbuka tersebut berturut-turut menampilkan para seniman disabilitas dalam beragam bentuk. Dari menyanyi, menari, hingga memainkan instrumen musik seperti biola. Tidak ada yang terlalu istimewa di panggung ini. Sebagian besar tampil dalam kreativitas yang belum maksimal dalam arti sebatas memainkan karya orang. Namun, ada pula beberapa yang menunjukkan bentuk-bentuk ekspresi ciptaan sendiri.
Di bagian samping panggung, dalam ruang tertutup, disajikan sejumlah lukisan dari seniman disabilitas. Juga tidak ada yang istimewa. Rata-rata masih berupa lukisan-lukisan yang baru mencapai indah, belum ada unsur kejutan yang lazim ada pada karya-karya berkelas. Di ruangan tertutup tepat di samping area lukisan, dua pertunjukan teater disajikan kepada penonton. Pertunjukan pertama oleh No String Attached berjudul I Forgot to Remember to Forget.
Lakon ini bercerita tentang secuplik kehidupan para disabilitas yang kerap sulit mengingat hal-hal kecil. Sebagai sebuah cerita, lakon ini tampak sederhana. Namun, pertunjukan ini sesungguhnya sedang menyentil para penonton tentang betapa kerapnya hal-hal yang tampak sepele untuk diingat justru kerap dilupakan. Begitu pula sebaliknya. Hal-hal yang mestinya dilupakan justru kerap tanpa sadar atau tidak justru terus dirawat dalam ingatan. Presentasi sederhana dan ide cerita tentang ingatan terselip yang lazim dialami disabilitas maupun non-disabilitas menjadi kekuatan pertunjukan ini.
Pertunjukan teater berikutnya disajikan oleh Very Special Theatrics (Singapura) yang berkolaborasi dengan No String Attached berjudul My Home Is Not A Shell. Pertunjukan bukan sebuah karya jadi, ia masih berwujud karya berjalan yang dalam proses pematangan. Sama dengan I Forgot to Remember to Forget yang bertolak dari narasi internal para pelakunya, My Home Is Not A Shell jelas menunjukkan sebuah alur kisah dari respons anak-anak disabilitas pemain karya ini terhadap lingkungan terdekat mereka: rumah tinggal.
Sebagai sebuah karya berjalan, My Home Is Not A Shell jelas masih mentah namun menunjukkan kemungkinan bisa menjadi karya yang berhasil bila diolah lebih dalam lagi. Maklum, seperti yang diakui Alirio Zavarce yang menyutradarai My Home Is Not A Shell, karya ini disiapkan secara intensif hanya dalam waktu sepekan sebelum pementasan. Keterbatasan waktu eksplorasi ide dan minimnya latihan menjadi hal serius bagi karya ini hingga tampak masih begitu mentah saat dipanggungkan.
Puncak True Colours Festival adalah pertunjukan akbar di dalam stadion tertutup di Singapore Sports Hub. Berturut-turut seniman disabilitas dari berbagai negara tampil di atas panggung. Ada duet tari dari disabilitas daksa Ma Li dan Zhau Xiaowei (Tiongkok), disabilitas netra pemilik suara emas dari Filipina Alienette Coldfire yang pernah mencuri perhatian di ajang France`s Got Talent 2016, Tony Dee (Australia), Adrian Yunan (Indonesia), disabilitas netra pemain biola Yusuke Anazawa (Jepang) dan Adrian Anantawan (Kanada), orkes musik digital Drake Music (Skotlandia), dan lain-lain.
Presentasi yang tampak detil dan disiapkan dengan sungguh-sungguh dan dukungan tata cahaya berikut tata suara kelas satu menjadikan puncak True Colours Festival menjadi megah. Bagi yang mencari kemegahan dan keindahan sebuah tontonan, puncak acara ini masuk dalam kategori sukses. Penonton asyik bergoyang mengikuti lagu, tepuk tangan membahana seantero stadion, dan decak kagum muncul seiring pertunjukan.
