Image Description: Photo of the front of Southbank Centre building. Three people are standing in front of it while talking to each other.  ©

Doc. by Ratu Fitri

Ratu Fitri, pendiri SUBstitute Makerspace, merupakan salah satu delegasi internasional dari Indonesia untuk menghadiri Unlimited Festival 2022.

Artikel ditulis oleh Ratu Fitri.

Pada 7-11 September 2022 lalu, saya diberi kesempatan oleh British Council Indonesia untuk menghadiri Unlimited Festival di London. Saya sungguh terkejut dengan kesempatan yang diberikan. Tidak hanya karena saya bukanlah seorang seniman, tapi setelah belajar mengenai inklusivitas, saya semakin tidak berani memperkenalkan SUBstitute Makerspace sebagai inclusive space. Selain itu, saya juga awam dengan Unlimited Festival. Untuk itu, segera setelah menerima undangan, saya browsing mengenai festival tersebut. 

Hasil pencarian saya menunjukkan Unlimited Festival adalah sebuah rangkaian pameran dan pertunjukan karya seni dari disabled artists di London yang diselenggarakan 2 tahun sekali. What a chance. Antusiasme saya sama tingginya dengan kegugupan saya, karena saya harus terbang jauh dengan 4 kali layover seorang diri di tengah isu monkeypox dan Covid yang belum juga usai. Namun saya berpikir, this opportunity really shouldn’t be missed. Setelah mendapat rundown, saya segera reservasi acara melalui link yang diberikan oleh British Council dan excited dengan "Tourette’s Masked Ball" karena beberapa kali membaca dan menonton Jess Thom. Saya melihat beberapa karya seni ternyata bisa dinikmati secara partisipatif. Kemudian, saya juga mendaftarkan diri untuk mengikuti lokakarya "Zine Making" oleh Take It Back Library.

Hari pertama

Hari pertama tiba di Unlimited Festival, saya yang terlalu percaya diri mengenakan baju 1 lapis dan jaket ternyata merasa kedinginan. Suhu Surabaya yang mencapai 39 derajat di saat sebelum saya berangkat ke London membuat kulit saya terbiasa dengan panas terik. Memasuki Southbank Centre, lokasi di mana Unlimited Festival diselenggarakan - saya merasa disambut dengan hangat oleh suasana, kru dan panitia acara, juga partisipan festival yang lain. Kegugupan yang mengiringi saya sepanjang perjalanan menuju London sirna seketika. Karena fokus saya adalah aksesibilitas, saya mengamati berbagai fasilitas dan infrastruktur yang aksesibel di acara ini. Saya menemukan ramp dan sign language yang sudah umum disiapkan di berbagai acara di Indonesia. Selain itu, saya juga mendapati banyak hal menarik, seperti booklet acara dengan ukuran dan font yang lebih besar, kursi roda, speech-to-text, "A Quiet Room" yang merupakan ruang untuk partisipan memproses perasaan setelah menikmati suatu karya seni, juga ruang ibadah bagi segala agama dan kepercayaan. Tidak hanya ketersediaan infrastruktur yang aksesibel, seluruh pengunjung Unlimited Festival seakan sudah sepakat secara kolektif untuk menjadi ruang aman bagi siapa pun. Saya mencoba berinteraksi dengan beberapa pengunjung, dan kami semua memulai cerita dengan berbagi kelegaan telah bertahan melewati Covid baik sebagai individu, seniman dan komunitas. Saya juga cukup lega karena saya bukan satu-satunya partisipan non-seniman di acara ini, terdapat perwakilan dari manajemen seni yang berasal dari Australia. 

"The Saturn Returns" sebuah choreopoem karya Sonny Nwakchuku yang menyoroti Post Traumatic Slave Syndrome sebagai pembuka festival menjadi karya yang sangat kuat untuk dinikmati. Dua penampil mempertunjukkan dialog mengenai cinta, masa lalu, identitas kelas dan hubungan antar orang dengan sangat apik. Saya pun urun dalam standing ovation di akhir acara. Pertunjukan ini dilengkapi dengan Speech-to-text yang ditampilkan melalui tv di atas panggung dan juga quiet area bagi penonton untuk merehatkan diri.

