Bulan Mei 2016 kemarin, saya diundang oleh British Council untuk bergabung dengan empat delegasi Indonesia lainnya untuk menghadiri The Great Escape Festival. Dalam kapasitas saya sebagai jurnalis musik di bawah payung blog musik yang saya MusicalProm, saya berangkat ke Brighton untuk mengobservasi salah satu festival musik terbesar yang diadakan di Inggris.
Apa itu The Great Escape Festival?
The Great Escape (TGE) adalah sebuah festival musik besar yang diadakan setiap tahun di kota Brighton and Hove di bulan Mei selama 3 hari. Festival musik ini terkonsentrasi pada musik-musik alternatif baru dan didukung oleh 300 kelompok yang tampil di 30 tempat di seluruh kota.
Dari seluruh dunia, 3000 delegasi hadir untuk belajar, berbagi, menikmati musik dan menjalin relasi. Festival ini bukan hanya fokus pada penampilan musisi di atas panggung di berbagai tempat di kota Brighton, tetapi juga pengembangan karir, kerja sama dan industri kreatif.
Bersamaan dengan pertunjukan di panggung-panggung, akan diadakan pula konferensi yang diperuntukkan bagi pekerja musik Inggris maupun internasional untuk menggarap industri, ekosistem, audiens maupun teknologi. Festival ini pun didukung oleh Dewan Kesenian Inggris (Arts Council England), UK Trade & Investment, Asosiasi Musik Latvia, Spotify, the Guardian serta berbagai media maupun perusahaan Inggris yang dekat dengan gelora musik anak muda.
Festival - festival di Indonesia
Festival yang menghidupi ekosistem? Apakah itu merupakan sebuah hal yang mungkin? Nampaknya Festival The Great Escape mencoba menghadirkan sebuah festival yang menghidupkan industri musik Inggris sendiri.
Ketika banyak festival musik berkonsentrasi mengembangkan kapasitas audiens dan memperbesar daya tariknya di hadapan musisi ataupun mengembangkan kapasitas musisi untuk kemudian meningkatkan jumlah audiens, The Great Escape mengangkat strategi yang sangat cerdik dan berbeda. Kondisi yang di atas sebenarnya mampu menjadikan sebuah festival stagnan. Bagai mencari mana yang terlebih dahulu telur atau ayam, sebuah festival dapat terjebak dalam lingkaran setan yakni dilema memperbesar penonton terlebih dahulu untuk meraih musisi yang lebih banyak, atau meningkatkan jumlah dan kualitas musisi yang tampil untuk kemudian menambah jumlah penonton.
Apa yang dapat kita pelajari dari TGE?
Pelaku dalam hal ini manajer musik, produser, kurator, eksekutif label besar maupun kecil dan insan pemerintah di Inggris bukanlah pelaku yang guyub. Menggunakan bahasa Robin Malau, mereka bukanlah sebuah industri yang hidup dari bergotong royong, kesemuanya memiliki kesibukan tersendiri. Sedikit berbeda dengan penggerak musik di Indonesia yang lumayan cukup kecil dan saling mengenal satu dengan yang lain.
Sebagai pemikat, para pelaku pertama ditawarkan untuk menghadiri sebuah market update dalam bentuk seminar yang diintegrasikan dengan festival. Inisiatif ini diadakan di tahun ke-4 dari TGE di tahun 2010 dengan menggandeng CMU Insights, sebuah perusahaan kepakaran yang bergerak di bidang riset, konsultan dan pelatihan industri musik. Target utama dalam garapan semacam ini adalah menarik manajer level kecil dan menengah yang ingin mengembangkan bisnis musik mereka. Pembicara dari akademisi dan nama besar di industri pun berjejaring bersama dengan peserta seminar yang terjun di akar rumput.
Perlahan pengembangan ini bukan hanya menarik pelaku industri, tapi juga menarik band-band muda yang ingin mendapatkan akses ke pelaku-pelaku industri ini. Pamor festival pun bertambah seiring dengan semakin banyaknya band-band yang mengisi acara. Para manajer, produser dan eksekutif label besar dan kecil pun ingin melihat talenta-tenta baru di panggung yang dapat mereka angkat dan ajak bekerja sama. Di sisi lain penonton pun semakin banyak dan membesar sejalan dengan semakin banyaknya pilihan sajian di atas panggung. Alhasil hubungan ini menciptakan simbiosis mutualisme antara musisi, pelaku industri dan audiens. Sajian festival pun jadi beragam dan menghidupkan satu sama lain.
Delegasi praktisi pun tidak hanya dari lokal saja. Dengan mengundang British Council sebagai suporter, festival pun kemudian menjaring pelaku industri dari berbagai negara strategis untuk pengembangan pasar dan industri musik Inggris. Untuk tahun ini, China, Korea Selatan, Vietnam dan Indonesia yang menjadi fokus utama selain Amerika Serikat yang memang menjadi partner utama. Bagi banyak musisi, festival ini adalah kesempatan besar untuk berhubungan langsung dengan promotor, produser maupun label luar negeri.
Berkolaborasi dengan partner, menarik pengunjung - pengunjung baru
Di tahun 2016 ini, TGE mengambil langkah yang lebih luas lagi untuk mengembangkan sayap cakupannya. Untuk menjawab inisiatif banyak kota baik di Inggris maupun dunia yang semakin sadar akan kekuatan sektor kreatif musik dan dampak ekonominya, mereka pun mengadakan konferensi khusus tentang inisiatif kota musik. Konferensi ini sejalan dengan banyaknya negara dan kota yang melihat pentingnya peranan musik dalam perencanaan urban dan kebijakan publik. Para pembuat kebijakan, konsultan pemerintah kota dan delegasi pemerintahlah yang hadir dalam rangkaian konferensi ini, menjadikan festival ini mewakili keragaman ekosistem baik dari sisi audiens, seniman, pelaku sektoral dan pemerintah.
Dalam kupasan ini dapat terlihat bagaimana sebuah kemampuan untuk memandang sistem menjadi krusial dalan pengembangan sebuah event. Pengembangan ini tentunya memang ditujukan untuk perkembangan sektor ini sendiri. Di lain pihak, strategi ini adalah sebuah strategi organisasi dan pengembangan audiens festival yang patut menjadi contoh. Di siklus 4-5 tahunan, festival umumnya memasuki fase kritis. Namun secara menarik, penyelenggara festival ini mampu menangkis fase kritis itu untuk kemudian meregenerasi dirinya dengan menciptakan acara baru yang mampu menghidupi, mendukung dan memperkuat sajian secara keseluruhan dan berdampak sistemik bagi acara mereka.
TGE telah menampakkan diri sebagai festival yang tanggap akan ekosistem beserta dengan pergerakannya, sebuah organisasi yang mampu meregenerasi dirinya sendiri. Sungguh menarik.