By Stanislaus Yangni, Penulis Lepas

03 August 2021 - 09:48

Lukisan "Fear of Hesitation" karya Vindy Ariella, berwarna monokrom/grayscale berisi guratan cat dan elemen cipratan.
Deskripsi gambar: Lukisan "Fear of Hesitation" karya Vindy Ariella, berwarna monokrom/grayscale berisi guratan cat dan elemen cipratan.  ©

Dok. oleh Vindy Ariella

Seni, atau painting, “Not to render the visible, but to render visible,” demikian ungkap Paul Klee. Seni tidak membuat atau mereproduksi sesuatu yang tampak di mata, melainkan “menghadirkan dirinya di hadapan kita,” mengetok, meminjam istilah  Sudjojono, pelukis Indonesia yang terkenal dengan kredo “Jiwa Ketok”nya. Seni bukan untuk membuat sesuatu jadi tampak, atau menghadirkan kembali sesuatu yang sudah tampak, tapi menyuguhkan (lewat medianya) sebuah kekuatan yang invisible pada kita, dan akhirnya menciptakan cara pandang baru bagi kita. Dan itu yang terjadi, salah satunya di lukisan Starry Starry Night karya Van Gogh. Yang hadir bukan langit berbintang di malam hari dengan lampu kafe yang kuning remang-remang di tepi jalan, tapi melalui warna, sapuan kuas, dan emosi Van Gogh, hadir semacam kekuatan tersembunyi malam ala Van Gogh. Kekuatan itu dihadirkan lewat cahaya yang begitu meriah dan terang, warna-warna yang energik. Sebuah kekelaman malam yang mewujud dalam bentuk lain, yang berbeda dengan malam-malam yang dilihat orang pada umumnya. 

Lukisan Starry Night itu yang mengurai jiwa Vindy Ariella menjadi sesuatu yang berbeda. Ia mengaku seperti terhipnotis. Momen perjumpaan dengan Starry Night itu membuat ia mulai berani melukis. Apalagi setelah ia tahu bahwa kehidupan Van Gogh itu didominasi problem psikis yang sangat tak mudah dijalani, hipersensitif, depresi, dengan kombinasi mood yang berubah-ubah, dan pernah didiagnosa bipolar disorder. Starry Night itu dilukis pada 1889 dari jendela rumah sakit Saint Remy, Prancis, di masa-masa akhir hidupnya, kemudian sejak 1941 lukisan itu menjadi koleksi MOMA di New York. 

Begitulah, Vindy mulai terdorong berkarya, dan sebagian besar karyanya dihasilkan ketika ia  sedang berada di saat moodnya berada dalam kutub depresi. Saat berada di situasi itulah energi kreatifnya seakan tak ada habisnya. Dia melukis dan membuat drawing. Karya-karyanya ekspresif dan sarat makna. Fear of Hesitation 2014, misalnya, menurut Vindy, salah satu pendiri Bipolar care Indonesia, “Saat itu aku lagi ada masalah dengan seseorang. Semacam difitnah gitu, hal itu bikin aku ketakutan, gelisah, dan jadi paranoid. Depresi juga. Semua rasa ga enak itu kutuangkan ke kanvas. Ini prosesnya kalau ga salah inget sekitar 2 jam, aku merasa kaya ga tau ruang dan waktu, mindful berkarya aja setelah selesai baru semacam ‘sadar’ lagi dan takjub dengan hasilnya, perasaan juga jadi lega banget.” 

Lukisan berjudul "Depressed Angel" karya Vindy Ariella. Dilukis dengan Marker pada bidang gambar berukuran A3. Gambar didominasi warna hitam dan putih. Di tengah gambar ada sosok malaikat sedang duduk membungkuk di lantai, di atas sosok tersebut ada aksen menyerupai rintik hujan berwarna merah. Di depan dan belakang sosok malaikat ada orang-orang yang terlihat menunjuk-nunjuk dan mencemooh malaikat tersebut.
Deskripsi gambar: Lukisan berjudul "Depressed Angel" karya Vindy Ariella. Dilukis dengan Marker pada bidang gambar berukuran A3. Gambar didominasi warna hitam dan putih. Di tengah gambar ada sosok malaikat sedang duduk membungkuk di lantai, di atas sosok tersebut ada aksen menyerupai rintik hujan berwarna merah. Di depan dan belakang sosok malaikat ada orang-orang yang terlihat menunjuk-nunjuk dan mencemooh malaikat tersebut.  ©

