By Tim UK/Indonesia 2016-18

14 November 2018 - 17:24

Saat mendengar kata ‘penari’ imaji yang kerap terlintas di benak kita kemungkinan besar adalah seseorang dengan bagian tubuh lengkap yang menggerakkan seluruh tubuhnya dengan elok. Kelompok tari KitaPoleng mencoba mendobrak asosiasi tersebut lewat karya-karya mereka bersama para penari yang kebanyakan menyandang disabilitas. “Saat ini, kami memiliki kurang lebih ada 15 anggota yang tuli,” ucap pendiri dan koreografer KitaPoleng, Jasmine Okubo, saat ditemui di pembukaan Festival Bebas Batas, Galeri Nasional, Jakarta.

Meskipun awalnya KitaPoleng dibentuk murni dari keinginan menggarap karya-karya tari, Jasmine menjelaskan bahwa suatu hari dia mendapatkan kesempatan bertemu dengan anak-anak tuli. “Dari situ, fokus kami berubah menjadi untuk melatih mereka dan menentukan pendekatan yang baik dalam melatih mereka,” ceritanya. 

Baginya, bahwa penyandang tuli membutuhkan waktu yang lebih panjang untuk berlatih sesuai dengan filosofinya bahwa menciptakan karya tari yang baik juga membutuhkan hal yang sama. “Saya bukan spesialis dalam melatih penari tuli. Namun seiring berjalannya waktu, saya juga belajar dari mereka bagaimana caranya berkomunikasi melalui seni,” terangnya.

Untuk penampilan di Festival Bebas Batas, KitaPoleng menampilkan sebuah tarian berjudul ‘Wong Pekan’ atau ‘Penjaga Pasar’, yang terinspirasi dari sejarah Bali pada abad 14 di mana muncul kepercayaan bahwa di daerah tersebut ada dewi penjaga pasar dan pasukannya. “Tarian ini mencoba menginterpretasikan cerita itu. Kami memilih menampilkan ‘Wong Pekan’ untuk menunjukkan salah satu bentuk tradisi Indonesia, yaitu pasar. Di pasar, kita bisa menemukan banyak ragam manusia, makanan dan bau. Ini adalah hal yang sangat khas dari Indonesia,” jelasnya. 

Sejalan dengan semangat tarian tersebut, penampilan KitaPoleng di Festival Bebas Batas juga menampilkan seorang penari berkaki satu, Arif, yang berasal dari Malang. “Sebenarnya dasarku adalah breakdance, bukan tarian tradisional. Namun aku tertarik ikut proyek ini karena memang pada dasarnya aku suka menari,” kata Arif. Hanya membutuhkan waktu kurang lebih satu minggu saja untuk latihan ‘Wong Pekan’ sebelum penampilan di Festival Bebas Batas. “Buatku, latihan dan tampil untuk Festival Bebas Batas adalah pengalaman yang baru dan menyenangkan. Aku sangat menikmatinya.”

Selain ‘Wong Pekan’, KitaPoleng juga berkolaborasi dengan grup tari asal Inggris Candoco, yang turut menampilkan penari-penari penyandang disabilitas. Menariknya, kedua grup ini baru bertemu dan berlatih bersama di Jakarta. “Kami tidak menyangka bisa terlibat di Festival Bebas Batas dan melakukan kolaborasi ini. Namun kami puas akan hasilnya karena penari-penarinya sungguh bagus,” ucap Jasmine. 

Walaupun dirinya seorang koreografer, Jasmine beranggapan bahwa penampilan yang bagus tidak bergantung pada koreografinya saja, namun juga para penarinya. “Jika mereka bersemangat untuk tampil dan berada dengan satu sama lain di panggung, itu akan terlihat,” tandasnya. 

Jasmine dan Arif juga mengaku senang bisa terlibat di Festival Bebas Batas, yang menjadi ajang pembuktian bagi para penari penyandang disabilitas. “Sebagai penyandang disabilitas, Festival Bebas Batas menciptakan ruang nyaman dengan fasilitas-fasilitas yang ramah bagi orang-orang seperti saya, yang memungkinkan kami untuk menikmati acara ini dengan maksimal,” tutup Arif.