By Ika Yuniati, Jurnalis, Harian Solopos

02 August 2021 - 17:55

Foto panggung pertunjukan, dengan latar belakang plang bertuliskan "Aula Panti Wredha, Bandung Lautan Api" dan di depannya berdiri lima orang aktor sebagian mengenakan sarung, sebagian mengenakan celana training dan celana batik. Satu orang di bagian depan mengenakan topi berwarna kuning dan bersandar pada tongkat di satu tangan. Satu orang di belakang memegang bendera merah putih.
Deskripsi gambar: Foto panggung pertunjukan, dengan latar belakang plang bertuliskan "Aula Panti Wredha, Bandung Lautan Api" dan di depannya berdiri lima orang aktor sebagian mengenakan sarung, sebagian mengenakan celana training dan celana batik. Satu orang di bagian depan mengenakan topi berwarna kuning dan bersandar pada tongkat di satu tangan. Satu orang di belakang memegang bendera merah putih.  ©

Dok. oleh Sukri Budi Dharma

Nama Sukri Budi Dharma tentu tak asing bagi para pegiat seni di Yogyakarta. Pria penghobi menggambar ini akrab disapa Butong. Butong adalah akronim dari Budi Tongkat yang merujuk pada keseharian menggunakan tongkat untuk membantu aktivitasnya sebagai difabel daksa sejak lahir. Meski hidup di lingkungan keluarga tentara, Butong sangat lekat dan akrab dengan dunia seni sejak kecil. 

Butong merasa dunia seni membawanya pada kedamaian, melukis buatnya lebih rileks. Ia ingat betul gambar pertamanya adalah pohon ringin di depan rumah. Saat Sekolah Dasar (SD) sering diikutkan lomba menggambar. Hal itu semakin membuatnya tertantang menggarap obyek baru. Kemampuannya semakin terasah memasuki jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA). Karyanya sering diapresiasi oleh rekan-rekan maupun tetangganya di sekitar rumah. Dia sering diajak kolaborasi saat ada lomba pentas teater. “Jadi tiap ada acara pentas teater saya diminta menghias panggung di belakangnya,” kenang Butong saat berbincang dengan Solopos melalui saluran telepon, Minggu (13/6/2021). 

Tak hanya seni rupa, Butong kecil, juga senang menyanyi, main teater, dan belajar musik. Ia juga heran karena keluarganya hampir tak ada yang berdarah seni. Hobinya lalu dilanjutkan di jenjang pendidikan tinggi dengan masuk kuliah jurusan Seni Rupa di Institut Kesenian Jakarta (IKJ) meski tak pernah selesai. Setelah melalui naik turun kehidupan, Butong yang sempat kuliah lagi dan menyelesaikan Sarjana Psikologi ini akhirnya kembali ke jalur seni. Seni Lukis khususnya, seolah telah membersamai perjalanan hidupnya sampai hari ini. 

Komunitas Difabel

Tak berlebihan jika akhirnya ia ingin menularkan semangat berkesenian pada masyarakat luas, khususnya difabel. Berdasarkan pengalamannnya, seni menjadi medium paling tepat untuk menjembatani pertemuan para difabel dengan masyarakat luas. Hubungan keduanya yang selama ini seolah banyak sekat bisa lebih cair dengan pendekatan seni. Baik seni lukis, musik, atau lainnya. 

Pada 2009 lalu saat masih bekerja di bidang chargo, Butong, bertekad membuat komunitas inklusi dengan nama Difabel and Friends Community. Sesuai misi awal, komunitas bermarkas di Sewon, Bantul, tersebut dibuat sebagai ruang aktualisasi diri para anggotanya. Selebihnya dijadikan sebagai jembatan yang mempertemukan mereka dengan masyarakat. Pekerjaan mereka beragam, mulai dari tukang pijat, penyanyi, penerjemah, atau musikus Netra. Namun ada juga yang menjadikan komunitas tersebut sebagai ruang belajar dan mengembangkan minat kesenian. “Karena gini, teman-teman disabilitas sebenarnya masalahnya ada pada diri sendiri. Kepercayaan diri, pemahaman tentang dirinya agak kurang, maka kami saling support. Kami menciptakan dialog dan kepercayaan diri itu dari medium seni. Dan akhirnya memang lebih mudah diterima. Enggak harus punya bakat seni, karena seni hanya kami jadikan sebagai ruang pertemuan antara mereka dengan non inklusi,” terangnya. 

