Papermoon Puppet Theatre didirikan oleh Maria Tri Sulistyani (ilustrator, penulis, dan mantan pemain teater) dan Iwan Effendi (perupa). Berbasis di Yogyakarta, Indonesia, sebuah negara dengan tradisi boneka yang terkenal di dunia, Papermoon menciptakan produksi campuran-media: sebuah drama teater melalui instalasi seni visual, yang imajinatif mengeksplorasi identitas dan masyarakat.

Papermoon telah melakukan tur di seluruh dunia dalam berbagai kesempatan, seperti Hochschule fur Schauspielkunst, Berlin, Jerman 2014; Darwin Festival 2013, Australia; AIR Koganecho, Yokohama, Jepang 2012; Asean Puppetry Festival 2012, Singapore; Ishara Puppet Festival 2011, New Delhi, India. Mereka telah berkolaborasi dengan seniman di seluruh dunia, seperti Volksoperahuis (Belanda), Cake Industries (Australia), Issui Sachi Minegishi (Jepang), dan Jae Sirikarn Bunjongtad (Thailand).

Tentang pertunjukan

"Mwathirika"

Ketika wakil rakyat berusaha membela kepentingan bangsa,

Siapa yang menjadi korban?

Ketika tentara mencoba untuk melawan kejahatan,

Siapa yang menjadi korban?

Dan ketika kita hanya akan mencari jalan yang aman,

Siapa yang menjadi korban?

Anak-anak, saudara, saudari, orang yang dicintai, orangtua, tetangga, teman-teman

Mereka, orang-orang yang tak bersalah

Dua rumah kayu kecil didirikan di sudut panggung. Moyo (10 tahun) dan Tupu (4 tahun) adalah saudara kandung yang tinggal di rumah pertama dengan ayah mereka, Baba, seorang pria pekerja keras bertangan satu. Mereka adalah sebuah keluarga bahagia dan hidup harmonis dengan tetangga mereka, Haki, yang tinggal dengan Lacuna, putrinya yang menggunakan kursi roda. Sebuah insiden sepele yang dimulai dari coretan sembarang sebuah segitiga merah di depan rumah Baba membawa semua karakter terjun ke dalam realitas kelam yang banyak dialami masyarakat Indonesia dalam diam pada era setelah gagalnya kudeta dari partai komunis. Penangkapan Baba yang keliru oleh sekelompok orang bersenjata langsung diikuti dengan hilangnya Moyo, yang pergi untuk mencari ayahnya-kemudian meninggalkan Tupu kecil yang juga akan mengakhiri hidupnya dengan tak suara setelah kehilangan segalanya yang ia cintai.

Mwathirika, kata dari bahasa Swahili untuk "korban", diceritakan melalui gerakan (seperti) wayang dilakukan oleh sekelompok dalang yang terlihat oleh penonton. Keintiman yang intens dibangun dari keheningan yang tersebar di sekitar panggung dan ketiadaan dialog atau bahasa, hanya menyisakan gerakan berbisik yang memberikan pemahaman universal-bagi setiap orang untuk dapat mempelajari ‘sejarah kehilangan’ serta 'hilangnya sejarah' dari sejarah panjang Indonesia.

Tautan luar