Helen Petts adalah seorang seniman filem yang mengeksplorasi ritme, tekstur, bebunyian dan peristiwa langsung, yang sering ia temui di pedesaan maupun melalui hubungan eratnya dengan sejumlah komunitas musik. Selain didistribusikan secara resmi oleh Lux Artists Moving Image, karya-karya filemnya kerap kali diputar di Inggris dan di luar Inggris. Helen sering bereksplorasi dengan berbagai jenis bebunyian tidak biasa dalam karyanya, seperti suara-suara yang dihasilkan oleh benda dan objek sehari-hari, teknik vokal, violoncello, dan alat musik lainnya.
Tanggal 7 - 13 Agustus 2018 kemarin, Helen diundang oleh kurator Manshur Zikri dari Forum Lenteng untuk ikut serta dalam Homoludens: Festival Film Eksperimental & Internasional di Goethe-Institute Indonesia, Jakarta. Di Arkipel tahun ini, Helen juga hadir dalam panel ‘Beyond Collaborations: Between Collective and Individual Practice' di mana ia berbicara tentang latar belakang dan pengalamannya dalam berkarya sebelumnya, dimana ia harus menggunakan peralatan video lama yang mahal, sebelum akhirnya menggunakan peralatan yang lebih praktis, mobile, dan dapat diakses oleh publik.
Di akhir pekan itu Helen juga menampilkan salah satu karya filemnya yang berjudul "Throw Them Up and Let Them Sing" (2012), dimana Helen bereksplorasi dengan keseharian seorang seniman bernama Kurt Schwitter, yang terekam melalui landskap, kolase, bebunyian serta perjalanan. Kami berkesempatan untuk berbicang dengan Helen mengenai proses, pengaruh, serta medan seni yang terus mengalami perubahan.
Mengenai proses kreatifnya yang sering melibatkan eksplorasi ritme, tekstur, dan bebunyian.
"Proses kreatif saya sangat naluriah. Saya tidak punya metode intelektual dalam berkarya, saya dulu seorang pelukis abstrak dan terkadang akan ada momen dimana saya merasa karya saya akan berhasil. Terkadang saya juga merasakan hal yang sama ketika saya tengah merekam sesuatu atau ketika saya sedang dalam proses mengedit, saya rasa proses mengedit itu sedikit mirip dengan proses melukis, dimana saya menggabungkan beberapa hal menjadi satu - seperti mencampur dua warna.
Dalam salah satu adegan filem saya yang "Throw Them Up and Let Them Sing" terdapat adegan seniman Kurt Schwitters membuat sebuah kolase, dengan menempatkan dua potongan materi, dan entah mengapa mereka dapat mengisi satu sama lain. Itulah yang saya lakukan dengan potongan-potongan rekaman suara yang saya kumpulkan.
Terkadang saya menggunakan bebunyian rekaman lanskap atau suara burung, atau bahkan suara langkah kaki saya. Dari proses itu saya akan membuat kolase suara menggunakan bunyi, irama, tekstur, warna, dan menyatukannya dan melihat apakah ada semacam interaksi di antaranya.
Pentingnya kolaborasi dalam pembuatan filem
Saya tidak menganggap itu penting. Bagi saya, sebagai seorang seniman, ada kepuasan sendiri mengetahui bahwa sekarang saya bisa berkarya dengan membawa kamera kecil di tas saya setiap saat, dan membawa alat perekam suara yang ukurannya sangat kecil. Tidak hanya itu, saya mendapatkan hasil kualitas yang profesional. Saya tidak harus memiliki kru, dan hal ini tentunya mengubah proses artistik saya sepenuhnya karena semua bisa saya lakukan secara sendiri. Kolaborasi bagi saya adalah salah satu cara dalam bekerja dengan seniman lain yang menginspirasi saya yang dapat mengajarkan dan membimbing saya, namun sejauh ini saya sangat menikmati proses bekerja sendiri, karena tidak selalu harus mengikuti apa yang diinginkan oleh kru, atau mengumpulkan dana sebelum membuat filem. Tentunya bekerja sendirian mengarahkan pada cara kerja yang berbeda. Tapi saya sangat menikmatinya.
Mengenai ekspekstasi terhadap respon audiens Indonesia dengan "Throw Them Up and Let Them Sing"
Karya ini merupakan respons saya sebagai seniman Inggris terhadap perjalanan kehidupan seorang seniman Jerman, dimana saya mengikuti perjalanannya ke Norwegia, sehingga terdapat banyak tema-tema Eropa Barat yang bisa ditemukan. Saya berharap - dan saya tidak yakin karena saya masih belum banyak mengerti tentang budaya Indonesia – bahwa audiens dapat mengeksplorasi konsep animisme yang tercermin dalam karya filem ini. Saya banyak bekerja dengan alam dan saya selalu dikelilingi dengan pegunungan, suara burung, bebunyian, sehingga ketertarikan saya pada alam hampir di tingkat spiritual. Saya berharap audiens di Indonesia dapat merespon dan mengaitkannya dengan pengalaman mereka masing-masing.