By Eric Sasono, Kritikus film

16 June 2016 - 22:14

Virtual Reality di Sheffield Documentary Festival 2016
Diadakan berkolaborasi dengan Site Gallery, Sheffield Doc/Fest's Virtual Reality Arcade membawa pengunjung untuk menjelajah waktu ke masa kecil yang dirindukan, merasakan menjadi astronot atau tetua suku Aborigin di tengah gurun Australia.  ©

Sheffield Doc/Fest

Alternate Reality merupakan sebuah seksi di Sheffield Doc Fest, yang berkaitan dengan format baru proyek dokumenter yang berkembang bersama perkembangan teknologi. Perkembangan teknologi hanya dalam hal produksi dan sirkulasi, melainkan juga medium yang digunakan, platform penyajian dan akhirnya turut pula mempengaruhi definisi medium itu sendiri.

Di Sheffield 2016, Alternate Reality bukan hanya memajang proyek menggunakan teknologi terbaru seperti penggunaan platform ipad dan virtual reality seperti Oculus Rift, tetapi juga adanya ajang pertemuan seperti pitching ide, market, distribusi dan sebagainya untuk para pelaku (kreator, produser, pendana) yang mirip dengan film dokumenter konvensional.

Apakah ajang pertemuan untuk format baru ini serupa dengan market untuk dokumenter konvensional?

Saya sempat menanyakannya kepada Karolina Lidin dalam sesi mentoring delegasi Indonesia dengan tokoh yang bertanggungjawab mengembangkan market di Sheffield ini menjadi salah satu yang paling penting di Eropa. Ia menyatakan market untuk teknologi baru ini (interactive documentary, virtual reality dan sebagainya) masih baru dan masih belum menemukan bentuk. Perbincangan utama di kalangan pelaku adalah: apakah bentuk baru ini sebaiknya digabung saja dengan bentuk dokumenter konvensional di bawah naungan istilah “content”, ataukah keduanya dibiarkan terpisah dan punya logika masing-masing? Yang jelas, Google hadir di market untuk model baru ini, sekalipun saya tidak mengikuti secara persis apa yang berkembang di sana.

Lantas bagaimana dengan soal estetika proyek-proyek dokumenter Alternate Reality yang dipertontonkan di Sheffield ini?

Saya sempat menonton 3 karya yang dibuat dengan virtual reality, dan mengikuti satu bentuk interaktif yang dibuat tablet.

JOHN LENNON: BERMUDA TAPES 

John Lennon: Bermuda Tapes adalah proyek yang dibuat untuk tablet. Ia memanfaatkan rekaman yang dibuat oleh John Lennon dalam perjalanan ke Bermuda ketika ia mendapat inspirasi untuk albumnya, Double Fantasy. Berdasarkan rekaman itu, dibuatlah proyek interaktif tentang John Lennon di Bermuda. Sebagaimana situs web tradisional, proyek ini bisa dinikmati secara linear, tetapi bisa juga tidak. Pengguna bisa melompat-lompat antar kategori, bahkan ikut serta menanam pohon di taman virtual yang ada di proyek itu.

 Proyek interaktif ini seperti perwujudan cabaran Lev Manovich (1998) tentang database sebagai bentuk simbolis dalam medium kontemporer dimana data didahulukan ketimbang aspek naratif. Dalam gagasan ini penonton (atau pengguna?) membentuk naratif sendiri berdasarkan algoritma yang tersedia.

Inilah beda utama dengan tiga karya virtual reality (VR) yang saya lihat. Pada tiga karya VR ini, elemen naratif disediakan oleh pembuat film, tetapi dengan tingkat interaktivitas yang lumayan, terutama karena penggunaan kamera 360 derajat. Dengan kemampuan menangkap gambar yang memenuhi seluruh ruang pandang kita, maka tengokan ke kanan-kiri-atas-bawah bisa dimanfaatkan untuk mendukung elemen naratif itu.

INVISIBLE OLEH DARREN EMERSON

Proyek berjudul Invisible  (Darren Emerson), menggunakan ruang virtual untuk menceritakan kisah para tahanan imigrasi di Inggris Raya. Emerson menghadirkan aula tahanan yang luas, dan posisi kita sebagai salah seorang yang dikelilingi oleh para tahanan yang seakan bertanya tentang posisi mereka sebagai orang-orang yang tercabut haknya – akibat kebijakan pemerintah Inggris yang tak menetapkan batas waktu penahanan migran di sana. Beberapa di antara para migran itu tak selamat dalam perjalanan, terutama ketika menyebrang laut, dan Emerson menggunakan kedalaman (kita harus mendongak untuk melihat “permukaan” laut) di atas kepala dan melihat “tubuh-tubuh” yang tenggelam ke dasar laut.