Dok. oleh Vindy Ariella

Lukisan Death Angel karya Vindy Ariella, bernuansa hitam putih tampak seperti potongan batik bercorak, dan di tengahnya ada sosok orang yang tangannya sedang disentuh oleh malaikat.
Deskripsi gambar: Lukisan Death Angel karya Vindy Ariella, bernuansa hitam putih tampak seperti potongan batik bercorak, dan di tengahnya ada sosok orang yang tangannya sedang disentuh oleh malaikat. ©

Dok. oleh Vindy Ariella

“Kebanyakan karyaku lebih ke ekspresi diri. Niatnya memang untuk mengungkapkan yang lagi kurasa dan kupikirkan,” imbuhnya. Ekspresi ini tidak hanya hadir lewat drawing-drawing Vindy yang naratif-ilustratif, tapi juga di paintingnya yang cenderung abstrak. Dalam drawing tergambar cukup jelas figur dan cukup bisa dibaca maknanya, misalnya Manic-Depressive menggambarkan dua fase dalam kehidupan seorang bipolar, No Growth in Comfort Zone, seperti sebentuk kesadaran dan pengatasan diri. Sad and Alone, hasil dari perasaan sedihnya melihat kehidupan. Drawing lain, Death Angel, yang juga hitam putih tampak seperti potongan batik bercorak, dan di tengahnya ada sosok orang yang tangannya sedang disentuh oleh malaikat. “Ini bercerita tentang aku yang lagi mau dijemput malaikat,” katanya. Dan itu lahir dari perasaan ingin bunuh diri saat berada di fase depresif. Fase itu yang menurut Vindy membuat dia lebih produktif dibanding fase “stabil.” Rasa-rasa ingin bunuh diri, rasa-rasa bersalah, rasa-rasa jatuh, jauh, sendirian, kosong, dan lainnya - semua itu baginya merupakan energi besar yang bisa mendorongnya berkarya. 

Karya painting abstrak Vindy lahir dari ekspresi spontannya.. Di sana ada efek-efek ruang, bidang-bidang tumpang tindih, dan cipratan cat yang sarat spontanitas.”Aku paling suka proses saat bikin cipratan, karena hasilnya gak bisa diduga dan aku belajar ikhlas dari sana. Pas cipratinnya juga ada kepuasan tersendiri. Seperti ada release emosi dan energi,” ujarnya.  Lukisan abstrak bagi Vindy menjadi sebentuk ekspresi yang lebih bisa dicapai dalam waktu singkat. Ia semacam jadi media ledakan berbagai perasaan. 

“Prinsip berkaryaku flow energinya harus selesai dalam satu waktu sesuai apa yang kurasa di jiwaku. Dengan gambar ilustrasi naratif di kertas, pas banget itu ukurannya dengan kesanggupan aku menghabiskan energi untuk bikin gambar mendetail, rapih, dan berobjek. Saat melukis di kanvas yang besar, konsepnya sama. Mesti selesai dalam satu waktu juga. Makanya kalau melukis objek mendetail seperti yg di kertas jadi sulit atur energinya. Kalau abstrak lebih bebas dan ekspresif tanpa aku mikir objek, makna, dll. Jadi pas buat kalau lagi mood jelek yang seringkali ga ada sebab.”

Kalau di karya drawing, aliran energi Vindy lebih lambat, karena itu kurang cocok untuk mencurahkan emosi yang meledak-ledak, sedangkan di painting dia lebih bebas dan ekspresif. Kalau di drawing, Vindy seakan memiliki sosok, figur yang bercerita, di painting ia lebur dengan gerakan dan nafasnya sendiri. 

Proses berkarya demikian lah yang agaknya menarik Vindy, yang juga mengagumi karya Yayoi Kusuma dan Atreya Moniaga ini keluar dari dirinya dan mampu mengatasi diri. Dalam proses berkarya itulah Vindy bisa merasakan energinya sendiri, tekanannya, tegangannya, tarik ulurnya, kendalinya, kapan berhenti dan kapan harus mulai.

Dan begitulah, seni akhirnya menjadi jalan bagi Vindy, dan mungkin kita semua, mengalami, mengamini, dan mengatasi diri. 

Stanislaus Yangni