By Felix Dass, Jurnalis / Pengamat Musik

05 June 2017 - 11:08

Felix Dass 

Di sebuah hari yang panas, saya melewatkan beberapa panggilan masuk di ponsel. Saya sedang tidak menaruh perhatian pada salah satu benda kesayangan itu. Beberapa panggilan masuk itu berasal dari sumber yang sama, British Council. Saya baru membalasnya beberapa puluh menit kemudian, via pesan whatsapp. Saya diundang untuk melihat dua festival sekaligus di Inggris Raya, The Great Escape di Brighton dan Liverpool Sound City. Tentu saja, tanpa banyak omong dan pikir, saya bilang iya. Persiapan terjadi. Satu fokus yang saya pelihara adalah kesempatan untuk melihat langsung bagaimana sebuah industri musik berlangsung. British Council, lewat jaringannya, membuka beberapa bagian dapur yang jadi sangat menarik untuk praktisi seperti saya.

Beberapa tahun terakhir, sejak memutuskan untuk berhenti kerja korporat dan sepenuhnya independen, saya menghabiskan waktu untuk beraktivitas di musik. Menulis banyak hal, mengorganisir pertunjukan dan menjadi manajer band. Semuanya bermuara di satu niat; membuat dokumentasi tentang sebuah era dalam jumlah yang banyak. Outputnya bisa banyak; menulis buku, webzine, menghasilkan rekaman video dan audio serta mencoba beberapa sisi interaksi yang hangat lewat konser dan serangkaian proses ngobrol-ngobrol yang mungkin membagi banyak inspirasi. Prosesnya mutual. Hidup di scene independen musik Indonesia sedang indah-indahnya. Skala bisnisnya membesar, banyak orang bisa hidup dengan sejahtera di dalamnya dan ada berbagai kemungkinan yang bisa dikejar.

Jadi, ketika ditawari untuk melihat langsung dan menimba referensi, tentu saja tidak bisa dilewatkan begitu saja. Tidak banyak pikir.

Ada satu perbedaan yang mendasar antara industri musik di Indonesia dan Inggris Raya; sistem operasinya sudah beda frekuensi. Yang di Indonesia, berjalan dengan mode autopilot yang belum ketahuan kerangka kemampuan bertahannya. sementara yang di Inggris Raya –karena sudah berjalan sejak puluhan tahun yang lalu— sudah sampai tahap memberi kontribusi signifikan untuk ekonomi negara.

Mengelola seni budaya sebagai sebuah industri adalah kemampuan manusia memanfaatkan akal dan pikiran yang tahapnya lanjutan. Memindahkan status hobi dan minat menjadi profesi, merupakan sebuah pilihan yang bisa diseriusi. Undangan British Council, membuat saya mendapatkan kesempatan melihat cakrawala yang lebih luas.

Felix Dass bersama delegasi musik lainnya dari Indonesia di The Great Escape Festival. (Ki-Ka) Madrim Djody, Teguh Wicaksono, Sarah Deshita, and Rizka Maulita.  ©

Felix Dass

The Great Escape Festival Felix Dass
The Great Escape adalah showcase festival di mana orang-orang yang terlibat di dalamnya kebanyakan merupakan pelaku industri. Band-band yang main tidak diberi waktu yang panjang untuk unjuk gigi. Karena sifatnya showcase, kebanyakan dari mereka yang main hanya memberi semacam teaser kepada penonton. Memperkenalkan diri untuk publik yang lebih luas. ©

Felix Dass

The Great Escape Festival di Brighton
Brighton, tempat festival ini berlangsung, adalah sebuah kota pantai yang terletak sekitar dua jam dari London. Kota ini tidak besar, tapi setidaknya punya 40-an venue musik dalam radius dua mil. Gila, kan? Infrastruktur dasarnya saja sudah super ok. ©

Felix Dass

Pengalaman di The Great Escape dan Liverpool Sound City

Jarak yang tidak begitu jauh, membuat tiga hari festival diisi dengan banyak jalan kaki. Selain punya kesempatan untuk menyaksikan ratusan band, ada juga beberapa talks yang isu-isunya menarik. Dua yang berkesan adalah tentang pengelolaan artis yang salah satu pembicaranya Dave Rowntree dari Blur serta sebuah talks tentang Bella Union dengan Simon Raymonde, si pemilik yang juga pemain bas Cocteau Twins. Bella Union adalah salah satu label independen Inggris Raya yang cukup gila untuk mencampur adukkan genre dalam katalog mereka.

Di festival ini, saya juga mendapatkan kesempatan pertama kali untuk menyaksikan band indiepop Shout Out Louds dan menemukan sebuah band bernama The Swimming Tapes yang berkesan di hati.

Liverpool Sound City

Festival kedua, Liverpool Sound City, punya guna yang berbeda dengan The Great Escape. Ini adalah festival biasa yang kebetulan juga punya conference menarik. Conference diselenggarakan di hari berbeda dengan festivalnya. Jadi, tipe audiensnya berbeda. 

Kalau The Great Escape memanfaatkan infrastruktur kota yang mendukung, maka Liverpool Sound City sebaliknya. Infrastruktur festival ini, harus dibangun. Memanfaatkan sebuah lapangan luas bekas pelabuhan di Clarence Docks, Liverpool Sound City dibangun. Buat conference, ada sebuah gudang yang dibagi menjadi tiga ruangan. Semuanya temporer. Pemanfaatan ruang ini menjadi bonus pelajaran tersendiri. Niat untuk merayakan musik, jadi ada di depan ketimbang ketersediaan ruang.

Di salah satu diskusi di Liverpool Sound City, ada bahasan menarik tentang membuat festival dari nol. Inggris Raya punya ratusan festival musik setiap tahunnya. Tahun ini, tidak lebih dari lima yang status penjualan tiketnya terjual habis. Jadi, persaingan untuk mendapatkan audiens memang sangat keras. 

Di sesi diskusi itu, salah satu panelis menjawab pertanyaan seorang penanya, “Kalau disuruh memilih, mana yang utama, talent atau venue?”

Jawabannya menarik. Karena sudah dalam tradisi, mengemas venue yang baik menjadi pilihan utama. Dan itu diamini oleh panelis yang lain. Talent akan datang dan pergi, tapi pengalaman untuk menikmati musik harus dibela. Jujur saja, kalau diskusi-diskusi seperti inilah yang menyebarkan inspirasi. Dari Liverpool Sound City, saya juga mendapatkan satu hal penting yang perlu diwujudkan jadi kenyataan nanti di Jakarta. Tunggu saja tanggal mainnya.

Oh ya, di Liverpool Sound City, saya menyaksikan John Cale and Friends playing The Velvet Underground & Nico serta Slaves, band rock Inggris yang sedang naik daun. Yang pertama untuk merayakan kesukaan masa lalu, yang kedua untuk referensi musik baru. 

Singkat cerita, kedua festival ini memberi pengalaman sekaligus referensi yang menyegarkan. Mungkin tidak banyak hal baru yang bisa didapat, tapi setidaknya ada sebuah tamparan di pipi untuk menyadarkan bahwa masih banyak halaman yang bisa dibuka untuk menjalani hidup di scene independen Indonesia.