Sebanyak lima figur dalam negeri mendapat kesempatan untuk menjelajahi Inggris Raya pada 22 hingga 29 September lalu. Mereka diundang sebagai bagian dari program #OMGB (Oh My Great Britain) yang bertujuan menyoroti kebudayaan Inggris Raya.
Salah satu yang diberangkatkan adalah komika juga aktor Soleh Solihun. Mungkin tidak banyak yang tahu bahwa Soleh sebelumnya berkarier sebagai jurnalis musik, dan hebat dalam melakukan pekerjaan lamanya tersebut. Ketika tampil sebagai komika, Soleh pun selalu mengenakan kaus yang berhubungan dengan musik. Maka tidak heran bila ia memanfaatkan kesempatan mendatangi tiga kota Inggris—salah satu negara dengan sejarah musik paling kaya di dunia—ini untuk berwisata musik.
Kota pertama yang dikunjungi adalah Manchester, tempat didirikannya The Smiths, The Stone Roses, Oasis, hingga The Chemical Brothers. Dengan segala pengetahuan yang sudah ia kumpulkan di sepanjang hidupnya sebagai penggila musik, Soleh memiliki kepekaan terhadap lokasi-lokasi musikal bersejarah. “Kami menginap di The Radisson Blu Edwardian Hotel. Bangunan ini dulu bernama Free Trade Hall, sebuah gedung pertunjukan. Tidak sembarangan, karena banyak terjadi konser musik yang penting dalam sejarah musik dunia,” terang Soleh pada blog-nya dalam salah satu tulisan tentang perjalanan ke Inggris.
Beberapa momen bersejarah yang terjadi di Free Trade Hall antara lain konser elektrik pertama Bob Dylan yang jatuh pada 17 Mei 1966 dan konser perdana Sex Pistols pada 4 Juni 1976 yang mengawali punk.
Musik merupakan hal yang membuat Manchester bisa bangun dari keterpurukan, seperti ditulis Soleh berdasarkan penuturan pemandu turnya. Selama dua ratus tahun, kota ini hidup dari pabrik kapas. Ketika akhirnya industri konveksi bangkrut, Manchester kehilangan jati diri. Maka ketika kancah musik di sana tumbuh subur, dan banyak band yang mendunia, Manchester punya lagi sesuatu yang dibanggakan.
Salah satu band tersebut adalah The Smiths yang juga mempunyai tempat yang lekat dengan eksistensi mereka, yaitu Salford Lads Club. Soleh pun menyediakan waktu untuk datang ke sana. The Smiths pernah dipotret di depan bangunannya untuk album mahakarya The Queen is Dead. Alhasil banyak penggemar The Smiths yang mengunjungi kelab itu dan berpose di depannya ketika menyambangi Manchester.
Tak ketinggalan, Soleh juga pergi ke daerah Northern Quarter yang dipadati bar, kafe, butik, dan toko piringan hitam. “Saya harus merogoh kocek cukup banyak ketika iseng mampir ke Picadilly Records. Ada banyak sekali album kesukaan saya yang belum saya punya dan ternyata di sana relatif lebih murah,” kata Soleh.
Soleh bersama rombongan pindah dari Manchester ke Liverpool—kota yang telah memberikan kita The Beatles—menggunakan minibus. Tidak tanggung-tanggung, atraksi wisata pertama yang dikunjungi langsung berkaitan dengan musik, yaitu British Music Experience. Museum ini menceritakan sejarah musik Inggris, dari dekade ’50-an hingga kini. Soleh menjelaskan, “Kalau punya banyak waktu, tempat ini memberikan banyak pengetahuan tentang musik. Kita diberi pemutar audio yang bisa dipilih berdasarkan alat peraga yang ada di depan. Misalnya ketika sampai di alat peraga tentang The Rolling Stones, kita tinggal pilih keterangan yang kita mau, dengarkan audionya, sambil melihat barang-barang yang dipamerkan di depan kita.”
Ada juga museum khusus The Beatles yang dinamakan The Beatles Story. “Kalau mau tahu sejarah The Beatles tanpa perlu membaca bukunya, pergi ke sini adalah solusi tepat. Kita bukan hanya dapat informasi, tapi juga merasakan pengalaman seakan-akan kembali ke masa lalu karena ada replika dari benda-benda atau bangunan yang diceritakan,” ujar Soleh.
Menurut Soleh, pengalaman The Beatles Story idealnya langsung dilanjutkan dengan Magical Mystery Tour, sebuah tur keliling Liverpool yang membawa kita ke tempat-tempat yang berhubungan dengan The Beatles. Penny Lane, Strawberry Fields, hingga rumah masa kecil para personel The Beatles menjadi tempat tujuan.
Soleh juga menyempatkan diri datang ke kelab legendaris Cavern Club. Tempat ini punya peranan penting dalam sejarah musik dunia, salah satunya memberikan panggung bagi The Beatles untuk tampil hingga ribuan jam jika ditotal. Panggungnya tidak pernah sepi hingga kini, pasti ada band yang tampil setiap harinya.
Soleh mengungkapkan, “Ada dua hal yang membuat saya senang datang ke Cavern Club. Pertama, kelab ini punya sejarah dekat dengan The Beatles. Kedua, lagu-lagu yang dimainkan oleh band di sini semuanya saya suka; setidaknya dari dua malam berturut-turut saya ke sana. Mereka biasanya memainkan Mersey Beats (sebutan bagi band rock & roll yang datang dari Liverpool, biasanya memiliki elemen musik doo wop, skiffle, dan R&B juga) dan musik-musik yang mempengaruhi atau terpengaruh olehnya. Suasananya menyenangkan.”
Kota terakhir yang disambangi oleh Soleh dan rombongan adalah London. Sebagai ibu kota, pasti ada banyak sekali lokasi yang menarik untuk didatangi. Namun fokus utama Soleh tentu saja adalah tempat-tempat yang berhubungan dengan musik.
Ketika berada di Shoreditch yang penuh akan tempat-tempat beken pun perhatian Soleh tertuju kepada sebuah toko musik bernama Rough Trade East; dagangannya terdiri dari CD, vinyl, dan barang-barang lain yang berhubungan dengan musik. “Salah satu surga duniawi pengeruk uang,” kata Soleh. “Kalau dibandingkan dengan di Indonesia, vinyl di Rough Trade East termasuk murah. Dan yang paling penting, keberagaman koleksinya juara.”
Wisata musik Soleh di London ditutup dengan menonton drama musikal Lion King. Ia berujar: “Kata orang, ke London belum lengkap kalau belum menonton musikal. Dan Alhamdulillah, lengkap sudah kunjungan saya ke London kali ini.”