©

Screen captured from Webinar

British Council melalui Developing Inclusive Creative Economy (DICE) bekerja sama dengan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jawa Barat serta Komite Ekonomi Kreatif dan Inovasi (KREASI) Jawa Barat dalam menyelenggarakan webinar berjudul “Hubs Supporting Local Communities & Social Impact”. Webinar ini mengundang Catherine Rogers (Haarlem Artspace, Inggris), Camille Albarracin (Everything Green, Filipina) dan Gesyada Siregar (Gudskul, Indonesia) untuk menceritakan upaya creative hub mereka dalam menciptakan ekosistem kreatif yang inklusif dan berdampak sosial.

Panelis pertama adalah Catherine Rogers, co-director dari sebuah ruang kreatif Haarlem Artspace di Wirksworth, Derbyshire, Inggris. Wirksworth merupakan sebuah daerah rural bersejarah yang dulunya merupakan pusat penambangan timah. Haarlem Artspace sendiri menempati sebuah bangunan bekas pabrik bertenaga batu bara yang dibangun pada 1777. Dalam menanggapi konteks rural ini, Haarlem Artspace menggadang ‘rural contemporary art’ melalui program yang mencakup pameran, residensi, lokakarya, hingga publikasi.

Haarlem Artspace terbentuk sebagai sebuah perusahaan pada 2017. Ruang ini membuka kesempatan bagi seniman, pelaku industri kreatif, kurator, hingga pekerja seni untuk bertemu, berbagi, dan berkolaborasi. Sebagai anggota pengembangan ekonomi lokal di Leicestershire County Council, Catherine kerap melihat bidang kesenian dan industri kreatif sebagai dua bidang yang terpisah.

“Salah satu alasan Haarlem Artspace sukses adalah kami menyambut semua orang yang bekerja di industri kreatif, seniman, dan pekerja budaya. Kami melihat inovasi dan ide kreatif yang dibawa seniman setara dengan inovasi dan percikan kreatif dari pekerja industri kreatif. Bersama – sama, hal ini benar-benar berdampak secara sosial,” kata Catherine.

Salah satu program Haarlem Artspace yang tergabung dalam DICE adalah proyek kerja sama dengan Instituto Procomum, sebuah creative hub dari Santos, Brasil. Proyek yang sudah berjalan selama dua tahun ini mengundang seniman kulit hitam, seniman perempuan, hingga seniman komunitas LGBTQ, untuk menjalankan residensi di Haarlem dengan kolektivisme sebagai nilai utamanya. Ketimbang kerja-kerja individual, residensi ini lebih mengutamakan dialog antar seniman serta kerja bersama dalam studio.

Salah satu inisiatif terakhir Haarlem Artspace yang berkaitan dengan gerakan Black Lives Matter adalah Haarlem Manifesto. “Manifesto di situs web kami telah membawa perubahan luar biasa terhadap apa yang kami yakini,” tanggap Catherine, “Merayakan keragaman, menghormati perbedaan, serta memberikan kesetaraan dan peluang adalah hal yang penting bagi kami.”

Panelis kedua adalah Camille Albarracin, founder dari sebuah eco-social enterprise Everything Green. Camille telah berkecimpung di industri perhotelan dan pariwisataselama lima belas tahun. Boracay, daerah tempatnya bekerja, merupakan salah satu kawasan turis yang paling sering dikunjungi di Filipina. Camille memiliki kekhawatiran pada jumlah sampah yang diproduksi oleh hotel-hotel beserta pengunjungnya, terutama sandal hotel. Sebelum pandemi COVID-19, tercatat 5,700 Ton Metrik sampah hotel di Filipina setiap bulannya, dengan 4,8 juta pasang sandal hotel termasuk di dalamnya. Dari sini, muncul ide mengenai Green-ne-Las, sebuah produk sandal alternatif yang terbuat dari limbah pertanian.

Everything Green mempekerjakan artisan dari suku Kabihug, sebuah kelompok minoritas dari Camarines Norte, Bicol. Mereka menggunakan bahan lokal abacá, atau dikenal dengan Manila hemp, untuk menciptakan sandal alternatif tersebut. Everything Green kemudian mengedukasi dan mempekerjakan kaum perempuan serta penyandang disabilitas bersamaan dengan meningkatnya permintaan produk dari hotel-hotel setempat. “Kami ingin menciptakan lingkungan inklusif sehingga semua anggota masyarakat dapat menjadi produktif,” tutur Camille.