Butong kemudian bercerita soal keberhasilannya menciptakan kehangatan antar anggotanya dengan masyarakat luas. Misalnya dia pernah membuat acara menggambar bersama di sekitar markas dengan melibatkan masyarakat sekitar. Melalui acara tersebut anggotanya jadi lebih luwes berinteraksi dengan warga yang notabene non-inklusi. Sebaliknya, warga juga lebih memahami dan menerima keberadaan anggotanya. 

Pada sejumlah kesempatan, Butong, juga kerap mengajak anggotanya gelar pentas di ruang publik. Misalnya pentas teater di Stasiun Tugu, saat pameran di Bantul, atau pusat keramaian lain. Melalui program tersebut, Butong, ingin menunjukkan eksistensi para anggotanya. Sekaligus membangun kesadaran masyarakat luas. Tak sekadar pentas atau membuat lukisan, ia selalu ingin memberikan yang terbaik di setiap kesempatan. Karya mereka bahkan diapresiasi dan mampu bersaing dengan banyak pihak. Misalnya mendapat penghargaan sebagai Komunitas Teater Inklusi, masuk 10 besar pencipta lagu tingkat regional Yogyakarta, serta Juara 1 dan 3 pembuatan mural tingkat nasional dengan tema pemberantasan korupsi. “Misalnya dalam acara Pawiyatan, menggambar dengan mengundang warga sekitar. Kami menjembatani dan memberikan pemahaman bahwa kita memang ada perbedaannya, tapi dalam kegiatan itu kan tujuan kita sama yakni menggambar. Kami membangun kesadaran melalui hal-hal kecil tersebut,” terangnya

Penting Berjejaring 

Mimpi Butong menghidupkan ruang kesenian yang luas dan setara terus berlanjut hingga pengakuan secara birokrasi dari pemerintah. Komunitasnya kini telah berubah menjadi Yayasan Jogja Disability Arts (DJA) dan mengantongi nomor induk kesenian (NIK) Dinas Kebudayaan Bantul. Menariknya, jejaring Butong kian meluas dengan adanya DJA di kota-kota lain. Anggotanya menyebar di berbagai wilayah misalnya Madiun, Bali, Bengkulu, Sulawesi, dan lainnya. Mereka kerap menggelar event kolaborasi dengan difabel kota-kota lain yang memiliki visi misi serupa. Pada masa sekarang ini acara dan pamerannya kerap diadakan secara virtual dengan melibatkan banyak peserta. 

Jejaring yang luas ini justru membuatnya bisa lebih mudah dalam menyebarkan visi dan misi baiknya.  Tujuannya agar para anggota DJA bisa saling mengaktualisasikan diri di tengah masyarakat. Dengan begitu harapan soal ramah inklusi segera terwujud karena masyarakat dan pemerintah semakin aware. Butong membuktikan bahwa dengan banyaknya kegiatan bersama masyarakat, desa tempatnya tinggal yakni Panggungharjo, Bantul, lebih terbuka dengan mereka. Bahkan kegiatan DJA telah masuk sebagai bagian dari program pemerintah desa. Mereka juga kerap diajak diskusi dan mengisi acara di desa tersebut. “Ya itu cara kami mensosialisasikan soal disabilitas melalui dunia seni. “Kalau yang lain memperjuangkan isu disabilitas lewat teriak-teriak soal undang-undang. Kami melakukannya lewat kesenian, karena seni ini sangat universal. Selama ini kalau bicara soal aksesibilitas disabilitas seolah saling menyalahkan, maka saya putuskan kami dulu yang bergerak untuk membangun kesadaran itu,” tambahnya. 

Melalui DJA, Butong, juga ingin menyampaikan kepada pemerintah tentang pentingnya ruang apresiasi seni untuk disabilitas. Ia mengatakan kalau ada atlet untuk disabilitas, penghargaan serupa juga harusnya ada di bidang kesenian dan budaya. Sementara selama ini ia merasa perhatian pemerintah masih sangat kurang. “Justru dukungan penuh malah datang dari pemerintah desa di wilayah saya [Panggungharjo, Sewon, Bantul],” tukasnya. Ika Yuniati