Minggu lalu Jakarta menjadi tuan rumah dari Digital Design Weekend pertama di Indonesia sebagai rangkaian dari UK/ID Festival 2016. Acara ini sendiri merupakan modifikasi dari acara tahunan yang diadakan di Museum V&A (Victoria&Albert) di London. Di antara lokakarya kreatif pojok kardus bersama Kiswinar, pameran karya pendeteksi hantu sampai dengan demonstrasi 8-bit snyth, seniman dan storyteller Jane Gauntlett mempertunjukkan karya interaktif terbaru-nya, In My Shoes: Dancing with Myself.
In My Shoes: Dancing with Myself adalah bagian dari kumpulan karya-karya interaktif berdasarkan pengalaman nyata yang tengah dikerjakan oleh Jane Gauntlett dan masih berlanjut hingga sekarang. Melalui karya ini, pengunjung diajak untuk langsung masuk ke dalam isi kepala dari sang seniman, Jane Gauntlett, yang menceritakan pengalamannya bertemu seorang teman untuk makan siang. Teknologi realitas virtual digunakan di dalam karya ini agar pengunjung dapat merasakan langsung bagaimana rasanya hidup sebagai penderita epilepsi – sebuah demonstrasi penggunaan teknologi untuk menyampaikan cerita dengan pesan yang begitu kuat di belakangnya.
Kami berbincang dengan Jane Gauntlett tentang proyek ini dan menanyakan perasaannya mempertunjukkan ini untuk pertama kalinya di Indonesia.
Awalnya terasa aneh, karena saya tidak tahu akan seperti apa pengalamannya. Kemudian, sedikit demi sedikit saya mulai paham konsep di balik ini. Di akhir-akhir saya baru sadar bahwa selama ini saya tidak pernah tahu bagaimana rasanya hidup sebagai penderita epilepsi. Menurut saya menarik sekali bisa merasakan pengalaman ini dan benar-benar mengerti rasanya kehidupan sehari - hari bagi mereka." –Pengunjung di Jakarta.
“Saya mengerjakan proyek In My Shoes setelah saya mengalami trauma otak yang menyebabkan saya kehilangan kemampuan untuk berjalan dan berbicara. Setelah keadaan saya membaik, saya mulai bekerja di rumah sakit sebagai mentor, lalu kemudian mulai bekerja dengan keluarga – keluarga penderita trauma otak. Salah satu hal besar yang saya temukan dari mengerjakan ini adalah fakta bahwa banyak dari penderita trauma otak mengalami kesulitan berkomunikasi. Sering sekali saya melihat dua orang beargumen antara satu sama lain padahal mereka sebenarnya sedang membicarakan dua hal yang sama tapi mereka tetap saja berargumen antara satu sama lain. Saya berkerja sama dengan sepasang ibu dan anak di karya pertama saya. Mereka berdua menceritakan pengalaman yang sama kepada saya tapi keduanya bersikeras bahwa pengalaman tersebut berbeda. Lalu, saya bekerja dengan si ibu lalu si anak untuk merekam ulang pengalaman tersebut mengunakan teknologi audio. Kemudian, saya dudukkan mereka bersampingan dan meminta mereka untuk saling memegang tangan satu sama lain sembari mendengarkan masing-masing bercerita. Proyek itu kemudian berkembang dari sana dan benar-benar membantu saya untuk menulis cerita secara intensif dan bekerja dengan orang-orang secara dekat dan intim mengenai isu-isu yang cukup sensitif.
Saya mencoba menggunakan teknologi apapun yang saya rasa paling cocok untuk menceritakan cerita yang saya buat – baik audio, video, atau teknologi realitas virtual (VR).. atau bahkan apapun di luar tiga hal tersebut. Saya senang bermain-main dan mengeksplorasi teknologi. Tujuan utama saya adalah dampak dari cerita itu sendiri. Saya tidak akan terlalu bersemangat tentang teknologinya kalau menurut saya teknologi tersebut tidak akan membuat ceritanya jauh lebih intens dan mengena.
Saya cukup tertarik dan senang dengan teknologi VR karena sekarang sudah cukup mudah diakses. Akan jauh lebih mudah bagi saya untuk lebih banyak menggunakan teknologi ini kedepannya. Dan buat saya sendiri, pengalaman di Indonesia sangat menyenangkan dan membuat saya bersemangat karena saya melihat dampak yang bisa ditimbulkan cerita dari karya ini meskipun bahasa yang digunakan bukan Bahasa Indonesia.
Saya benar-benar berusaha membuat reka ulang yang realistis mungkin, jadi saya buat lokasinya menyerupai restoran agar orang-orang bisa merasakan apa yang mereka lihat melalui VR dan mereka bahkan dapat mencium bau-bau yang mungkin tercium apabila mereka ke restoran. Saya memikirkan segala hal secara menyeluruh, semua panca indra, dan tidak hanya fokus pada penggunaan teknologinya saja."