Hari kedua

Di hari kedua, saya tidak memiliki reservasi khusus. Saya memutuskan untuk menikmati karya seni instalasi dari Hassun El Zafar berjudul "HEAR", "Portrait of Brain" karya Hayley Williams dan "the Brexit Sausage" karya Shiro Masuyama yang bercerita tentang peliknya perdagangan karena keputusan Brexit. Saya juga mengelilingi area Southbank dan melihat-lihat apa saja yang dijual di sekitar area. Saya tertarik dengan buku anak yang bertemakan tentang consent, keberagaman, artivisme, dan juga sebuah cokelat yang mempertunjukkan karya dari seniman dengan complex-neuro-diverse.

Unlimited Festival memperkenalkan dan menajamkan saya pada istilah neuro-divergence. Menurut Wikipedia, neurodivergent adalah suatu konsep yang menjelaskan variasi dalam otak manusia mengenai kemampuan bersosialisasi, pembelajaran, perhatian, suasana hati, dan fungsi mental lainnya dalam arti non-patologis. Saya tidak pernah menggunakan istilah itu sebelumnya dan merasa mendapatkan Aha! moment setelah mengetahui istilah itu. 

Jika kita telaah soal akses masyarakat Indonesia pada kesehatan mental, tumbuh kembang anak, kedokteran syaraf bahkan mungkin ke dokter umum sendiri, bisa berdiskusi dengan dokter secara kontinu adalah sebuah privilege. Beberapa kasus terkait kesehatan mental atau perkembangan syaraf otak anak saya temui sering terhambat karena biaya, waktu dan penilaian yang tidak komprehensif. Hal ini terkadang menyebabkan seseorang selain mendapatkan rujukan terapi yang tidak tepat, dia juga bingung akan identitasnya. Untuk memayungi identitas keberagaman disabilitas yang tidak tampak tersebut, digunakanlah istilah neuro divergence.

Deskripsi gambar: Kiri ke kanan 1) Sebuah tangan memegang name tag Ratu Fitri dan brosur Unlimited, 2) Pandangan dari kursi penonton melihat ke arah panggung pertunjukan "Saturn Returns" yang disorot lampu bernuansa biru-ungu. Sebuah tangan memegang lembaran detil program dari pertunjukan tersebut. 3) Ruang pertunjukan dengan jendela besar-besar. Ada satu karya seni berbentuk seperti rangkaian sosis raksasa digantung dari langit-langit dan menjuntai hingga lantai.
Deskripsi gambar: Kiri ke kanan 1) Foto name tag Ratu Fitri dan brosur Unlimited, 2) Foto melihat ke arah panggung pertunjukan "Saturn Returns" yang disorot lampu bernuansa biru-ungu. Sebuah tangan memegang lembaran detil program dari pertunjukan tersebut. 3) Ruang pertunjukan dengan jendela besar-besar. Ada satu karya seni berbentuk seperti rangkaian sosis raksasa digantung dari langit-langit dan menjuntai hingga lantai ©

Dok. oleh Ratu Fitri

Deskripsi gambar: Kiri ke kanan 1) Foto dari live dance performances oleh BLINK Dance Company, belasan penari di atas panggung disorot lampu bernuansa biru ungu., 2) Foto lembar program dari karya The Archive of an Unseen di mana terdapat foto seorang anak laki-laki memakai jaket hoodie berwarna merah., 3) Foto pintu ruang ibadah multi-kepercayaan.
Deskripsi gambar: Kiri ke kanan 1) Foto dari live dance performances oleh BLINK Dance Company, belasan penari di atas panggung disorot lampu bernuansa biru ungu., 2) Foto lembar program dari karya The Archive of an Unseen di mana terdapat foto seorang anak laki-laki memakai jaket hoodie berwarna merah., 3) Foto pintu ruang ibadah multi-kepercayaan.  ©

Dok. oleh Ratu Fitri

Deskripsi gambar: Kiri ke kanan 1) Foto sampul sebuah buku berjudul "Milk Chocolate Cheesecake with Gingernut Crunch" berhiaskan ilustrasi berbagai ras anjing., 2) Foto meja berisi alat-alat kerajinan pada saat zine-making workshop., 3) Foto sampul buku berjudul "Art of Protest" berwarna hijau tua dengan ilustrasi dua orang berpelukan.  ©

