By Nabila May Sweetha, Penulis

06 Oktober 2021 - 16:24

Foto setengah badan, Rama Aditia Adikara, sedang tersenyum sambil menunjukkan sebuah buku berjudul "Cukup Gue Aja".
Deskripsi gambar: Foto setengah badan, Rama Aditia Adikara, sedang tersenyum sambil menunjukkan sebuah buku berjudul "Cukup Gue Aja". ©

Dokumentasi Rama Aditia Adikara

Rama Aditia Adikara adalah seorang penulis fiksi dan fantasi yang memulai karier menulisnya dengan novel. Dia adalah difabel netra total, sama sekali tidak bisa melihat, dan telah menulis beberapa judul buku. Ia terus menulis karya, salah satu yang sangat terkenal di kalangan difabel netra dan dijadikan penyemangat dalam melanjutkan sekolah adalah novel yang berjudul Mata Kedua. Tidak bisa dipungkiri bahwa novel-novel fiksi Rama amat terkenal di dunia difabelnetra. Novel fiksi Rama semakin memiliki banyak penggemar lagi ketika Mitra Netra, sebuah lembaga mitra difabel netra membuat versi audio book dari novel-novel fiksinya. Rama pun tidak pelit membagikan novel-novelnya yang sudah diterbitkan penerbit kepada para juniornya yang juga merupakan difabel netra.

Sampai sekarang, lelaki yang sudah berkeluarga ini masih produktif menulis. Sebagai seniman netra, Rama memang kerab mendapat halangan dari masyarakat. Namun alih-alih melawan stigma negatif yang datang padanya, Rama lebih memilih untuk memberi penjelasan kepada masyarakat.

“Karena jika bukan kita yang memberi edukasi tentang difabel ke masyarakat, siapa lagi?” kata Rama saat diwawancarai (Kamis/10/06/21).

Lebih lanjut, Rama menjelaskan bahwa ia sepenuhnya menerima keadaannya. Dia malah merasa gembira serta optimis menulis, terus berkarya, meski sesekali stigma negatif dari masyarakat masih membayangi dia. Bagi Rama antara difabel dan non difabel dalam dunia tulis menulis tidak ada bedanya sama sekali. Apalagi di masa sekarang, saat internet memudahkan banyak hal dalam berkarya. Mengirim, menyunting, bahkan mengedit karya tulis bisa dilakukan difabel di rumah sendiri.

“Jangankan difabel dan non difabel, orang berwatak baik dan yang berwatak buruk saja tidak bisa lagi dibedakan sekarang,” ucap Rama dalam kesempatan yang sama.

 

Sampul buku berjudul "Berdamai dengan Kegelapan" karya Ramaditya Adikara menggambarkan siluet seorang laki-laki sedang berjalan dengan menggunakan tongkat penuntun.
Deskripsi gambar: Sampul buku berjudul "Berdamai dengan Kegelapan" karya Ramaditya Adikara menggambarkan siluet seorang laki-laki sedang berjalan dengan menggunakan tongkat penuntun. ©

Dokumentasi Ramaditya Adikara

Sampul buku berjudul "Dua Dua Genap" dengan ilustrasi bergaya kartun berisi tiga orang siswa perempuan dan dua orang siswa laki-laki memakai baju seragam sekolah.
Deskripsi gambar: Sampul buku berjudul "Dua Dua Genap" dengan ilustrasi bergaya kartun berisi tiga orang siswa perempuan dan dua orang siswa laki-laki memakai baju seragam sekolah.  ©

Dokumentasi Ramaditya Adikara

Tidak ada perbedaan antara karya difabel dan karya non difabel, itu yang ingin ditegaskan oleh penulis sekaligus pencipta tokoh Wahita ini. Bagi dia peluang difabel dalam menjadi seniman sama saja dengan peluang yang dimiliki orang pada umumnya.

“Saya rasa dengan keadaan saya yang begini (tunanetra), saya malah menjadi ladang karya dan imajinasi. Karena saya terus-menerus berpikir bagaimana saya bisa menjadi cahaya untuk orang lain.”

Seperti seniman difabel lain, tentu ia pun mendapat beberapa kendala dan halangan dalam berkarya. Stigma negatif dari masyarakat, kritik menjatuhkan, hingga sepinya peminat tulisan dia di beberapa media sosial tidak lantas membuat ia berhenti berkarya. Hanya tiga yang ia percayai dan itu sanggup menuntunnya tetap berkarya. Dia menyukai gendre tulisannya, dia menguasai apa yang dia tulis, dan dia mendapat pasar tempat dia akan menjual tulisan-tulisannya.

Kebanyakan difabel tumbuh dengan perasaan-perasaan tertekan dan ketidak percayaan diri, yang membuat mereka malah menyerah. Apalagi ditambah dengan keluarga yang tidak mendukung, lingkungan yang memberi stigma, hingga faktor-faktor lainnya. Tapi Rama berbeda, ia berusaha eksis di masyarakat dan memberi edukasi ke masyarakat. Tetap berkarya, menganggap dirinya setara, dan terus berusaha menjadi ladang imajinasi untuk buku-bukunya.

Karena ketika seseorang menjadi seniman, yang dilihat dari dirinya adalah sebagus apa karya yang dia hasilkan. Bukan siapa dia.