By Shakia Stewart, Manajer Konten Digital, British Council

24 November 2016 - 16:14

A participant wearing a virtual reality headset
"Saya senang sekali bisa bertemu pengunjung-pengunjung baru. Sangat seru rasanya bisa ada di suatu tempat yang asing, di dalam kafe, di tengah Jakarta, di mana kebanyakan orang yang mencoba proyek ini tidak tahu apa yang akan mereka lihat melalui pengalaman ini."

Minggu lalu Jakarta menjadi tuan rumah dari Digital Design Weekend pertama di Indonesia sebagai rangkaian dari UK/ID Festival 2016. Acara ini sendiri merupakan modifikasi dari acara tahunan yang diadakan di Museum V&A (Victoria&Albert) di London. Di antara lokakarya kreatif pojok kardus bersama Kiswinar, pameran karya pendeteksi hantu sampai dengan demonstrasi 8-bit snyth, seniman dan storyteller Jane Gauntlett mempertunjukkan karya interaktif terbaru-nya, In My Shoes: Dancing with Myself. 

In My Shoes: Dancing with Myself adalah bagian dari kumpulan karya-karya interaktif berdasarkan pengalaman nyata yang tengah dikerjakan oleh Jane Gauntlett dan masih berlanjut hingga sekarang. Melalui karya ini, pengunjung diajak untuk langsung masuk ke dalam isi kepala dari sang seniman, Jane Gauntlett, yang menceritakan pengalamannya bertemu seorang teman untuk makan siang. Teknologi realitas virtual digunakan di dalam karya ini agar pengunjung dapat merasakan langsung bagaimana rasanya hidup sebagai penderita epilepsi – sebuah demonstrasi penggunaan teknologi untuk menyampaikan cerita dengan pesan yang begitu kuat di belakangnya. 

Kami berbincang dengan Jane Gauntlett tentang proyek ini dan menanyakan perasaannya mempertunjukkan ini untuk pertama kalinya di Indonesia. 

Awalnya terasa aneh, karena saya tidak tahu akan seperti apa pengalamannya. Kemudian, sedikit demi sedikit saya mulai paham konsep di balik ini. Di akhir-akhir saya baru sadar bahwa selama ini saya tidak pernah tahu bagaimana rasanya hidup sebagai penderita epilepsi. Menurut saya menarik sekali bisa merasakan pengalaman ini dan benar-benar mengerti rasanya kehidupan sehari - hari bagi mereka." –Pengunjung di Jakarta. 

“Saya mengerjakan proyek In My Shoes setelah saya mengalami trauma otak yang menyebabkan saya kehilangan kemampuan untuk berjalan dan berbicara. Setelah keadaan saya membaik, saya mulai bekerja di rumah sakit sebagai mentor, lalu kemudian mulai bekerja dengan keluarga – keluarga penderita trauma otak. Salah satu hal besar yang saya temukan dari mengerjakan ini adalah fakta bahwa banyak dari penderita trauma otak mengalami kesulitan berkomunikasi. Sering sekali saya melihat dua orang beargumen antara satu sama lain padahal mereka sebenarnya sedang membicarakan dua hal yang sama tapi mereka tetap saja berargumen antara satu sama lain. Saya berkerja sama dengan sepasang ibu dan anak di karya pertama saya. Mereka berdua menceritakan pengalaman yang sama kepada saya tapi keduanya bersikeras bahwa pengalaman tersebut berbeda. Lalu, saya bekerja dengan si ibu lalu si anak untuk merekam ulang pengalaman tersebut mengunakan teknologi audio. Kemudian, saya dudukkan mereka bersampingan dan meminta mereka untuk saling memegang tangan satu sama lain sembari mendengarkan masing-masing bercerita. Proyek itu kemudian berkembang dari sana dan benar-benar membantu saya untuk menulis cerita secara intensif dan bekerja dengan orang-orang secara dekat dan intim mengenai isu-isu yang cukup sensitif. 

