©

Doc. by British Council

Indonesia itu unik – dengan lebih dari 17,000 pulau, Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia. Negeri ini memiliki lebih dari 580 bahasa dan dialek, sekitar 140 gunung berapi, dan merupakan rumah bagi satu-satunya naga di dunia (Komodo). Jo Verrent, Produser Senior dari Unlimited (UK), membandingkan kunjungannya ke Indonesia pada 2019 dan 2016 seputar promosi karya-karya seniman difabel dan aksesibilitas dalam dunia seni.

DITULIS OLEH JO VERRENT

Saya terakhir kali mengunjungi Indonesia pada tahun 2016 dan terkesan, bukan hanya karena panasnya makanan! Sejak itu, kecepatan perkembangan seni disabilitas di Indonesia sangatlah luar biasa -- jelas terpancar dari kepercayaan diri dan berbagai aktivitasnya -- jika dibandingkan dengan kunjungan saya empat tahun yang lalu. Dimotori oleh British Council dan dicapai melalui proses yang benar-benar melibatkan seniman disabilitas dalam beberapa programnya, proses ini sudah memiliki strategi yang jelas dan investasi besar. Bersama-sama, mereka telah menciptakan sejumlah langkah kecil yang jika digabung telah mencakup area yang cukup luas.

 

Ketika di Inggris, saya menyaksikan beragam projek terlaksana – Ballet.id (Indonesia) dan Candoco (UK), mengembangkan kelompok tari baru yang terdiri atas penari disabilitas dan non-disabilitas; Padepokan Seni Bagong Kusudiarja (Indonesia) dan Caglar Kimyoncu (UK), melalui What Makes You Who You Are, sebuah instalasi transmedia kolaboratif yang mengeksplor hal-hal yang membentuk identitas kita; model disabilitas yang berjalan di runway Jakarta Fashion Week; Hana Madness (Indonesia) dan the vacuum cleaner (UK), memberi respon artistik melalui pendapat/suara dari orang-orang dengan disabilitas mental, termasuk In Chains, sebuah film yang berkolaborasi dengan VICE media; serta melihat pertumbuhan dan perkembangan pesat Festival Bebas Batas.

 

Saat saya berkunjung di tahun 2019, saya menyaksikan hasil kolaborasi Corali (UK) dan GIGI Art of Dance (Jakarta) di Studio TOM FFTV Institut Kesenian Jakarta (IKJ); menyaksikan berbagai elemen inklusi diberlakukan sebagai bagian dari We The Fest (atau WTF singkatan pendeknya) melalui viewing platform, area peristirahatan, dukungan kesehatan mental, dan program yang melibatkan seniman disabilitas; berbicara dalam Indonesia Development Forum, dimana seni dan budaya dinobatkan sebagai kombinasi yang kuat untuk membuat perubahan; bertemu berbagai seniman dan organisasi disabilitas yang tertarik untuk terlibat dalam lebih banyak projek, pertukaran, aksesibilitas, dan inklusivitas.

 

Ketika kembali ke Inggris, saya berkesempatan melihat kembali karya Hana Madness yang merupakan bagian dari festival tahunan Heart of Glass (St. Helen), ‘TakeOver’ Festival. Bekerja sama lagi dengan the vacuum cleaner, Hana Madness menjadi bagian dari ‘Madlove TakeOver’, mengangkat tema kesehatan mental, perawatan, dan bunuh diri, sebagai respons terhadap St. Helen yang memiliki tingkat bunuh diri tertinggi di Inggris dan Wales. Ini adalah bukti dari laju perkembangan bahwa saat ini Hana adalah seorang seniman internasional yang digemari, bekerja dengan berbagai mitra di seluruh dunia. Karya-karyanya, karakter kartun ‘pop’ – dari yang berukuran kecil sampai besar yang terinspirasi dari pengalaman gejolak kesehatan mental pribadinya – modern, penuh humor dan ceria; dengan advokasi publiknya yang terus terang, terarah, dan sangat kuat.

 

 

©

Doc. by British Council

©

Doc. by British Council

©

Doc. by British Council

©

Doc. by British Council

Di Indonesia, saya juga ikut serta dalam pertemuan dengan representatif dari pemerintah. Komitmen pemerintah akan Festival Bebas Batas kuat, dan ketika elemen final Undang-Undang Republik Indonesia No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas -- aksi untuk memastikan disediakannya fasilitas bagi rakyat disabilitas untuk menjadi mandiri dan dapat berpartisipasi penuh dalam hidup bermasyarakat, diimplementasikan -- maka potensi untuk pengembangan lebih lanjut di seluruh negeri menjadi kuat. Finalisasi elemen final Undang-Undang Republik Indonesia No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas dapat menjadi momen penting untuk mendapatkan perhatian nasional maupun internasional, mengingat dampak besar dari aksi yang sudah dilakukan hingga saat ini.

 

Saat saya berkunjung ke Jakarta, British Council mengadakan dua forum – untuk organisasi kebudayaan dan untuk seniman/organisasi difabel. Diantara kedua forum, terlihat dengan jelas minat untuk mengembangkan sebuah tempat pertemuan reguler – sebuah forum atau platform untuk berbagi pengalaman dan kesempatan, sesuatu yang bersinggungan antar berbagai bidang seni dan menyeberangi batasan-batasan tradisional/kontemporer, suatu kebutuhan untuk terus mengembangkan rasa percaya diri, memecah stigma, serta keinginan untuk melanjutkan kolaborasi dengan organisasi seni, baik yang melibatkan seniman disabilitas maupun non-disabilitas.

 

Pendobrakan batas itu penting – kebanyakan masyarakat disabilitas di Indonesia merasakan adanya batasan ke pendidikan dan seringkali pemahaman akan bidang-bidang seni juga masih terbatas; termasuk mengenai apa itu ‘seni’. Di negara yang seni tradisionalnya merupakan bagian dari warisan nyata, seni rupa kontemporernya dalam berbagai bentuk perlu diekspos agar dapat lebih dipahami dan diketahui secara luas. Dan tentunya, aksesibilitas dasar secara fisik masih dalam tahap pengembangan – seperti di banyak lokasi di dunia – terdapat beberapa contoh praktik aristektural yang sangat baik, salah satunya adalah Dia.lo.gue Artspace.

 

Ada begitu banyak potensi, energi, dan komitmen yang kuat pada tim British Council yang terlibat dalam perencanaan dan pelaksanaan – Saya bersemangat untuk melihat apa yang akan terjadi selanjutnya, khususnya Festival Bebas Batas yang berikutnya dijadwalkan pada Oktober 2020 – tepat setelah selesainya Unlimited Festival di London. Harapan pribadi saya? Saya ingin melihat sebuah projek yang memiliki fokus terhadap peran masyarakat disabilitas dalam dongeng tradisional Indonesia, yang menampilkan karakter disabilitas. Saya penasaran apa yang mungkin terjadi jika penulis kontemporer atau animator disabilitas didorong untuk ikut serta pada projek ini?

Lihat juga