By Nick Tandavanitj, Seniman, Blast Theory

18 April 2016 - 11:24

Seniman Inggris Nick Tandavanitj sedang berdiskusi dengan seniman - seniman Indonesia di Bandung.
Diskusi saat sesi prototyping di Bandung.

Di bulan Maret 2016, saya menghabiskan sepuluh hari yang menyenangkan dalam perkenalan singkat ke Indonesia untuk belajar dan berbagi pengetahuan mengenai pengalaman saya dalam digital culture. Sebagai bagian dari tujuh grup seni dari UK yang diundang ke Indonesia, saya menjelajahi kota metropolitan Jakarta ke Yogyakarta untuk mengenalkan proyek-proyek Blast Theory dan bertemu dengan para pekerja seni yang berkarya menggunakan media digital, dan lalu, melanjutkan residensi singkat di desa Jatiwangi dan mengakhiri perjalanan saya di Bandung untuk menghabiskan waktu selama dua hari membuat prototipe ide untuk proyek baru. 

Kota metropolitan Jakarta

Apartemen-apartemen yang menjulang tinggi dan bersisian sepertinya sudah bukan hal yang aneh lagi di Jakarta. Duduk diam memandangi kemacetan yang tidak ada habisnya di atas pembangunan jalan layang yang baru dengan pemandangan konstruksi yang berlangsung tanpa henti terus terlihat sejauh mata memandang. Perluasan jalan ini ternyata dilakukan untuk menata kembali ruang-ruang publik di Jakarta yang secara ironis malah semakin menambah kemacetan di Jakarta. 

Dalam konteks kota seperti Jakarta, Go-Jek, sebuah aplikasi yang tumbuh dari layanan transportasi tradisional bernama ojek di Indonesia - telah menyebar secara luas dan mengalahkan layanan seperti Uber. Gojek hadir dengan layanan variatif mulai dari pengantaran makanan, tukang pijat, hingga belanja pribadi langsung ke rumah kita. Bagi saya, hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan dan perkembangan teknologi benar-benar dapat merubah kehidupan sehari-hari kita. 

Di luar lokasi kegiatan seni yang telah kaliber seperti Salihara, kami juga bertemu dengan Ruangrupa, kelompok seniman di balik festival seni video populer yang diadakan di Jakarta - OK Video  - yang sebentar lagi akan berubah nama menjadi OK Media. Selain festival, kelompok ini juga menjalankan sebuah galeri, lokakarya, toko kecil yang unik dan stasiun radio dalam satu rumah yang terlihat seperti rumah-rumah pada umumnya di sebuah jalanan kompleks yang cukup sepi. Sekarang, mereka tengah bersiap untuk menempati suatu gudang di Jakarta yang akan diubah menjadi lokasi kegiatan seni untuk publik. 

Sementara itu, di bagian Jakarta yang lain, tersembunyi di belakang toko buku dan tempat kopi di daerah Kemang, kami bertemu dengan Lab Laba Laba. Sebuah lab film dan sinema mikro untuk ‘siapa saja yang memiliki ketertarikan pada film’- mereka memiliki fasilitas untuk memproses, memproyeksi dan mentransfer film secara digital. 

Apabila saya berbicara dalam konteks luasnya Jakarta sebagai sebuah kota dan fakta bahwa Jakarta kekurangan tempat publik yang terlihat secara eksplisit, ruangrupa dan Lab Laba Laba tampaknya telah terlatih menemukan tempat di mana meskipun letak mereka tersembunyi, mereka tetap dapat mengandalkan kepiawaian mereka membangun jaringan orang-orang yang benar-benar tertarik mencari tahu tentang apa yang mereka kerjakan; masing-masing dari ruangrupa dan Lab Laba Laba telah berhasil menumbuhkan jumlah ‘anggota’ dan praktisi mereka. 

