By UK/Indonesia 2016-18 team

26 September 2017 - 10:07

©

Photo credit: creativeblackcountry.co.uk

Datang dari kawasan bernama Black Country yang terletak di sebelah barat Birmingham, seniman bernama Liam Smyth tengah menikmati masa residensinya di Semarang. Ia kagum dengan bagaimana penduduknya bisa begitu erat satu sama lain, berbeda dengan negara asalnya. 

“Di Inggris, komunitas tidak terlalu erat. Sulit untuk mengkomunikasikan ide ke sekelompok orang. Tetangga saja tidak mau berbicara satu sama lain. Ide untuk menyebarkan pengetahuan dan cerita menjadi sangat sulit untuk dilakukan,” ujarnya.

Ia melanjutkan, “Sementara di Indonesia, Anda bisa menyusuri jalanan kapan saja dan berkomunikasi dengan banyak orang, menyebarkan cerita dari individu ke individu. Rasa kebersamaan, keramahan, dan keterbukaan di sini sangat fenomenal dan membuka mata.”

Liam—juga aktif dalam Creative Black Country, kampanye tiga tahunan yang bertujuan untuk mengedepankan talenta kreatif di Black Country—ada di Semarang sebagai satu dari delapan seniman asal Inggris yang dipilih oleh British Council untuk melakukan residensi ke Indonesia. Ia bekerja sama dengan Hysteria, kolektif seniman Semarang yang peduli akan isu-isu kota, anak muda, dan komunitas.

Untuk residensinya kali ini, Liam berupaya untuk mengenalkan masyarakat kepada teknologi digital; sesuatu yang juga ia kampanyekan di Inggris. Liam bahkan telah menciptakan papan tanda yang memiliki kemampuan augmented reality; bisa dilihat di sini.

“Kesenian dan masyarakat secara umum harus bisa nyaman bekerja dengan teknologi digital dan teknologi masa depan. Saya sangat penasaran untuk mengetahui apakah budaya dan komunitas di Indonesia akan merespons perangkat lunak yang sudah tersedia cukup bebas di Inggris; serta ide-ide berbeda yang mungkin muncul dari bekerja dengan sekumpulan orang yang baru mengenal pendekatan ini,” terang Liam.

Kami berbincang soal banyak hal dengan Liam, dari awal ketertarikannya terhadap seni hingga hal-hal yang dipelajarinya dari masa residensi di Semarang.

Kapan pertama kali Anda tertarik dengan kesenian? Siapa yang menjadi pemicunya?

Ketertarikan saya dengan seni dimulai sejak dini, dari keluarga saya. Saya pikir kesenian adalah cara yang menyenangkan untuk berinteraksi dan memahami dunia.

Anda berasal dari Black Country. Bagaimana tempat itu membentuk Anda sebagai seniman?

Black Country adalah ruang yang sangat unik. Bisa dibilang sudah terlupakan dari bentang budaya di Inggris. Namun saya pikir kerendahan hati dan selera humor dari Black Country meresap ke dalam diri saya dan cara saya bekerja.

Bagaimana Anda bermula sebagai seniman, dan bagaimana Anda berkembang seiring waktu berjalan?

Saya belajar ilustrasi saat kuliah, namun perkembangan saya sebetulnya baru terjadi setelah saya lulus. Waktu itu saya kecewa dengan kurangnya keberagaman dalam kancah seni di sana, dan saya merasa sudah waktunya untuk meningkatkan partisipasi.

Liam merekam pembuat terpal di Kampung Malang ©

Photo credit: creativeblackcountry.co.uk

Apa yang memicu Anda untuk mulai mengimplementasikan teknologi augmented reality ke karya Anda?

Augmented reality adalah alat yang sangat menarik; memungkinkan seniman untuk tidak mendikte dalam bekerja dengan masyarakat. Augmented reality juga merupakan pendekatan yang menarik di mana audiens bisa berinteraksi dengan karya. Mereka bisa memilih bagaimana, kapan, dan di mana mereka mau berinteraksi dengan karya tersebut.

Creative Black Country sangat berminat membuka kesenian bagi audiens yang berbeda, terutama anak-anak muda. Kami pikir augmented reality adalah langkah yang menarik untuk membuat anak muda mengonsumsi budaya dengan cara-cara baru.  Kami berupaya sesering mungkin menjadi radikal dalam pendekatan kami, dan augmented reality tampak seperti langkah awal yang baik dalam mengeksplorasi teknologi pintar dan teknologi masa depan.