Sebaliknya, bagi mereka yang mencari tawaran-tawaran baru dalam kesenian, acara puncak ini hanya berhenti pada selebrasi semata. Sangat sedikit seniman yang berani muncul di panggung dengan karya sendiri. Pertunjukan didominasi kolase lagu-lagu hits saat ini yang sudah akrab di telinga. Dari yang sedikit berani menampilkan karya sendiri, penampilan pemain biola Yusuke Anazawa dan Drake Music Scotland`s Digital Orchestra patut menjadi perhatian.
Keduanya membawakan komposisi karya sendiri dengan kepiawaian memainkan intrumen. Yusuke memainkan biola di tangan dan tamborin di kakinya, sedangkan Drake menggunakan teknologi khusus yang memungkinkan disabilitas menyuguhkan musik tanpa memerlukan banyak bantuan tangan. Dengan teknologi khusus, gerakan pupil mata seorang disabilitas sudah mampu menghasilkan bunyi tertentu yang kemudian dirangkai menjadi sebuah komposisi musik unik.
Lecutan untuk Bergerak
Secara umum, ADIC 2018 dan True Colours Festival memberi kesan yang membekas. Bukan bekas kekaguman pada panggung akbar semata, namun juga bekas berupa rasa malu mengapa Indonesia belum mampu menggelar acara serupa. Apalagi dengan melihat potensi irisan seni dan disabilitas yang saat ini berkembang di Indonesia. Sungguh, keterlaluan bila Indonesia tak mampu menggelar arena serupa. Boleh saja kalah megah, kalah canggih, namun jelas rasanya tak akan kalah dalam soal capaian karya.
Bukankah di Indonesia banyak seniman disabilitas yang tak sekadar mahir memainkan karya orang lain? Bukankah Indonesia memiliki seniman-seniman disabilitas yang mampu mencipta karya penuh kejutan? Bukankah di Indonesia telah tumbuh kerja-kerja kolaborasi yang inklusif antara disabilitas dan non disabilitas dengan wujud karya melampaui batas-batas konvensi kesenian? Tengoklah Ananda Sukarlan, disabilitas asperger sindrom yang benar-benar ahli dalam soal musik klasik.
Indonesia juga memiliki seniman disabilitas netra Ade Irawan yang piawai dengan piano di ranah jazz. Ada pula Hanna Madnes, seniman dengan bipolar, yang diam-diam tengah menyiapkan karya dengan kolektif perupa The Vacuum Cleaner (Inggris). Atau Dwi Putro Mulyono alias Pakwi (Jogjakarta) yang goresannya pada kanvas pernah hadir dalam Jakarta Biennale 2017. Juga Faisal Rusdi dari Association of Mouth and Foot Painting Artist yang telah melanglang ke berbagai negara menggelar pameran lukisannya.
Indonesia masih memiliki Joned Suryatmoko (Jogjakarta) dan teman-temannya yang dalam Margi Wuta (2013), Margi Wuta #2 (2015), dan Justru Karena Difabel Aku Harus Bekerja! (2018) menunjukkan kolaborasi inklusif di ranah teater punya kekuatan yang tak melulu drama. Di tari moderen, ada disabilitas daksa Arif Setyo Budi dalam BBoy Onelegz (Malang) yang mahir breakdance. Di ranah sastra, ada komunitas Pawon yang menjangkau ekspresi sastra disabilitas di Solo.
Sungguh, para delegasi Indonesia dalam ADIC 2018 dan True Colours Festival merasakan dua acara tersebut tak ubahnya sebuah lecutan cambuk untuk mewujudkan mimpi pentingnya arena besar yang mempertemukan karya-karya disabilitas dengan apresiasi publik. Bukan untuk memancing iba dan menjaring donasi, melainkan meneguhkan karya disabilitas Indonesia sama sekali tak bisa dipandang sebelah mata.
Tentu saja bukan harus berupa arena megah dengan panggung akbar seperti yang muncul dalam ADIC dan True Colours Festival. Sama sekali tak soal berupa arena yang lebih sederhana asalkan berisi karya seniman disabilitas dengan capaian artistik yang lebih kuat. Semoga saja Festival Bebas Batas di Galeri Nasional pada Oktober mendatang, yang bercita-cita menjadi arena terbesar apresiasi karya seni disabilitas Indonesia, bisa menjadi obat penawar mimpi itu. (*)