By Rosy Dewi Arianti, Jurnalis

02 August 2021 - 18:15

Foto Christianto Harsadi sedang memotret dengan kamera, pada lokasi berlatar belakang pepohonan.
Deskripsi Gambar: Foto Christianto Harsadi sedang memotret dengan kamera, pada lokasi berlatar belakang pepohonan.  ©

Dok. oleh Christianto Harsadi

Sebuah kamera analog dan kamera saku digital menjadi bekal Christianto Harsadi mengikuti study tour pada 2008. Laki-laki yang akrab disapa Anto ini, masih kelas 3 SMP saat itu.

Teman-teman satu sekolahnya meminta Anto untuk mengambil gambar. Agar Anto masuk dalam foto berkelompok tersebut, ia bergantian mengambil foto bersama seorang temannya. Hasilnya, mereka berpendapat bahwa foto Anto kurang bagus.

"Mereka bilang hasil foto pertama saya kurang bagus dibandingkan dengan hasil foto kedua dari teman itu. Di situ saya bertekad membuat hasil foto bagus," kisah Anto.

Perkataan teman-temannya mengusik Anto dan membuatnya semakin ingin belajar memotret. Kejadian tersebut juga sekaligus menjadi momen pertama Anto mengenal fotografi. Ia ingin menghasilkan jepretan yang lebih bagus.

Anto semakin serius menggeluti fotografi. Pada 2013, ia menjadi mahasiswa di Universitas Dian Nuswantoro Semarang, jurusan Desain Komunikasi Visual. Ia pun mengikuti kelas fotografi yang diadakan di kampusnya.

"Saya mulai membeli kamera DSLR impian saya dan mulai menekuni dunia fotografi sampai sekarang," kata Anto.

Semasa kuliah, ia menggunakan kamera Canon 1100D. Ia berharap bisa menjadi fotografer profesional berbekal kamera DSLR itu.

Anton terus belajar, sampai pada 2016, ia mengikuti Photo Face-Off, sebuah kompetisi fotografi se-Asia antara fotografer amatir dan fotografer profesional. Ini merupakan program yang diselenggarakan oleh History Channel. Anton mengikuti Photo Face-Off musim ketiga di tahun tersebut.

Kompetisi ini menantang fotografer amatir melawan fotografer profesional. Untuk menentukan pemenangnya, peserta harus mengerjakan 15 tantangan yang terbagi dalam tiga babak.

Photo Face-Off musim ketiga diikuti total 13 fotografer amatir yang berasal dari beberapa negara di Asia antara lain Malaysia, Singapura, Thailand, Vietnam, dan Indonesia.

Anto pun ingin membuktikan bahwa kemampuan memotretnya tak kalah dengan fotografer profesional top dunia.

Kompetisi ini jadi momen berkesan baginya. Anton seorang tuli. Ia menjadi peserta disabilitas pertama dan satu-satunya di program Photo Face-Off.

"Saya dipilih sebagai kontestan disabilitas pertama dan satu-satunya dalam sejarah," ujar Anton.

Salah satu hasil jepretannya adalah foto seekor burung di rerumputan. Ia mengambil ruang sebelah kiri untuk gambar seekor burung berwarna coklat, sedangkan sisaanya nampak rerumputan berwarna hijau segar.

Momen itu ia abadikan saat sedang berjalan menuju Plaza Senayan, Jakarta. Di sisi pedestrian terdapat tanaman dan rerumputan. Saat itu, burung-burung pipit sedang berada di atas tanaman itu.

“Saya langsung memotret dari jarak jauh dengan menggunakan lensa tele,” terang Anton.

 

Foto Christianto Harsadi dari samping, sedang memotret dengan kamera. Ia memakai rompi berwarna hijau spotlight dan berdiri di depan backdrop berwarna ungu.
Deskripsi gambar: Foto Christianto Harsadi dari samping, sedang memotret dengan kamera. Ia memakai rompi berwarna hijau spotlight dan berdiri di depan backdrop berwarna ungu. ©

Dok. oleh Christianto Harsadi

Selain kompetisi, Anton juga sempat bertugas sebagai official photographer Asian Para Games 2018 bersama tim fotografer tuli yang terdiri dari 5 orang.

