Residensi terus menjadi salah satu fokus utama dari program UK/Indonesia 2016-18. Selain kedatangan delapan pegiat kreatif dari Inggris untuk residensi di Indonesia dan residensi tiga pegiat kreatif dari Yogyakarta, Indonesia di Birmingham Open Media, saat ini, salah satu seniman dari Indonesia, Abi Rama, juga tengah menjalani residensi di Brighton bersama kolektif seniman, Blast Theory. Residensi ini bermula dari kunjungan Nick Tandavanitj, seniman Inggris anggota Blast Theory, ke Indonesia di program Digital Culture Visit tahun lalu.
Abi Rama datang ke Brighton dua minggu lalu, seniman asal Jakarta ini pertama kali berkenalan dengan seni kontemporer melalui keterlibatannya di Kampung Segart, komunitas yang aktif bergerak dalam karya seni rupa di ruang publik. Saat ini, Abi Rama bekerja sebagai administrator jurnal di Visual Jalanan, jurnal daring yang diinisiasi oleh Forum Lenteng utuk merekam jejak aktivitas seni rupa di jalanan. Kami berbincang dengan Abi Rama mengenai pengaruh teknologi di dunia seni sekarang ini dan tentang harapannya di program residensi.
Apa yang membuat kamu tertarik pada dunia seni?
Sejak kecil saya tertarik dengan visual, baik itu lukisan, foto, desain, patung, maupun arsitektur. Saya bisa menghabiskan waktu berjam-jam hanya melihat gambar-gambar pada buku ataupun majalah. Saya juga senang memperhatikan orang-orang di sekitar.
Bagaimana menurutmu teknologi mempengaruhi dunia seni sekarang ini?
Sekarang sangat maklum bagi kita melihat orang yang sibuk dengan ponsel mereka di tengah-tengah pameran atau pertunjukan. Ini bisa saja menjadi distraksi terhadap seni itu sendiri, tapi menurut saya hal ini bisa juga menjadi sangat performatif. Kita bisa melihat perubahan gestur manusia sejak munculnya ponsel pintar. Bahkan kini banyak penyelenggara kegiatan seni yang lebih fokus terhadap marketing dan promosi ketimbang kurasi yang baik. Dengan kemudahan akses internet semua orang bisa menjadi seniman, di saat yang bersamaan juga sangat mudah untuk menjadi audience, disini peran jurnalis juga dapat tergantikan, bahkan kritikus sekalipun. Untuk itu seniman sebaiknya memikirkan matang-matang sebelum melontarkan gagasannya baik secara fisik maupun maya, Ia harus benar-benar paham akan kemungkinan dan dampak yang dapat muncul dari karyanya.
Siapa seniman yang menginspirasimu? Dan, kenapa?
Sangat banyak kalau harus disebutkan disini, bahkan semua orang bisa menginspirasi saya, masing-masing memiliki keunikan tersendiri.
Tema apa yang biasa kamu jelajahi dalam berkarya? Apakah ada tema tertentu?
Belakangan ini saya cenderung menggunakan internet sebagai bagian dari presentasi artistik. Saya mencoba untuk mengolah kemungkinan yang dapat hadir di antara hubungan manusia dengan ponsel pintar dan internet.
Apa yang kamu harapkan dari residensi ini?
Pada residensi ini saya berharap untuk menemukan bentuk presentasi artisitik lain yang belum pernah saya coba ataupun mendapat sumber data yang dapat menginspirasi saya dalam berkarya, mulai dari arsip hingga berita terbaru seputar isu-isu lokal.
Kenapa kamu tertarik menjalani residensi di Brighton, dengan Blast Theory?
Akan sangat menyenangkan menghabiskan empat minggu di sebuah kota pinggir laut, dikelilingi orang-orang hebat yang bisa menginspirasi saya dalam berkarya dan belajar banyak hal baru.
Apakah kamu memiliki proyek impian? Apa yang ingin kamu buat apabila dana bukan masalah?
Saya ingin membuat museum tentang perkembangan seni rupa kontemporer di Indonesia yang bagus, lengkap secara informasi dan koleksi.
Bagaimana menurutmu dunia seni saat ini? Terutama lingkungan yang berada di sekitarmu?
Beruntungnya saya dikelilingi oleh orang-orang yang kritis, mulai dari seniman, kurator, penulis, periset, jurnalis, musisi, dan arsitek. Saya banyak belajar mengenai seni yang memiliki dampak positif bagi masyarakat.
Terakhir, menurutmu kenapa seni itu penting?
Karena kreativitas itu penting.
Tentang Abi Rama
Abi Rama lahir di Jakarta pada akhir tahun 1980an, sekarang tengah berkerja untuk Forum Lenteng. Di tahun 2008, ia berpartisipasi dalam lokakarya pembuatan video sebagai bagian dari Jakarta 32 º C (Gelaran Biennale untuk mahasiswa yang diadakan di Galeri Nasional Indonesia) dan diorganisasi oleh ruangrupa. Sejak saat itu, Abi banyak terlibat dalam program program ruangrupa lainnya seperti Ok Video Festival (Festival Seni Media Indonesia), RRREC Fest (Ruangrupa Records Festival), Holy Market (Pasar loak yang menjual barang - barang seni), dan program lainnya.
Di tahun 2013, Abi Rama dan rekannya di Visual Jalan menginisiasi program Klub Karya Bulu Tangkis, eksperimen ruang dan eksplorasi teknologi, seni rupa, budaya, dan budaya kaum muda perkotaan. Program pertama dari Klub Karya Bulu Tangkis adalah 'Petualangan Nasi Uduk' yang ditampilkan di Festival Seni Indonesia ARTE. Dalam program tersebut, Abi Rama dan rekannya mengobservasi dan membuat peta berdasarkan lokasi penjual nasi uduk di Lenteng Agung, Jakarta Selatan.
Abi Rama mengadakan pameran tunggal pertamanya di tahun 2014 dengan tajuk "Graphic Interchange" di Awanama Art Habitat, Jakarta. Tajuk dari pameran ini diambil dari kata Graphics Interchange Format (GIF) atau gambar gerak. Ide utama dari pameran ini adalah perhatian besar masyarakat modern terhadap internet. Dalam konteks seni dan untuk seniman sendiri ini menunjukkan bagaimana terkadang sebuah karya seni terlihat jauh lebih baik di dunia maya dibandingkan di dunia nyata. Di pameran ini, pengunjung diajak melihat artefak-artefak dari proses persiapan pameran yang diberi kode QR untuk memandu pengunjung ke karya seni aslinya yang dapat dilihat di daring melalui telepon genggam mereka masing masing.
Aktivitas terakhir dari Abi Rama di tahun 2016 adalah mendirikan 69 Performance Club, di mana mereka melakukan serangkaian aktivitas seperti lokakarya, pertunjukan bulanan, diskusi, dan riset dan pengembangan di bidang seni pertunjukan di Indonesia.
Ikuti perjalanan residensi Abi Rama di Brighton dengan Blast Theory melalui media sosial Instagra Abi Rama di: @lykerex