Bagaimana augmented reality mengubah pendekatan Anda dalam membuat seni?

Augmented reality menawarkan kesempatan bagi artis untuk merespons gedung, masyarakat, dan ruang dalam perlakuan yang tidak mendike. Alat ini mempersilakan audiens untuk berinteraksi dengan karya seni pada waktu dan cara yang mereka rasa sesuai. Dan itu membuka peluang-peluang baru kepada bagaimana seniman ditempatkan di dunia, dalam konteks yang lebih luas.

Apakah Anda memiliki ekspektasi terhadap residensi di Semarang? Ada target tertentu yang ingin dicapai dalam residensi ini?

Saya pikir, seperti semua proyek, merupakan hal penting untuk membuka pikiran ketika mendekati masyarakat baru dan budaya baru. Jadi saya mencoba untuk selalu responsif, dan saya yakin bahwa itu mendukung penciptaan proyek yang lebih bermakna dalam jangka panjang.

Bagaimana Semarang memperlakukan Anda sejauh ini?

Semarang memperlakukan saya dengan sangat baik, terima kasih. Makanannya fantastis. Perlu waktu untuk beradaptasi dengan cuacanya namun tidak terlalu sulit. Ini kawasan multi-budaya, meluap-luap dengan kebudayaan serta pemandangan, bunyi, dan aroma yang beragam. Kota yang sangat menginspirasi.

Residensi juga merupakan metode untuk mempelajari sebuah kota. Dalam kasus Anda, Semarang. Apa yang telah Anda pelajari setelah beberapa minggu tinggal di Semarang?

Saya sangat penasaran dengan problem sosial yang dihadapi oleh penduduk Semarang, dan bagaimana Hysteria bekerja sama dengan mereka untuk mencari solusi dalam cara-cara yang kreatif dan kuat. Mendengarkan isu-isu budaya yang berbeda dari biasanya tentu merupakan pengalaman yang membuka mata. 

Apakah Anda sudah tahu apa yang ingin dilakukan sebelum sampai di Semarang? Atau Anda harus tiba dan mengalami kotanya terlebih dulu untuk menentukan rencana?

Saya ingin mengalami kota Semarang terlebih dulu sebelum saya membuat keputusan apa pun. Itu bisa menjadi pendekatan yang menegangkan untuk beberapa orang, namun saya pikir pendekatan tersebut penting bagi semua seniman yang ingin menciptakan sesuatu yang memiliki keberlanjutan dan umur panjang di kawasan lokal.

Apakah ada harapan tentang bagaimana Semarang akan mengimplementasikan karya Anda?

Saya harap ini bisa menjadi langkah pertama dalam menginformasikan bahwa kesenian, dan kesenian digital, dapat dinikmati oleh semua orang; serta fakta bahwa bereksperimen dengan teknologi baru dan berbeda bukanlah suatu hal yang menakutkan. Pendekatan kolaboratif seperti itu, meleburkan seni dengan digital, adalah sesuatu yang saya harap bisa dieksplor lebih jauh lagi oleh orang-orang di Hysteria dan masyarakat Semarang.

Apa hambatan yang Anda temui dalam residensi ini? Bagaimana Anda mengatasinya?

Dalam periode yang singkat, sangat sulit untuk memahami semuanya ketika Anda bekerja di lingkungan baru. Namun saya menyadari adanya perbedaan dalam budaya kerja di Inggris dengan budaya kerja di Indonesia. Selain itu berbeda dengan di Inggris, ruang kesenian di sini didominasi oleh pria. Perlu waktu untuk membiasakan diri, namun saya pikir semuanya bisa diatur.

Ada tanggapan soal Hysteria selaku tuan rumah untuk residensi Anda?

 

Saya pikir Hysteria merupakan organisasi yang sangat menginspirasi. Saya sangat senang bahwa mereka yang menjadi tuan rumah untuk residensi saya. Ada banyak persilangan antara fokus-fokus yang diambil oleh Hysteria dan Creative Black Country. Jelas ada masalah-masalah sosial berbeda yang ingin kami hadapi, namun tentunya ada banyak sekali pelajaran yang bisa saya bawa dari Hysteria ke Inggris.