Mayoritas gambar di Invisible adalah live action, tetapi dengan skala yang raksasa bagi ukuran yang biasa kita lihat. Hasilnya adalah situasi yang terasa serba menekan karena skala yang tak lazim itu membuat kita kehilangan orientasi karena ukuran yang serba raksasa.

EASTER RISING: VOICE OF A REBEL 

Proyek kedua yang saya tonton, Easter Rising: Voice of a Rebel (Oscar Raby), juga linear. Kisahnya mengenai pemberontakan orang Irlandia terhadap Inggris Raya di tahun 1916, dari pengalaman Willie McNieve. Cerita berpusat pada perang lima hari dalam pengambilalihan kantor pos (GPO) yang menjadi pusat komunikasi Inggris Raya saat itu. Dibuat dengan animasi dengan imaji digital tiga dimenasi yang agak kasar, proyek ini penuh dengan upaya memasukkan kita ke dalam suasana saat itu, termasuk dengan narasi yang memberi arahan kemana sebaiknya kita memandang. Bagi saya, karya ini tak terlalu istimewa, kecuali di beberapa bagian kita seakan diminta melihat ke balik tembok, dan lalu sadar tak ada apa-apa di sana.

Tablet yang digunakan untuk memainkan film dokumenter - John Lennon the Bermuda Tapes
Dokumenter Interaktif - John Lennon: The Bermuda Tapes oleh Communication Arts
Man experiencing Virtual Reality using VR goggles
Experiencing Virtual Reality at Sheffield Documentary Festival 2016. ©

Amanda Marahimin

Karya ketiga yang saya tonton, In My Shoes: Dancing with Myself, menjadi pengalaman paling menarik dalam Sheffield Doc Fest sampai sejauh ini. Karya Jane Gaunlett ini mengisahkan tentang dirinya yang mengidap epilepsi sesudah mengalami kecelakaan sepeda. Proyek ini ditampilkan di sebuah co-working space yang disewa untuk diubah menjadi seperti restoran kecil. Sebelum duduk, kita disodori menu, sekalipun tak ada yang bisa dipesan dari menu itu.

Narasi bercerita tentang serangan epilepsi yang dialami Jane dalam peristiwa yang sangat sehari-hari ketika ia bertemu dengan temannya di sebuah restoran di London. Cerita berjalan sangat biasa, tetapi kita bisa mengikuti beberapa keganjilan. Misalnya dari perbedaan antara suara-suara di dalam kepala Jane dengan apa yang ia katakan, menceritakan kelelahan mentalnya menghadapi situasi yang harus ia hadapi.

Beberapa kali ia memejamkan mata (sambil menarik napas panjang untuk menenangkan diri) ketika sedang bercakap-cakap. Sampai ketika layar gelap, lalu terang lagi dan ia sudah dikelilingi orang-orang yang memandanginya dengan cemas. Selama 20 menit ia tak sadarkan diri dan tak bisa mengingat apa yang terjadi.

"Proyek ini berhasil menghadirkan pengalaman dari tangan pertama penderita epilepsi – yang bagi saya membuka kemungkinan menarik untuk mentransfer pengalaman-pengalaman mental yang tak biasa."

Yang mungkin paling menarik dari Alternate Reality ini justru adalah akrabnya medium dan platform baru ini dengan film dokumenter ketimbang film fiksi. Bagi saya, salah satu penjelasannya adalah klaim film dokumenter terhadap ‘kebenaran’. Dokumenter adalah proyek yang berangkat – seperti kata pelopor dokumenter John Grierson – dari ‘actuality’ dan diperlakukan secara kreatif. Maka perangkat baru ini adalah bagian dari kreativitas tersebut.

Dengan klaim terhadap aktualitas, dokumenter memiliki keunggulan di hadapan penonton karena mereka mengharapkan mendapatkan semacam ‘kebenaran’ ketika menonton, dan bukan manipulasi terhadap emosi. Maka kisah yang menceritakan pengalaman semacam In My Shoes – yang mungkin sudah bertaburan di dalam film fiksi – mendapat pemaknaan berbeda karena itu semua dihadirkan bukan sebagai ilusi.

Baca cerita lain dari Sheffield oleh Eric Sasono