Sebagai bagian dari program UK/ID Fesitval 2017, sutradara dan kurator George Clark asal UK menghabiskan dua setengah bulan untuk residensi dengan Jatiwangi Art Factory (JAF) di sebuah desa kecil Jatiwangi, Jawa Barat.
Salah satu karya yang dihasilkan dari residensi ini adalah komposisi bunyi ciptaan Hanyaterra, kolektif musik keramik ternama dari Jatiwangi, yang dimainkan secara langsung di hadapan publik sebagai pengiring film Clark berjudul ‘A Distant Echo’.
Kami berbicara dengan George Clark, Bunga Siagian dan Teddy Nurmanto dari JAF mengenai residensi ini, pentingnya kolaborasi, dan membuat ulang ‘A Distant Echo’.
Bunga Siagian
British Council memberikan kami kesempatan untuk menjamu seorang seniman dari UK yang mau melakukan residensi. Kami mengusulkan George Clark, karena kami tertarik dengan karya dan praktiknya. Ketertarikan kami didasari oleh bagaimana pembuat film berurusan dengan suasana dan penonton yang spesifik.
Kami ingin mengetahui bagaimana cara bekerja dengan penonton yang spesifik; kami ingin bereksperimen.
Dalam kolektif seni JAF, kami ingin aktivitas kami bisa terhubung dengan para tetangga agar mereka bisa terlibat, agar mereka bisa menikmati karya seni kami. Merupakan hal penting bagi kami untuk bisa inklusif dan terhubung dengan seniman serta kolektif lain, juga untuk berkolaborasi.
Teddy Nurmanto
Berkolaborasi dengan orang-orang dari budaya dan negara lain adalah hal yang sangat penting dan menarik. Ketika George Clark datang ke desa kami, kami bisa melihat desa kami melalui matanya.
George Clark
Suasana yang hangat dan familier untuk berkarya
Jatiwangi Art Factory didirikan oleh sepasang kakak beradik di rumah keluarga mereka. Rumah yang kini telah diubah menjadi organisasi kesenian yang besar, sangat ambisius, produktif, dan rumit namun masih terasa sangat familier, seperti ruang keluarga. Suasana yang luar biasa, hangat untuk berkarya.
Ini merupakan pengalaman yang menginspirasi, khususnya buat saya. Saya tumbuh besar di Marseden, Yorkshire Barat, sebuah desa kecil dan bekas kota industri. Jatiwangi pernah menjadi pusat produksi genteng, namun industri ini sudah tumbang, jadi pemandangannya dihiasi dengan pabrik yang terbengkalai dan rasanya sangat familier.
Saya terus mencoba berpikir ulang apa artinya bekerja di luar kota, di pedesaan, apa artinya bekerja dengan masyarakat, di kondisi pasca-industri, dan akhirnya kami mulai berpikir apa artinya mencoba membuat ulang ‘A Distant Echo’ bersama-sama.
Membuat ulang film
Saya merasa bahwa ‘A Distant Echo’ sangat terbuka untuk dibuat lagi dengan konteks berbeda, dan untuk terjemahkan serta ditampilkan ulang.
Saya tidak suka dengan gagasan soundtrack, karena memisahkan musik dari filmnya. Pembuatan ulang kali ini dilakukan melalui dialog sonik dalam rangka kolaborasi dengan Hanyaterra, kolektif musik keramik dari Jatiwangi.
Kami meramu kembali suara ambien asli dari film, dialog, dan komposisi musiknya secara langsung saat film diputar di hadapan publik.
Hubungan antara membuat film dan menayangkannya
Kami juga berpikir soal kegiatan menonton film; di mana film ditonton, bagaimana cara menontonnya, apa film lain yang diputar di hari yang sama—ini juga merupakan tindakan kreatif.
Saya sangat tertarik dengan makna dari membuat film serta juga makna menayangkannya, dan bagaimana kedua aktivitas ini berhubungan.
"Setiap kali sebuah film ditonton, film itu dibuat ulang oleh penontonnya."
Saya ingin datang ke Indonesia sejak lama untuk bekerja dengan orang-orang di sini, karena advokasi yang dilakukan seputar pembuatan film, atau praktik kolektif film, sangat kuat di sini.
Kolaborasi antara negara dan budaya di bidang kesenian
Saya pikir merupakan hal mendasar untuk terlibat dalam kolaborasi di bidang kesenian. Anda tidak bisa bekerja sendirian; itu cukup konyol. Saya pikir masalah besar di sejarah seni, atau sejarah film, sebagian adalah hasil dari isolasi—terkadang naif, terkadang keras kepala.
Tiada alasan untuk tidak peduli dengan wacana budaya lainnya, serta pertukaran dan gerakan seputar keberadaan budaya tersebut.