By Tim UK/Indonesia 2016-18

15 December 2017 - 16:09

Instalasi Nada Bumi di Digital Design Weekend 2017

Invisible Flock adalah studio seni interaktif dari Leeds yang kerap membuat karya di ruang publik dengan mengedepankan inovasi digital. Misi mereka adalah menciptakan dan menumbuhkan praktik seni kontemporer yang relevan serta memiliki efek transformatif jangka panjang.

Dalam beberapa pekan belakangan, Invisible Flock tengah berada di Indonesia—menjelajahi Jawa dan Flores—untuk sebuah karya kolaborasi bersama Digital Nativ, studio fabrikasi digital dan penghasil prototipe asal Jakarta yang mengadopsi teknologi sebagai medium.

Karya kolaboratif ini dinamakan Nada Bumi dan sudah dipamerkan pada 18 hingga 19 November lalu di Lawangwangi Creative Space, Bandung dalam rangka Digital Design Weekend: Bandung Remix.

Untuk lebih lanjut mengetahui soal Invisible Flock, proses kerja sama dengan Digital Nativ, Nada Bumi, hingga peleburan seni dan teknologi, kami berkesempatan mewawancarai Ben Eaton selaku Direktur Teknis dari studio seni interaktif ini.

Tentang Nada Bumi

“Ini adalah kolaborasi terbaru kami dengan Digital Nativ. Tahun lalu kami sempat bekerja sama, namun sifatnya lebih merespons; Digital Nativ merespons karya kami.

Sementara tahun ini, kolaborasi utuh, memulai sama-sama dari nol. Gagasan Nada Bumi adalah mengeksplorasi fenomena alam atau ekosistem yang unik di Indonesia, baik keragaman maupun jenis dari sifatnya yang ekstrem.

Jadi kami menghabiskan sepuluh hari menjelajahi sekitar dua belas lokasi berbeda di Jawa dan Flores. Dan di setiap lokasi, kami mengambil banyak suara, sampel fisik, tanah, batu, air, sejumlah foto, gambar, dan juga biodata menggunakan sensor dan sirkuit listrik untuk menangkap suara yang mungkin tidak bisa kita dengar—suara tak tertangkap yang diciptakan tanaman atau suara kecil yang berasal dari bawah bumi.

Kemudian kami mengumpulkan semuanya menjadi kolase besar, menghasilkan suara baru dan instalasi objek yang bisa dialami publik. Banyak hal yang kami ciptakan bertujuan untuk mencari benang merah antara buatan manusia, mekanik, juga alam dan mencari titik di mana ketiganya bisa bertemu. Karya ini banyak berbicara soal kerapuhan ekosistem-ekosistem itu, keindahan alam yang luar biasa namun rapuh di Indonesia, dan bagaimana campur tangan manusia terhadap hal itu. Jadi bisa dibilang kami berupaya menyatukan alam.”

Tentang pemilihan lanskap Indonesia sebagai pusat karya

“Saya pikir subjek paling penting di dunia saat ini adalah perubahan iklim. Jika kita tidak menemukan solusi atau memperlakukan perubahan iklim seperti orang dewasa, maka tidak ada hal lain yang lebih penting. Toh kita tidak akan ada untuk mengkhawatirkan hal lain.

Jadi Indonesia adalah tempat yang sangat menarik karena saya pikir semua hubungannya dengan lingkungan menyangkut politik dan uang, serta kerumitan-kerumitan yang menarik. Jadi kami mau melihat apa makna memiliki sebuah negara yang sangat beragam dan begitu luas, dan dalam banyak hal berada di garis depan perubahan iklim.

Ada bagian dari Indonesia yang sudah berada di bawah air, dan akan bertambah lagi. Jadi saya pikir ini adalah tentang bagaimana kita mulai menangani hal tersebut. Apa yang ingin kami lakukan lewat Nada Bumi adalah menyarankan dan melihat hubungan manusia dengan lingkungannya, dan bagaimana mereka berpartisipasi di dalamnya, dan merasakannya, dan bagaimana kami bisa menangkap, mewakili, dan kemudian mempertahankan lingkungan tersebut. Kami berupaya memulai perbincangan soal ini.”

Tentang penyajian Nada Bumi dalam pameran

“Kami membuat tabung dari akrilik. Ada lima tabung besar dan banyak tumbuhan, beberapa sudah dipasang dengan sensor jadi ketika orang menyentuhnya tabung-tabung tersebut akan bereaksi dan mengeluarkan suara. Setiap tabung tersebut mewakili satu ekosistem. Ada tabung yang mewakili Pink Beach, di mana warna pink pada airnya semakin memudar ketika orang mendekat.

Karena itulah yang terjadi di pantai tersebut; begitu banyak orang yang datang ke sana sehingga warna pink pada pasirnya meluntur. Lalu ada juga tabung yang mewakili Gunung Bromo di mana kami menaruh batu vulkanik asli dari sana. Ada abu vulkanik juga yang diletakkan di atas speaker.

Ketika Anda menyentuh batu vulkanik di tabung tersebut, speaker-nya akan mengeluarkan suara dan getaran yang menggoyangkan abu vulkanik hingga menciptakan pola-pola menarik yang meniru lanskap Bromo. Di bawahnya lagi, kami memasang lapisan abu, bebatuan, dan uap air guna meniru asap gunung berapi. Jadi bisa dibilang kami mewakili dan mewakil kembali ekosistem yang kami temukan, dan menciptakan interaksi.”

Tentang kolaborasi dengan Digital Nativ

“Kami memiliki pendekatan yang serupa terhadap berbagai hal. Kami memakili mentalitas yang sama, kami mudah akrab dengan orang, dan saya pikir itu sangat penting. Budaya bekerjanya saya rasa sedikit berbeda, tentu ada keterbatasan namun saya pikir itu hanya urusan menemukan struktur berbeda dan cara-cara berbeda dalam bekerja sama. Tapi saya pikir kebanyakan kolaborasi memang seperti itu. Kolaborasi adalah tentang mencari cara-cara berbeda dalam bekerja sama dengan orang lain.”

Tentang hubungan antara seni dan teknologi

“Saya pikir berbicara soal seni dan teknologi sebagai dua hal yang terpisah sudah tidak lagi masuk akal. Mustahil bila karya seni seseorang kini tidak melibatkan sesuatu yang dibuat dengan teknologi. Bahkan seorang pelukis pun menggunakan iPhone-nya untuk memotret atau mungkin menggunakan email untuk berkomunikasi.

Jadi seni dan teknologi tidak bisa dipisahkan. Namun kami sendiri tertarik kepada teknologi sebagai bagian dari medium yang kritis. Kami menggunakan teknologi untuk mencapai hal-hal yang memang hanya bisa dilakukan oleh teknologi, seperti pembacaan sensor pada tumbuhan atau karya suara digital atau gerak motor. Dan kami tertarik mendampingkan digital dengan alam, dan bagaimana persilangan tersebut mempengaruhi karya, dan kompleksitas mendiskusikan kerapuhan alam dan perubahan iklim melalui teknologi. Memiliki praktik kreatif yang digerakkan oleh teknologi, namun berupaya membuat karya ekologis adalah sesuatu yang sangat kami minati.”

Tautan untuk mengunduh booklet Nada Bumi