Invisible Flock adalah studio seni interaktif dari Leeds yang kerap membuat karya di ruang publik dengan mengedepankan inovasi digital. Misi mereka adalah menciptakan dan menumbuhkan praktik seni kontemporer yang relevan serta memiliki efek transformatif jangka panjang.
Dalam beberapa pekan belakangan, Invisible Flock tengah berada di Indonesia—menjelajahi Jawa dan Flores—untuk sebuah karya kolaborasi bersama Digital Nativ, studio fabrikasi digital dan penghasil prototipe asal Jakarta yang mengadopsi teknologi sebagai medium.
Karya kolaboratif ini dinamakan Nada Bumi dan sudah dipamerkan pada 18 hingga 19 November lalu di Lawangwangi Creative Space, Bandung dalam rangka Digital Design Weekend: Bandung Remix.
Untuk lebih lanjut mengetahui soal Invisible Flock, proses kerja sama dengan Digital Nativ, Nada Bumi, hingga peleburan seni dan teknologi, kami berkesempatan mewawancarai Ben Eaton selaku Direktur Teknis dari studio seni interaktif ini.
Tentang Nada Bumi
“Ini adalah kolaborasi terbaru kami dengan Digital Nativ. Tahun lalu kami sempat bekerja sama, namun sifatnya lebih merespons; Digital Nativ merespons karya kami.
Sementara tahun ini, kolaborasi utuh, memulai sama-sama dari nol. Gagasan Nada Bumi adalah mengeksplorasi fenomena alam atau ekosistem yang unik di Indonesia, baik keragaman maupun jenis dari sifatnya yang ekstrem.
Jadi kami menghabiskan sepuluh hari menjelajahi sekitar dua belas lokasi berbeda di Jawa dan Flores. Dan di setiap lokasi, kami mengambil banyak suara, sampel fisik, tanah, batu, air, sejumlah foto, gambar, dan juga biodata menggunakan sensor dan sirkuit listrik untuk menangkap suara yang mungkin tidak bisa kita dengar—suara tak tertangkap yang diciptakan tanaman atau suara kecil yang berasal dari bawah bumi.
Kemudian kami mengumpulkan semuanya menjadi kolase besar, menghasilkan suara baru dan instalasi objek yang bisa dialami publik. Banyak hal yang kami ciptakan bertujuan untuk mencari benang merah antara buatan manusia, mekanik, juga alam dan mencari titik di mana ketiganya bisa bertemu. Karya ini banyak berbicara soal kerapuhan ekosistem-ekosistem itu, keindahan alam yang luar biasa namun rapuh di Indonesia, dan bagaimana campur tangan manusia terhadap hal itu. Jadi bisa dibilang kami berupaya menyatukan alam.”
Tentang pemilihan lanskap Indonesia sebagai pusat karya
“Saya pikir subjek paling penting di dunia saat ini adalah perubahan iklim. Jika kita tidak menemukan solusi atau memperlakukan perubahan iklim seperti orang dewasa, maka tidak ada hal lain yang lebih penting. Toh kita tidak akan ada untuk mengkhawatirkan hal lain.
Jadi Indonesia adalah tempat yang sangat menarik karena saya pikir semua hubungannya dengan lingkungan menyangkut politik dan uang, serta kerumitan-kerumitan yang menarik. Jadi kami mau melihat apa makna memiliki sebuah negara yang sangat beragam dan begitu luas, dan dalam banyak hal berada di garis depan perubahan iklim.
Ada bagian dari Indonesia yang sudah berada di bawah air, dan akan bertambah lagi. Jadi saya pikir ini adalah tentang bagaimana kita mulai menangani hal tersebut. Apa yang ingin kami lakukan lewat Nada Bumi adalah menyarankan dan melihat hubungan manusia dengan lingkungannya, dan bagaimana mereka berpartisipasi di dalamnya, dan merasakannya, dan bagaimana kami bisa menangkap, mewakili, dan kemudian mempertahankan lingkungan tersebut. Kami berupaya memulai perbincangan soal ini.”