Dok. oleh Ratu Fitri

Hari ketiga

Saya yang masih terngiang-ngiang oleh "HEAR" milik Hussan, kembali ke area instalasi. Ternyata, jadwal telah berganti ke pemutaran serangkaian film. Terdapat "Deviant" karya Emily Beaney yang bercerita mengenai pengalamannya berkenalan dengan endometriosis yang membawanya ke komunitas Endowarrior, Chery Beer dengan "Rainforest Symphony", dan "Unpredictable Bodies" karya Sam Metz yang merekam gerak seorang neurodivergent. Saya kemudian kembali berkeliling dan menyaksikan "The Archive of an Unseen", sebuah film dokumenter tentang bagaimana Christopher Samuel sebagai seorang warga kulit hitam yang memiliki disabilitas berjuang bersama dengan ibunya yang seorang orang tua tunggal untuk memperoleh hak pendidikan dan kesehatan. 

Pada jam 5 sore hari, kru festival meminta kami keluar gedung agar mereka dapat mempersiapkan area pertunjukan selanjutnya, Tourette’s Hero Masked Ball. Begitu saya masuk kembali, saya disambut dengan mask-making booth di bagian depan. Pengunjung dipersilakan memilih mask-making kit yang telah dipersiapkan (dan bahkan sudah disterilisasi) untuk kemudian dihias sesuai dengan keinginan. Sungguh menyenangkan!

Sekitar jam 7 malam, pertunjukan dimulai. Jess dan partnernya dari Tourette’s Hero mengisi acara dengan sangat menyenangkan. Saya juga tercengang dengan kemampuan British Sign Language Interpreter-nya yang dengan cekatan menerjemahkan bahkan hingga ke tick Jess Thom. 

Hari keempat

Saya mendengar kabar bahwa salah satu pertunjukan dibatalkan karena kematian Ratu Elizabeth II. Saya cukup kecewa karena "Not F**in’ Sorry Cabaret" termasuk pertunjukan yang saya tunggu. Untuk mengobati kekecewaan, saya berpartisipasi dalam lokakarya membuat zine yang difasilitasi oleh Take It Back Zine Library, yang kemudian saya bawa idenya ke SUBstitute Makerspace. Saya juga ikut menyaksikan live dance performances yang diinisiasi oleh BLINK Dance Theatre. Saya kemudian berpartisipasi di booth yang mencatat detak jantung pengunjung saat menikmati Unlimited Festival dengan mengenakan smart watch selama acara. Saat di Hub Area, ternyata Unlimited Festival juga memberikan kartu permainan berjudul "Cards For Inclusion" yang mencoba memantik solusi sebanyak-banyaknya untuk hambatan bagi seseorang mengakses sebuah acara. Saya juga mendapatkan sebuah karya seni partisipatif berjudul "Thirst Trap" yang hanya bisa dinikmati di rumah dengan sebuah bak mandi. Saya telah mengulas "Thirst Trap" di postingan lain.

Hari terakhir

Pengalaman saya menghadiri rangkaian acara Unlimited Festival 2022 ditutup oleh pertunjukan "Hero & Leander" karya Jack Deen & Company, dengan 6 pemain musik instrumental yang bernyanyi dengan irama khas musik folk.  

Final Thoughts

Rangkaian acara Unlimited Festival lebih dari sekadar pertunjukan karya seni yang selama ini saya ketahui. Berbagai perasaan silih berganti memenuhi dada saya selama menghadiri dan berpartisipasi dalam acara ini. Saya tercekat tapi juga terpukau menyaksikan "The Saturn Returns", terharu ketika menyaksikan "HEAR" karya Hassun El Zafar’s, tergelitik oleh "Portrait Of Brain" karya Hayley Williams, dibuat berpikir dan memproses "Tourrete’s Masked Ball" yang sudah sangat memenuhi ekspektasi saya, serta dibuat menitikkan air mata menyaksikan live dance performances dari BLINK Dance Theatre yang menggambarkan bagaimana seseorang bisa diterima bahkan dirayakan bersama di Unlimited Festival ini.

Menghadiri Unlimited Festival selain memperluas jejaring saya juga semakin memperkuat keyakinan bahwa SUBstitute Makerspace memang belum inklusif. Namun, perjuangan akan pemenuhan dan pemerataan hak akses bagi seluruh masyarakat akan selalu melatari kegiatan dan program kami. 

Lihat juga