By Tim UK/Indonesia 2016-18

19 January 2018 - 14:50

©

British Council

Dalam rangka menyambut Asian Para Games 2018 di Jakarta, British Council menggelar diskusi meja bundar soal peran seni, kreativitas, dan olah raga dalam menciptakan inklusi sosial pada September 2017 lalu. Pesertanya meliputi organisasi kesenian, seniman disabilitas dari beberapa negara, Lembaga Swadaya Masyarakat untuk disabilitas, hingga perwakilan dari Kementerian Pemuda dan Olahraga serta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Penyelenggaraan ini memiliki tujuan yang konkret: meningkatkan kesadaran terhadap kesempatan yang ditimbulkan oleh Asian Para Games 2018 dan potensi berubahnya pandangan masyarakat kepada disabilitas melalui kesenian serta olahraga. Selain itu, para peserta juga dimotivasi untuk berbagi dan bertukar ide mengenai program-program kesenian berkaitan dengan Asian Para Games 2018.

Diskusi meja bundar tersebut berjalan seru, di mana hampir seluruh peserta berupaya memberikan anjuran-anjuran yang dirasa bakal meningkatkan kualitas hidup kaum disabilitas. Peserta yang berasal dari ragam institusi membuat pernyataan dan pertanyaan pada diskusi ini langsung jatuh ke pihak yang dituju. Dari sana, muncul sejumlah hal yang patut dicatat untuk kemudian hari. Kami menyusunnya sebagai daftar berikut ini:

Seni, olahraga, dan kreativitas memiliki kekuatan yang bisa mengubah cara pandang masyarakat terhadap penyandang disabilitas

Adam Pushkin selaku Direktur Kesenian dan Industri Kreatif British Council, mengungkapkan bahwa persepsi terhadap penyandang disabilitas di Inggris sudah mengalami perubahan yang signifikan. Seni, olahraga, dan kreativitas merupakan bagian dari perubahan tersebut, meski masih jauh dari sempurna. Cara pandang masyarakat yang berubah akan berujung kepada perubahan bagi kaum disabilitas dalam memandang diri; dan ini berarti jalur masuk yang tepat menuju kesetaraan.

©

British Council

Status kesenian disabilitas masih berbeda-beda di setiap kota Indonesia

Slamet Thohari, Kepala Pusat Studi dan Layanan Disabilitas Universitas Brawijaya, melakukan presentasi singkat soal hasil riset pemetaan kesenian disabilitas di Indonesia. Statusnya masih berbeda-beda di setiap kota Indonesia, dari teman-teman disabilitas di kota Solo yang masih menggunakan kesenian sebagai pengisi waktu kosong, pemerintah kota Makassar yang belum melihat pentingnya pengembangan kesenian disabilitas, hingga Jakarta yang memiliki banyak seniman disabilitas namun belum memiliki jaringan kuat. Laporan lengkap pemetaan kesenian dan disabilitas di Indonesia bisa dilihat di sini.

Ciptakan ruang di mana penyandang disabilitas dan non-disabilitas bisa bertemu

Tidak ada satu teknik terbaik untuk bisa bekerja secara inklusif, malah ada banyak sekali cara untuk melakukannya. Salah satu yang menonjol diungkapkan oleh Mirjam Gurtner dari kelompok tari disabilitas dan non-disabilitas Candoco Dance Company asal Inggris: “Ciptakan ruang di mana kita bisa bertemu; mencari, menemukan, dan menghadapi tantangan agar bisa mencurahkan yang terbaik serta memaksimalkan kemampuan untuk menunjukkan prinsip kami.” Gurtner berharap bahwa langkah tersebut bisa menggeser pandangan dari rasa iba ingin membantu kaum disabilitas menjadi kekaguman atas sebuah performa artistik berkualitas tinggi, menciptakan peluang yang sama saat di atas panggung.

Sosialisasi UU Disabilitas harus melibatkan disabilitas dalam segala kegiatan

Dengan adanya UU Disabilitas, diharapkan satu persen anggota dari setiap organisasi adalah disabilitas. Annisa Rahmania, seorang penari disabilitas, mengungkapkan bahwa sosialisasi UU disabilitas harus melibatkan disabilitas dalam segala kegiatan. Ia menyatakan, “Fungsinya untuk menyetarakan. Di Inggris, penyandang disabilitas dapat berbaur dengan masyarakat dan terlihat tidak berbeda. Sementara di Indonesia belum bersatu, masih sendiri-sendiri. Sekarang yang harus dicari tahu adalah bagaimana membaurkan kaum disabilitas dengan non-disabilitas untuk menunjukkan kesetaraan. Kesulitan dari kaum disabilitas adalah tidak adanya akses. Harapannya kami bisa dilibatkan dan diberikan akses demi kemajuan disabilitas ke depannya.”

Media masih cenderung mengeksploitasi kekurangan disabilitas

Fakhry Muhammad Rosa dari IT Centre for the Blind menyatakan bahwa kurangnya apresiasi terhadap karya seni dari disabilitas dipengaruhi sedikit banyak oleh peran media massa. “Media cenderung mengeksploitasi kekurangan disabilitas dibanding menyorot kemampuannya. Di sini harus ada edukasi ke media terkait Asian Para Games agar diberikan sudut pandang lain, bukan seperti yang ada saat ini,” tegas Fakhry.