Asian Para Games 2018 adalah sebuah event olahraga se-Asia yang saat itu Indonesia ditunjuk sebagai tuan rumah. 

“Saya mengambil kesempatan sebagai bagian dari fotografer Asian Para Games sekali seumur hidup. Momen langka sekali dan sangat berkesan,” kata dia.

Sehari-hari, Anton sibuk memotret dan mengedit foto. Ia juga suka jalan-jalan dan memotret tempat-tempat dan objek yang menurutnya menarik.

Saat ini, Anto memutuskan untuk pergi dari tempat kelahirannya di Semarang, dan tinggal di Jakarta. Sebagai fotografer lepas, ia juga membuka jasa dokumentasi acara, pra-pernikahan, pernikahan, produk, dan portrait. Genre foto yang ia pilih pun bergantung menyesuaikan pengalaman dan kemampuan yang ia miliki.

Namun, karirnya tak selalu mulus. Pandemi Covid-19 membuat permintaan menurun. Acara-acara dan pekerjaan dibatalkan. Jika dalam sebulan Anto biasa mendapat 1-2 tawaran kerja, saat pandemi ia sempat tak mendapat order sama sekali.

“Pandemi sangat berdampak bagi para fotografer. Saya sudah banyak mendengar kabar mereka, saya pun juga mengalami sendiri,” kisah Anton.

Indonesia ada di urutan ke-18 dengan kasus infeksi Covid-19 terbanyak di dunia. Pemerintah menerapkan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) berskala mikro selama berbulan-bulan. Salah satu aturannya, membatasi kegiatan seni, sosial, dan budaya yang dapat menimbulkan kerumunan.

Selain pandemi, tantangan yang kini dihadapinya dalam dunia fotografi adalah persaingan konten digital. Kini semua orang bisa menjadi fotografer, hanya dengan bermodalkan kamera ponsel.

Tantangan semakin besar ketika media sosial menimbulkan ketimpangan sendiri. Influencer dengan ratusan juta followers memiliki rate card yang fantastis, sementara penulis konten, copywriter, desainer, dan fotografer tak jarang memiliki upah yang minim.

“Secara umum, tantangan bagi fotografer profesional terhadap pengguna hp itu berbeda-beda menurut genrenya. Tapi kembali lagi kemampuan fotografi dan kebutuhan konten itu beda-beda pada individu masing-masing,” kata Anto.

Ia mencontohkan memotret suatu makanan dengan ponsel. Orang awan akan langsung memotretnya saja asal bagus baginya. Namun dalam dunia fotografi profesional, ada teknis pengambilan foto makanan dan pesan yang akan disampaikan dari setiap foto.

Di sisi lain, konten digital yang ada di media sosial saat ini tidak semuanya ramah untuk disabilitas. Termasuk konten-konten foto. Sangat sedikit konten foto yang menyediakan deskripsi bagi difabel netra.

“Kalau gambar seperti desain, foto, lukisan dan lain-lain di media sosial apakah difabel netra bisa tahu deskripsi gambar? tentu tidak bisa karena masalah fitur di gawai yang dimilikinya,” jelas dia.

Kesulitan juga dialami oleh Anton sendiri. Ia mengatakan, tidak semua konten bisa dinikmati kalangan tuli.

“Untuk kalangan tuli sendiri contohnya video konten yang walau sudah tersedia akses subtitle tetapi tidak semua video ada akses itu,” imbuh Anto.

Di zaman kecanggihan teknologi seperti sekarang, akses terhadap konten digital adalah hak semua orang. Maka, membuat karya yang bisa diakses semua orang merupakan tersendiri bagi dunia digital.