Gitar yang terbuat dari daur ulang genteng dari tanah liat
Alat - alat musik buatan rumah yang menggunakan produk yang berasal dari pabrik-pabrik genteng di Jatiwangi. ©

Nick Tandavanitj

Gedung - gedung pencakar langit di Jakarta
Kompleks apartemen - apartemen besar menjadi hal yang biasa. ©

Nick Tandavanitj

Berbagi cerita tentang proyek - proyek seni di Jogjakarta

Lifepatch - kelompok seniman dan pekerja seni yang berbasis di Jogja - mengingatkan saya pada ruangrupa dan Lab Laba Laba karena entah kenapa mereka memiliki suatu daya pikat yang sama. Mereka adalah bagian manusia-manusia yang mampu melihat potensi kreativitas dalam kehidupan sehari-hari. Andreas Siagian dari Lifepatch menyajikan kepada kami deretan proyek mengagumkan mulai dari lokakarya DIY sampai dengan kajian mengenai polusi air di bantaran sungai, deretan proyek yang menggambarkan kemampuan Indonesia untuk menggunakan teknologi dengan sebaik mungkin untuk memperbaiki sesuatu.

Residensi singkat di Desa Jatiwangi 

Di lain sisi, Jatiwangi Art Factory (JAF), sebuah pusat seni di desa yang terletak di luar Cirebon, sangat bergantung kepada proses tatap muka di dalam desa itu sendiri ketika menghasilkan sebuah karya. Dalam delapan tahun sejarah mereka, mereka telah menemukan genre baru yang berdasarkan pada hasil industri keramik di Jatiwangi dan sekarang tengah menjajaki festival musik berkala, dan proyek proyek lainnya, yang termasuk didalamnya melibatkan lima ribu anak sekolah lokal memainkan instrumen yang dibuat sendiri (sila dilihat video mereka).

Arief Yudi Rahman, direktur galeri dari JAF menghitung jarak antar proyek dalam satu dekade - merefleksikan perjuangan Jatiwangi dalam mendukung perkembangan komunitas di Jatiwangi melalui seni untuk melawan perubahan yang tidak bisa terelakkan akibat adanya pembangunan bandara internasional di dekat lokasi Jatiwangi. 

Selama dua hari saya di Jatiwangi, Arie Syarifuddin mengenalkan saya pada kreasi-kreasi yang dibuat di Jatiwangi, termasuk proyek pembangunan kebun yang tengah mereka kerjakan di Wates. Proyek ini berhasil mengajak semua penduduk desa di Wates untuk bersama-sama belajar mengenai tanaman hidroponik dan cara penanamannya melalui wadah plastik untuk menumbuhkan rempah-rempah dan berbagai macam sayuran. Proyek ini kemudian menjadi tulang punggung bagi penduduk desa sekaligus perekat bagi mereka untuk tetap dapat berkolaborasi dengan pemerintah di tengah konflik dengan militer Indonesia yang berusaha merebut hak lahan di desa mereka. 

Arie menjelaskan kepada saya tentang pendekatan yang digunakan oleh JAF dalam menghadapi konflik sebagai ‘memberikan kesempatan bagi organisasi pemerintah untuk dapat membantu komunitas lokal’- proses kolaborasi dan bukan konfrontasi; menggunakan keceriaan dan kreativitas sebagai alat untuk mengajak pemerintah bekerja bersama. 

Prototyping in Bandung Pengerjaan Prototipe di Bandung

Pemberhentian terakhir saya adalah dua hari sesi prototipe di Bandung dengan praktisi dari berbagai daerah di Indonesia. Saya bekerja dalam satu kelompok dengan Benny, Agus, Elian, dan Didit dari WAFTSembilan Matahari dan Labtek Indie, kelompok kami mencoba mengkaji isu spiritualitas dalam budaya kontemporer. 

Dalam konteks modern di mana konsumen diarahkan dan didukung oleh teknologi, diskusi kami mencoba mengangkat pentingnya peranan dan potensi dari tempat-tempat lokal dan jaringan lokal sebagai wadah untuk menyalurkan kreativitas dan wadah bagi para aktivis dalam memperjuangkan isu mereka. Membawa dan menyadur falsafah dari JAF untuk berkolaborasi, kami bertanya dan berusaha memantik diskusi tentang bagaimana teknologi dan mesin-mesin terkini hingga pengarsipan digital dapat digunakan sebagai alat kolaboratif yang dapat mendukung jaringan lokal di Indonesia, untuk terus dapat menghargai dan memperbaharui adat-istiadat dan keperyaan lokal, dan untuk mengevaluasi ulang hubungan antar gender. 

Sebagai langkah selanjutnya, Blast Theory akan mengundang seniman Indonesia untuk berkolaborasi dengan kami di studi kami di Porstlade, UK di 2017. Tunggu cerita selanjutnya!