By Junita Setiawati Herlambang , Penulis, Motivator, Trainer

04 August 2021 - 11:32

Sebuah pertunjukan teater oleh "Unique Project Theatre". Di panggung ada lima aktor perempuan -- empat orang di paling kanan memakai gaun bernuansa warna merah dan pink, dan satu orang aktor di paling kiri memakai gaun hitam dengan sayap di belakangnya.
Deskripsi gambar: Sebuah pertunjukan teater oleh "Unique Project Theatre". Di panggung ada lima aktor perempuan -- empat orang di paling kanan memakai gaun bernuansa warna merah dan pink, dan satu orang aktor di paling kiri memakai gaun hitam dengan sayap di belakangnya.  ©

Dok. oleh Unique Project Theatre

Nanik Indarti adalah pendiri dan penggagas Unique Project Theatre. Jebolan Institut Seni Indonesia di Yogyakarta ini terlahir dengan kondisi achondroplasia, ditandai dengan perkembangan fisik yang terhambat serta tinggi badan yang tidak proporsional antara 90-135 cm. Nanik mendirikan teater ini sebagai sebuah komunitas di mana para pemilik tubuh mini dapat berkumpul untuk berseni sekaligus mengekspresikan diri mereka secara gamblang melalui seni teater.

Pada tanggal 16 November 2018, Nanik sukses menggelar pertunjukan teater bertajuk “The Same Shoes” atau “Sepatu yang Sama” di Pendhapa Art Space, Krapyak, Desa Panggungharjo, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Pertunjukan ini dibiayai oleh Cipta Media Ekspresi, yang memang rutin membiayai kegiatan seni dan budaya yang diprakarsai oleh seniman perempuan Indonesia.

Pertunjukan ini juga melibatkan tujuh orang perempuan dan empat orang laki-laki bertubuh mini dari Malang, Blitar, Banyuwangi, Surabaya, Aceh, Kalimantan, Kulon Progo dan Yogyakarta. Berkolaborasi dengan Flying Balloons Puppet, leburan batik shadow, multimedia dan musik menjadi latar belakang sebuah cerita yang luar biasa tentang seseorang yang memiliki achondroplasia dan dianggap tidak sesempurna orang lain karena bentuk tubuhnya. Ukuran sepatu yang tepat adalah penanda penting agar pemakainya merasa nyaman ketika menggunakan sepatu tersebut. Para pemilik tubuh mini kerap bermasalah dengan ukuran sepatu mereka, yang jarang dijual di toko-toko sepatu di Indonesia. Walhasil, mereka sering memilih sepatu anak-anak yang ukurannya juga tidak pas bagi kaki mereka karena mereka bisa memakai sepatu berukuran 31 cm. Lepas dari ukuran sepatu atau tubuh, tokoh utama pertunjukan ini ingin membuktikan harga dirinya ke orang lain meski memiliki kekurangan sendiri dan bahwa dia mampu menghadapi berbagai tantangan di depan matanya sekaligus berjuang untuk dirinya sendiri sebagai manusia. Lewat pertunjukan teater ini, dia berhasil membuktikan bahwa kesempurnaan bukanlah sebuah peraturan yang disepakati bersama namun dapat disesuaikan dengan keadaan setiap orang.

Lewat pertunjukan teater “The Same Shoes”, Nanik Indarti bersama teman-temannya menyuarakan hak-hak penyandang disabilitas sebagai penyandang achondroplasia yang kerap mengalami diskriminasi. Diskriminasi ini biasanya terjadi di tempat kerja, yang biasanya menerapkan kriteria seperti tinggi badan minimal 165 cm atau penampilan tubuh yang menarik. Selain itu, para pemilik tubuh mini juga sering menjadi korban eksploitasi dan sumber ejekan serta dicemooh sebagai orang kerdil, terlebih di dunia hiburan. Mereka juga sulit mendapatkan akses pendidikan dan transportasi umum yang layak; dalam mengakses transportasi umum, misalnya, mereka tidak bisa mengendarai sepeda motor untuk orang dewasa, sehingga perlu ada modifikasi model sepeda motor terlebih dahulu agar mereka bisa mengendarainya dengan nyaman.

Sebuah foto dari pertunjukkan oleh "Unique Project Theatre" -- dua orang aktor tampil dengan pakaian tradisional di depan latar belakang hitam.
Deskripsi gambar: Sebuah foto dari pertunjukkan oleh "Unique Project Theatre" -- dua orang aktor tampil dengan pakaian tradisional di depan latar belakang hitam. ©

Dok. oleh Unique Project Theatre

Nanik Indarti difoto di atas panggung sedang membacakan buku.
Deskripsi gambar: Nanik Indarti difoto di atas panggung sedang membacakan buku. ©

Dok. oleh Nanik Indarti

Di samping Unique Project Theatre, Nanik juga menulis buku berjudul “I Am a Unique Woman” yang bercerita tentang pengalaman hidup tujuh perempuan yang panjang dan sulit untuk menerima diri mereka sendiri dengan hati terbuka. Buku ini dijual dengan harga Rp125.000 secara independen oleh Nanik sendiri. 

Proyek pertunjukan Unique Project Theatre membutuhkan biaya sekitar 72 juta rupiah dengan waktu pengerjaan selama delapan bulan. Nanik harus mengeluarkan uang dalam jumlah besar untuk biaya-biaya tak terduga, seperti biaya sewa tempat serta biaya properti untuk dekorasi panggung, pencahayaan, sistem suara dan musik. Nanik juga tak segan merogoh kocek sendiri untuk aktor-aktor yang sakit dan kehilangan suara, terkena batuk atau kelelahan, di samping menyediakan suplemen dan vitamin untuk mereka. Proyek ini melibatkan sekitar 100 orang yang harus bergandengan tangan dan bekerja keras demi mencapai pertunjukan yang sukses. Terlebih, pertunjukan ini diadakan secara gratis dengan kapasitas 400 orang penonton. 

Selama pandemi COVID-19, Nanik terus menjalankan aktivitasnya secara daring (online) lewat diskusi grup bersama sesama penyandang achondroplasia dari beberapa kota lain di Indonesia, di mana Nanik mempresentasikan sebuah videografi bertajuk “Share with You”, yang menampilkan rangkaian foto dan cerita para penyandang achondroplasia. Diskusi ini juga dilengkapi dengan pertunjukan panggung virtual. Ke depannya, Nanik bercita-cita agar para penyandang achondroplasia bisa mengenyam bangku pendidikan lebih tinggi, bekerja seperti orang-orang pada umumnya serta aksesibilitasnya lebih diperhatikan oleh pemerintah. Nanik juga ingin agar mereka bisa diterima bekerja di perusahaan-perusahaan, sehingga mereka bisa menjadi manusia-manusia mandiri dan terus berkembang hingga membuat perubahan besar di dunia ini.