Saya mencoba menggunakan teknologi apapun yang saya rasa paling cocok untuk menceritakan cerita yang saya buat – baik audio, video, atau teknologi realitas virtual (VR).. atau bahkan apapun di luar tiga hal tersebut. Saya senang bermain-main dan mengeksplorasi teknologi. Tujuan utama saya adalah dampak dari cerita itu sendiri. Saya tidak akan terlalu bersemangat tentang teknologinya kalau menurut saya teknologi tersebut tidak akan membuat ceritanya jauh lebih intens dan mengena.

Saya cukup tertarik dan senang dengan teknologi VR karena sekarang sudah cukup mudah diakses. Akan jauh lebih mudah bagi saya untuk lebih banyak menggunakan teknologi ini kedepannya. Dan buat saya sendiri, pengalaman di Indonesia sangat menyenangkan dan membuat saya bersemangat karena saya melihat dampak yang bisa ditimbulkan cerita dari karya ini meskipun bahasa yang digunakan bukan Bahasa Indonesia.

Saya benar-benar berusaha membuat reka ulang yang realistis mungkin, jadi saya buat lokasinya menyerupai restoran agar orang-orang bisa merasakan apa yang mereka lihat melalui VR dan mereka bahkan dapat mencium bau-bau yang mungkin tercium apabila mereka ke restoran. Saya memikirkan segala hal secara menyeluruh, semua panca indra, dan tidak hanya fokus pada penggunaan teknologinya saja."

Visual yang dilihat dari dalam alat virtual reality In My Shoes: Dancing with Myself
Visual yang dilihat dari dalam alat virtual reality In My Shoes: Dancing with Myself
Sensor bau juga menjadi bagian dari pengalaman VR di In My Shoes
Sensor bau juga menjadi bagian dari pengalaman VR di In My Shoes
Pengunjung menggunakan alat VR
...dan suasana restoran dibuat ulang di sekeliling pengunjung.
A participant wearing a virtual reality headset
"Saya senang sekali bisa bertemu pengunjung-pengunjung baru. Sangat seru rasanya bisa ada di suatu tempat yang asing, di dalam kafe, di tengah Jakarta, di mana kebanyakan orang yang mencoba proyek ini tidak tahu apa yang akan mereka lihat melalui pengalaman ini."

"Di Indonesia saya tidak kenal banyak orang yang menderita epilepsi...kamu benar benar jadi jauh lebih mengerti dan bisa berempati dengan penderita epilepsi melalui karya ini. Benar-benar sangat bagus." – Peserta di Jakarta.

"Pengunjung di Indonesia telah sangat berempati terhadap cerita ini. Saya rasa hal yang terasa cukup berbeda adalah kalau di Inggris, pengunjung biasanya akan bercerita kembali ke saya mengenai pengalaman mereka sendiri. Itu juga salah satu alasan saya melakukan ini, karena saya akan dapat lebih banyak cerita dari para pengunjung. Saya rasa itulah nilai dari cerita, kalau kamu menceritakan sesuatu yang sangat pribadi, orang-orang juga tidak akan ragu menceritakan hal-hal pribadi tentang mereka. Saya tertarik sekali mengeksplorasi bagaimana intimasi dapat dibangun dari hal-hal semacam ini, menceritakan pengalaman pribadi ke orang lain. 

Saya fokus dan senang dengan apa yang saya kerjakan dan saya bawa dalam diskusi saya – untuk membuat orang-orang merasa nyaman dan lebih terbuka untuk berdiskusi tentang disabilitas, untuk tidak takut menggunakan kata-kata yang sesuai konteks dan menceritakan kembali kepada saya pengalaman mereka sendiri. Saya rasa hal-hal seperti ini sangat membantu. Masih banyak stigma negatif dan rasa malu yang timbul dari stigma negatif mengenai disabilitas dan banyak orang yang masih merasa malu menceritakan ke orang lain kalau mereka menderita epilepsy, depresi, atau disabilitas lainnya… jadi saya rasa hal seperti ini cukup informatif, dan membuka dialog mengenai disabilitas secara umum, tidak hanya epilepsi."

Cerita lain dari Digital Design Weekend