By UK/Indonesia 2016-18 team

04 July 2018 - 17:06

© Dok. British Council

 

Selalu saja ada yang menarik jika kita menemukan bentuk-bentuk teater baru, serta bentuk-bentuk kesenian yang akan terus berkembang di masa depan, tidak terkecuali dengan pertunjukan-pertunjukan yang ada di Edinburgh Showcase oleh British Council tahun lalu.

Edinburgh Showcase  - yang berlangsung dari 21-26 Agustus 2017 – merupakan sebuah program yang terdiri dari 30 kelompok pertunjukan yang dipilih dari hampir 300 aplikasi, menghadirkan potret dari beragam seni pertunjukan terbaru asal Inggris. Sebagai sebuah ajang pertunjukan, showcase ini terdiri dari berbagai pertunjukan teater dan tari, termasuk sastra baru, teater fisik, live art, seni interaktif dan interaktif.

Dengan reputasi kota Edinburgh sebagai kota seni dan festival, pertunjukan yang diadakan selama satu minggu ini juga membuka kesempatan untuk para delegasi internasional melakukan kunjungan. Tentunya ini memberikan kesempatan bagi para kelompok pertunjukan dan tari untuk melakukan tur internasional, serta membangun hubungan baru dan membuka pasar baru untuk seni pertunjukan Inggris.

Kami berkesempatan untuk mengobrol dengan 2 dari 5 delegasi asal Indonesia yang berkunjung ke Showcase tahun lalu - Adinda Luthvianti dari Dewan Kesenian Jakarta, dan Abdi Karya dari 5ToMidnight International, Makassar. Keduanya bercerita mengenai hal-hal mengesankan yang mereka temukan selama Showcase tahun lalu, serta sebuah pertunjukan istimewa yang menarik perhatian mereka dan akan segera dibawa di Indonesia.

Bagaimana pengalaman Anda ketika menghadiri The Edinburgh Showcase 2017?

Adinda:  Banyak hal yang saya pelajari dari kunjungan saya ke The Edinburgh Showcase 2017, lebih tepatnya bagaimana bentuk-bentuk kesenian baru yang bisa saya terapkan di lingkungan kesenian di Indonesia. Terutama bagaimana tema-tema beragam dipanggungkan secara kontemporer.

Abdi:  Edinburgh Showcase memberi saya gambaran yang besar mengenai festival seni yang tadinya memiliki semangat fringe, namun kemudian setelah mengalami banyak kemajuan dan perkembangan, berhasil bergeser menjadi festival yang mapan. Hal ini menarik untuk dilihat sebagai perjalanan sebuah festival seni yang sukses memberi wajah yang ramah tentang sebuah kota. Bagaimana sebuah festival seni menjadi perayaan bagi setiap orang, bukan hanya untuk seniman dan penonton yang terlibat semua.

Saya juga bisa merasakan bagaimana warga kota menjadi bagian penting dari festival ini. Bukankah sangat menggembirakan jika setiap orang membicarakan peristiwa kesenian, bahkan jika yang bersangkutan tidak sempat menonton atau menghadiri program tersebut?

Hal menarik apa yang Anda temukan selama kunjungan di sana, baik di selama showcase berlangsung atau di kota Edinburgh?

Adinda:  Saya tertarik dengankeberagaman bentuk kesenian yang ditampilkan serta kondisi geografis kota Edinburgh yang sangat mendukung peristiwa kesenian untuk berjalan baik. Saya mengapresiasi pengelolaan sebuah festival yang memenuhi setiap sudut kota - sebuah perayaan yang hampir dirasakan di setiap tempat, restauran, cafe, sudut-sudut jalan, dan seterusnya.

Abdi:  Hal yang membuat saya kagum adalah platform yang disiapkan oleh panitia, bagaimana para seniman mempromosikan pertunjukan mereka sendiri di tempat-tempat umum. Mereka menyebar pamflet, memasang poster, menampilkan pentas pendek penggalan adegan, yang intinya benar benar menuntut seniman untuk bekerja secara independen, efektif, efisien, ringkas, tepat sasaran, dan ini semua memberi kesempatan kepada seniman untuk mengasah keterampilan self-management mereka.

Dari semua pertunjukan yang Anda tonton di sana, pertunjukan mana yang menurut Anda yang paling menonjol dan mengapa?

Adinda: Menurut saya,pertunjukan ‘Nocturnes’ oleh Imitating the Dog menjadi semacam pesan sosial untuk kita cermati, bagaimana peristiwa masa lalu bertemu dengan masa kini, dengan kreativitas yang menghilangkan skat-skat kesenian, dimana  antara sinema dan teater saling mendukung. Menonton Imitating The Dog mengingatkan saya pada gairah sineas muda di Indonesia yang terus menerus mencari bentuk untuk membahasakan tema, gagasan. Pada pertunjukan "Nocturnes" semangat itu terasa kuat.

Abdi:  ‘Nocturnes’ memberi ruang imaji yang besar kepada penonton dalam melihat dua karya sekaligus sebagai sebuah peristiwa yang sama dan sekaligus berbeda. Sensasi ini mengingatkan saya pada pertunjukan wayang kulit atau teater tradisi, dimana penonton sangat sadar bahwa apa yang terjadi di layar, dan bagaimana cara dalang memainkan sabetan-sabetan, dan tembangnya adalah tontonan yang hadir di dunia yang berbeda. Parallelism atau dualism ini sangatlah kuat dalam seni tradisi di Indonesia atau di timur.

Nocturnes; sebuah karya oleh Imitating the Dog akan ditampilkan perdana di Jakarta dan Makassar pada Juli mendatang.