Melanjutkan program residensi untuk menjalin hubungan kreatif yang lebih erat antara Inggris dan Indonesia, dan juga kunjungan Diane Wiltshire dari Birmingham Open Media ke Indonesia tahun lalu, tiga pegiat kreatif dari Yogyakarta akan mengunjungi Birmingham untuk menjalani residensi dengan Birmingham Open Media sebagai tuan rumah. Tiga pegiat kreatif prempuan ini adalah Amarawati Ayuningtyas, Sita Magfira, dan Ferial Afiff. Tiga pegiat kreatif ini adalah anggota dari lifepatch - inisiatif warga di seni, sains dan teknologi: adalah sebuah organisasi lintas-disiplin berbasis komunitas yang berlokasi di Yogyakarta.
Kami berbincang dengan salah satu pegiat kreatif yang akan berangkat, Amarawati Ayuningtyas atau Mara, sebelum mereka berangkat ke Birmingham minggu depan dan menjalani residensi selama sebulan.
Amarawati adalah lulusan Modern School of Design dengan gelar diploma di Desain Komunikasi Visual. Ia menghabiskan banyak waktunya di Yogyakarta, dikelilingi oleh lingkungan seni budaya yang kental. Mara mulai tertarik pada seni setelah magang di Hyphen, badan riset dan pengembangan yang fokus pada isu seni budaya. Mara sudah pernah terlibat dalam banyak proyek kesenian, salah satunya adalah pengerjaan database koleksi karya dari seniman Indonesia, Agus Suwage.
Mara berbincang kepada kami mengenai harapannya terhadap program residensi ini, apa yang membuat ia tertarik pada dunia seni, dan mengapa menurutnya seni penting untuk semua orang.
Apa yang membuat kamu tertarik pada dunia seni?
Pertama karena saya punya latar belakang sebagai mahasiswa desain di Yogyakarta. Lalu, tinggal di Yogyakarta, yang sangat kaya budaya, membuat saya berinteraksi secara lebih dekat dengan dunia seni. Ada banyak galeri dan seniman di sini, jadi saya benar-benar bisa terjun langsung ke dunia seni. Selain itu saya sempat magang di IVAA (Indonesian Visual Art Archive).
Bagaimana menurutmu teknologi mempengaruhi dunia seni sekarang ini?
Sangat signifikan. Ada kaitan yang erat antara seni dan teknologi. Saya rasa saya mulai menyadari itu setelah melihat karya seni dari seniman Jepang di Yogyakarta. Saya melihat bagaimana teknologi berperan besar dalam proses pengkaryaan mereka.
Kamu sempat terlibat dalam publikasi dari “Three woman collaboration: Makcik Project” yang melibatkan tiga seniman dan waria, bisa ceritakan lebih lanjut mengenai proyek ini?
Iya betul. Kami bekerjasama dengan Hyphen juga. Proyek ini dikuratori oleh Grace Samboh, kurator Indonesia yang berbasis di Jakarta. Ada tiga seniman perempuan yang terlibat: Ferial Afiff, Jimmy Ong, dan Lashita Situmorang. Tapi ada banyak seniman lain yang terlibat, termasuk X-Code Films, Tamara Pertamina - waria dari Yogyakarta, Broken Mirror Project - kolektif seniman yang terdiri dari Bob 'Sick' Yudhita Agung, S. Teddy D., Tohjaya Uno, Ugo Untoro, Yustony Volunteero. Mereka semua terlibat dalam hal-hal yang berbeda, X-Code memproduksi dokumentasi video, Broken Mirror Project menciptakan beberapa lukisan, semua karya-karya ini kemudian dipresentasikan di Kedai Kebun Forum. Salah satu yang paling mengagumkan menurut saya karya instalasi dari Jimmy Ong yang berjudul Talk to Her. Dengan bantuan Tamara, Ong menciptakan semacam ruang keluarga untuk makcik atau waria di teras Kedai Kebun. Setiap harinya, ada satu sampai dua makcik yang berkolaborasi dengan kami yang akan duduk di ruang keluarga tersebut untuk berbincang-bincang dengan tamu yang datang. Ceritanya makcik ini adalah pemilik ruang keluarga tersebut. Siapapun yang masuk ke dalam ruang keluarga akan menjadi tamu mereka. Dalam setiap pertemuan, baik si makcik maupun tamunya diberi kesempatan menanyakan setidaknya tiga pertanyaan selama 15 menit dan ngobrol-ngobrol. Proyek ini dilaksanakan bersmaan dengan Jogja Biennale di tahun 2013.
Sekarang, pertanyaan tentang residensi. Apa harapanmu dari program residensi ini?
Untuk melihat potensi-potensi yang bisa diaplikasikan di sini tentunya. Seperti bagaimana teknologi digunakan di sana dan kemudian saya akan mengeksplorasinya untuk disesuaikan dengan konteks lokal di Yogyakarta.
Kenapa kamu tertarik mengikuti program residensi ini?
Tentunya karena saya ingin belajar hal-hal baru. Di Lifepatch, saya belajar mengenai konteks-konteks lokal; sekarang, saya ingin lihat bagaimana kalau di Birmingham.
Menurutmu bagaimana dunia seni di Indonesia sekarang ini?
Kalau di Yogyakarta, saya melihat tumbuhnya ketertarikan lebih terhadap dunia seni. Ada banyak acara-acara seni budaya besar di Yogyakarta mulai dari ArtJog sampai dengan Jogja Biennale, dan ada banyak galeri dan acara seni di tempat-tempat yang dapat dijangkau anak muda juga.
Terakhir, menurutmu kenapa seni itu penting?
Saya selalu melihat seni sebagai bagian tidak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Setiap harinya, bahkan dalam aktivitias harian, kita itu sebenarnya sedang berkesenian, kita sedang dalam proses membuat sesuatu. Oleh karena itu, saya rasa seni dan kehidupan sehari-hari itu memang tidak bisa dipisahkan.