Di tahun pertamanya, Everything Green menjual 12,000 pasang sandal, mengurangi 1,140 kilogram limbah, dan mendukung kehidupan 63 keluarga dari 3 kelompok masyarakat. Menyiasati pandemi yang memberi dampak besar bagi industri perhotelan dan pariwisata, Everything Green menciptakan produk seperti tas dan sepatu yang juga terbuat dari limbah pertanian dan bekerja sama dengan seniman-seniman penyandang disabilitas.

Camille menyorot pentingnya co-creation, co-design, kolaborasi, serta pengembangan kapasitasmasyarakat setempat dan kelompok marjinal. “Kami ingin memberi value,” menurut Camille, “Sehingga mereka dapat memahami bahwa dengan menjadi bagian dari proyek ini mereka sesungguhnya menjadi bagian dari value chain.”

©

Screen captured from Webinar

©

Screen captured from Webinar

Panelis ketiga adalah Gesyada Siregar, salah satu subject coordinator di sebuah ekosistem seni Gudskul di Jagakarsa, Jakarta Selatan. Gudskul resmi dibentuk pada 2018 oleh tiga kolektifasal Jakarta, yaitu ruangrupa (2000), Serrum (2006) dan Grafis Huru Hara (2012). Sejak 2015, para kolektif menciptakan ekosistem bersama dengan menyatukan divisi, program, proyek, dan gagasan masing-masing ke dalam satu ruang. Setelah menempati ruang baru di Jagakarsa, Gudskul menggagas model artistik dan bisnis baru berupa ‘sekolah’ yang diperuntukkan bagi kolektif seni.

Gudskul memiliki dua program utama, yaitu ‘Studi Kolektif dan Ekosistem Seni Rupa Kontemporer’ selama satu tahun, dan ‘Short Course’ selama dua bulan dengan 25 pilihan subjek, dari kritik seni hingga fashion branding. Sebelum pandemi COVID-19, tercatat kurang lebih seratus orang yang bekerja dan beraktivitas di Gudskul, dari tim manajemen, seniman, kurator, penulis, hingga pelaku kreatif lain. Sejak pandemi merebak dan semua kegiatan pindah ke ruang daring, Gudskul dapat menjangkau 22 kolektif dari Sumatra hingga Nusa Tenggara untuk program Studi Kolektif.

Gudskul menggagas konsep ‘Lumbung’ untuk menciptakan ruang dan gagasan yang berkelanjutan. ‘Lumbung’ mensinergikan surplus dan defisit dari setiap divisi, baik berupa ekonomi, pengetahuan dan jejaring, untuk ditampung ke dalam satu ruang yang dapat digunakan bersama. Secara tradisional, lumbung merupakan bangunan tempat menyimpan hasil pertanian, umumnya padi, dalam sebuah rumah panggung dalam wilayah masyarakat.

Nongkrong merupakan bagian dari keseharian Gudskul. “Berkolektif adalah suatu proses yang cair,” menurut Gesyada, “Maka dari itu selalu tidak apa-apa kalau ada keberantakan dan ketidakteraturan.” Gagasan ini muncul karena Gudskul menampung orang-orang dengan karakter dan latar belakang yang beragam. Hal ini juga terkait dengan konsep Gudskul sebagai ‘sekolah’ yang mempersilakan setiap orang untuk gagal dan mencoba lagi dalam ritme kerjanya masing-masing.

Terdapat pertanyaan mengenai cara hub mencatat dan mengevaluasi dampak sosial, terutama karena hub harus akuntabel terhadap stakeholder, pendonor atau jaringan lainnya. Catherine menganggap bahwa ada pencatatan dampak jangka pendek, seperti laporan kuantitatif, serta jangka panjang, yaitu dengan menjaga hubungan baik dengan seniman kolaborator. Camille pun setuju dengan pencatatan kuantitatif dan kualitatif, sertamenekankan meningkatnya produktivitas serta kepiawaian para artisan dalam menghasilkan produk. Sedangkan Gesyada menekankan pentingnya kepedulian, semangat serta nongkrong sebagai bagian dari proses belajar.